Mohon tunggu...
Hesti Edityo
Hesti Edityo Mohon Tunggu... Administrasi - Guru

Seorang ibu dari 4 lelaki dan seorang guru Fisika yang menyukai sastra. hestidwie.wordpress.com | hesti-dwie.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Istri Bekerja, Suami Mengasuh Anak di Rumah? So What Gitu Loh!

20 Mei 2013   22:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:16 5276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="photo by Si Eka Tuh (album Kampret)"][/caption]

Gimana kabarnya?”

Sebuah sapaan spontan muncul saat saya bertemu seorang teman yang lama tak bersua, sebut saja si A. Cerita pun mengalir, mulai dari pekerjaan hingga urusan rumah tangga khususnya persoalan anak-anak. Maklum, emak-emak.

“Susah cari pengasuh, mbak. Yo wis, bojoku ngalah metu kerja ben ana sing momong anak (suamiku mengalah berhenti kerja biar ada yang mengasuh anak).”

Ini bukan kali pertama saya mendengar curhat seorang teman, bagaimana susahnya mencari pengasuh sekarang ini. Nasib serupa beberapa kali saya alami. Bukan kali pertama pula saya mendengar cerita bagaimana sang suamilah yang mengasuh anak mereka. Ada beberapa teman saya yang lain, dimana suaminya pun menjadi bapak rumah tangga yang betul-betul mengerjakan urusan “kerumahtanggaan”. Mulai dari mengurus anak-anak, membersihkan rumah, beres-beres, hingga berbelanja sayur mayur dan memasak.

Kenapa bukan istrinya saja yang berhenti bekerja untuk mengasuh anak mereka dan membebankan kewajiban mencari nafkah pada para suami sebagaimana kodratnya? Wow, dunia kok jadi terbalik, istri yang kerja, suami di rumah?

Ada beragam alasan di balik kondisi yang mereka jalani. Jika suami si A berhenti bekerja karena tak ada yang mengasuh anak mereka, maka beda lagi alasan suami teman saya yang lain, sebut saja si B. Awalnya suami si B memutuskan berhenti bekerja agar bisa lebih fokus mengelola bisnis dan toko pakaiannya yang jauh lebih menghasilkan daripada gajinya di sebuah perusahaan otomotif. Menjalankan usaha sendiri dan tak lagi menjadi karyawan, membuat suami si B lebih fleksibel mengatur waktu dan tidak terikat jam kerja yang ketat. Lama-kelamaan suami si B bahkan berani mengambil keputusan untuk tidak lagi mengerjakan seorang asisten rumah tangga setelah pembantu mereka mengalami keguguran hingga meminta ijin untuk “cuti” untuk waktu yang entah berapa lama. Sejak itu suami si B pun berprofesi sebagai stay at home dad sembari mengontrol usaha dan bisnisnya. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Lain lagi kisah si C, suaminya “terpaksa” menjadi bapak rumah tangga setelah kehilangan pekerjaan akibat perusahaan tempatnya bekerja melakukan pengurangan karyawan, sementara faktor usia menyulitkannya untuk mendapatkan pekerjaan baru.

Tidak mudah memang menjalani situasi seperti mereka pada awalnya. Kesan sebagai lelaki pengangguran sering dilekatkan pada mereka, seakan mereka adalah lelaki tak berguna yang tinggal ongkang-ongkang kaki dan menadah tangan pada para istri. Mungkin dari tiga contoh teman saya, hanya suami si B yang bisa terlepas dari labelisasi ini, yang memang lebih terlihat masih menafkahi istri dari usahanya. Berada pada posisi si A dan si C ini yang teramat berat. Beban ekonomi “seakan” sepenuhnya berada di pundak para istri. Saya bilang “seakan” karena faktanya para lelaki ini masih memiliki rasa tanggung jawab terkait nafkah materi. Si A dan si C pada akhirnya memutar otak untuk tetap bisa mendapatkan penghasilan tanpa melepas status bapak rumah tangganya.

Jangan pula mencap si istri sebagai perempuan egois karena memaksa tetap berkarir. Kebetulan tiga teman saya statusnya sama, guru yang digaji oleh negara. Posisi para istri sebagai abdi negara inilah yang membuat para suami rela untuk bertukar peran. Toh, profesi guru seperti mereka tidak menuntut jam kerja sebanyak pekerja kantoran lain sehingga para istri ini masih bisa meluangkan waktu untuk membantu para suami membereskan rumah. Pertimbangan lain, seperti yang dikatakan si A, “Daripada suamiku kerja dengan status kontrak terus menerus dan selalu dibayangi kekhawatiran pemutusan sepihak, ya, mendingan di rumah sambil cari usaha sampingan lainnya. Yang penting di mataku dia tetap suami yang bertanggung jawab.”. Salut!

Mendengar dan melihat kisah mereka, saya teringat sebuah artikel yang ditulis di majalah Intisari Desember 2011. Artikel yang membahas tentang sepak terjang Bapak Rumah Tangga ini, turut menampilkan pendapat seorang psikolog. Sisi positif seorang suami menjadi bapak rumah tangga (yang bertanggung jawab) setidaknya ada tiga hal. Pertama, tumbuh kembang si anak, baik fisik, motorik, maupun kognitifnya menjadi lebih baik dengan pengasuhan oleh orang tua (dalam hal ini bapaknya sendiri). Kedua, para istri lebih tenang dalam bekerja karena ada jaminan pengasuh anaknya selama dia bekerja. Terakhir, para lelaki ini lebih bisa mengapresiasi betapa berat tugas si istri manakala berada pada posisinya sebagai ibu rumah tangga. Secara tidak langsung hal ini akan membuat si suami lebih peduli dengan istrinya begitupun sebaliknya.

Jadi, ketika memang harus dihadapkan pada pilihan istrilah yang bekerja dan suami yang mengurus rumah, selama ini dilakukan dengan penuh pengertian antara keduanya, tidak ada salahnya. Be stay at home dad, so what gitu loh!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun