Saat Walisanga membangun Masjid Demak di sekitar lokasi pembangunan terjadi insiden. Seekor ko-dok yang tengah mencari makan menda-dak disergap ular. Sang Kodok meronta di mulut ular dan tinggal dimangsa. Saat itu Sunan Kalijaga lewat. Kodok pun tak melepaskan kesempatan itu. Ia me-rintih berharap Sunan Kalijogo meno-longnya agar lepas dari mulut ular. Mende-ngar rintihan memelas itu, Sunan Kalijaga berkata, “hu…hu…hu.” Kaget, sang Ular segera melepaskan mang-sa dari mulutnya. Ia merasa per--bua-tannya hendak memangsa kodok ditegur dengan perkataan itu. Namun ia pe-nasaran sebab yang ia lakukan sudah merupakan hukum alam bahwa ular makan kodok. Karena itu ia protes, “apa-kah hukum alam telah berubah Kanjeng Sunan? Bukankah sudah suratan ular makan kodok dan sudah takdir kodok dimakan ular?” Sunan Kalijogo tepekur lalu menja-wab, “hai Ular aku hanya bilang hu…hu…hu…maksudnya huntalen (makanlah),” katanya. Sang Ular pun tercenung, mohon maaf atas kebodohannya mendebat Kan-jeng Sunan yang termasyhur itu. Ia lalu me-nyingkir dari hadapan. Sementara itu sang Kodok juga lantas bertanya, “apakah maksud hu wahai Sunan?” Sunan Kalijaga, menjawab, ”hu-culna (lepaskan),” katanya deng-an senyum dikulum. Sang Kodok pun mafhum dan gembira menerima kebijakan Sunan Kalijaga. Namun setelah itu dunia binatang gem-par. Mereka memperdebatkan mana yang benar tentang makna “hu” apa-kah “hun-talen” atau “huculna”? Ini penting, se-bab, pemaknaan itu berkaitan deng-an hukum alam, berkaitan dengan keseim-bangan ekosistem. Karena tidak ter-ca-pai kata sepakat mana yang benar, para binatang itu lalu memutuskan untuk menanyakanya langsung kepada Sunan Kalijaga. “Wahai Sunan Kalijaga, manakah yang benar ‘huntalen’ atau ‘huculna’?,” ta-nya sang Harimau mewakili para binatang itu. Menghadapi demo para binatang itu Sunan Kalijaga dengan tenang menja-wab,” ‘hu’ dapat berarti ‘huntalen’ maupun ‘huculna’. Keduanya sesuai kehendak Ular dan Kodok. Silakan kamu berdua berihtiar menentukan nasib masing-masing. Wahai para hewan, hukum alam ditentukan oleh Allah bukan oleh ihtiar atau kehendak kita. Takdir ditentukan oleh Allah. Huwallaah, huwallaah, huwallaah (Dialah Allah),” jelas Sunan Kalijaga. Ia melanjutkan, apabila Allah menakdirkan sang Kodok itu hidup, maka tiada kuasa sang Ular untuk menelannya. Namun bila Allah mentakdirkan sang Kodok dimakan Ular, maka tak ada kuasa sang Ular melepaskan sang Kodok walau dia ingin melakukanya. Sungguh Allah berkuasa atas segala makhluk-Nya. Namun begitu setiap mahluk wajib berihtiar, sebab, dengan jalan ihtiar itulah mahluk mengetahui takdirnya. Inilah hukum alam atau sunatullah. Dengan hukum inilah keseimbangan ekosistem dijaga. Keseimbangan ekosistem itu sendiri terjadi pada masa ketika hewan pemakan tumbuhan atau herbivora tidak berlebihan memakan tumbuhan. Seiring dengan itu hewan pemangsa (carnivora) tidak besar-besaran memangsa serta parasit tidak membunuh populasi inangnya tanpa batas. Penggunaan bahan kimia kini telah banyak mengubah keseimbangan ekosistem karena memutus rantai makanan secara berlebihan. Akibatnya, musuh alami semakin berkurang. Terjadilah pemusnahan jasad renik dan hewan-hewan pengurai zat anorganik menjadi organik secara besar-besaran sehingga dalam jangka panjang mengganggu keseimbangan ekosistem, terutama karena bahan organik yang diperlukan untuk kesuburan tanah menjadi sedikit. Apa yang dilakukan Sunan Kalijaga dengan mantra “hu” tak lain ialah menjaga keseimbangan ekosistem dengan hukum alam. Kodok tetap merupakan mangsa ular, namun apakah sang Kodok benar berhasil dimangsa sang Ular tergantung situasi dan kondisi. Untuk masa kini metode Sunan Kalijaga ini mungkin mengalami metamorfose menjadi metode biologis. Metode ini erat kaitannya dengan kelangsungan ekologi maupun habitat tanaman. Sebab, selain mengurangi tanpa bahan kimia, metode biologis ini lebih diarahkan pada pengendalian alami dengan membiarkan musuh-musuh alami tetap hidup. Dampaknya mungkin baru dirasakan setelah sekian lama, namun metode ini lebih aman dan akan menciptakan keseimbangan ekosistem yang ada. Ekosistem terkait dengan rantai makanan, yakni proses saling memakan antar makhluk hidup dalam satu ekosistem. Misalnya dalam ekosistem sawah, padi dimakan serangga, serangga dimakan kodok, lalu kodok dimakan ular, ular dimakan burung elang dan akhirnya konsumen terakhir akan dimakan oleh bakteri pengurai. Dalam hubungan ini kodok adalah predator atau pemangsa serangga, dan ular menjadi predator bagi kodok dan seterusnya. Hukum alam menjamin ketersediaan mata rantai makanan secara seimbang sehingga ekosistem terjaga. Sementara eksploitasi alam maupun pemberantasan hama dengan menggunakan zat kimia cenderung merusak mata rantai makanan secara berlebihan sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem. Pada gilirannya ekosistem yang rusak akan menimbulkan bencana, yang tak lain upaya alami mencapai keseimbangan baru dengan cepat dan berlebihan pula.