Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ilusi Suami Istri

24 September 2017   20:14 Diperbarui: 25 September 2017   01:52 1619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pexels.com

"Waktumu habis Nus, kau dilibas angan dan perangaimu sendiri" Halimah memasang tampang datar, seraya mengguyurnya dengan kemarahan tak terungkap. Dadanya naik turun akibat nafas tak beraturan, keringatnya tertahan di bawah hidung.

"Aku minta maaf Mah" Magnus duduk disamping tempat tidur. Kedua tangannya menopang kepala, tampang sesal menggantung kaku di wajah dan matanya. 

Tapi Halimah tak peduli, sepuluh tahun ia hidup bersama Magnus dalam naungan suci perkawinan yang lama ia rindukan. Halimah menyadari, Magnus tak sebaik lelaki yang ia impikan dalam hidup. Ia tak mendapati bakat suami idamannya dalam diri Magnus.

Di kamar itu, mereka tertegun, mengingat berapa kali pertengkaran seperti itu terus berulang.

"Maafmu selusin Nus, tapi kesalahanmu sejuta, aku sudah membangun dinding pengertian dalam jiwaku, aku sudah melapisi ruas kesabaranku dengan besi, agar aku bisa terus bertahan bersamamu meski hanya menyandang status sebagai istri. Inikah pernikahan yang ideal menurutmu Nus? Kau datang melempar uang dan raga sekehendak egomu, lalu pergi tanpa tahu bahwa dadaku terus bergemuruh, memendam rindu akan sosokmu. Kau tahu Nus, bagiku rindu tak lagi berbuah cinta, penantian bukan lagi dorongan kasih sayang, tapi keduanya telah berwujud luka, yang aku bosan merasainya karena aku tahu di rindu dan penantianku kau hanya akan memberiku uang dan uang" 

Air mata menggenang di pelupuk mata Halimah. Sesak didadanya kian terancam, menuntut untuk diungkapkan. Ia menghempaskan tubuh ke tempat tidur, Magnus hendak memeluk tubuhnya, namun Halimah mengamuk, berteriak, ia meronta, menolak tangan Magnus yang hendak meraih pinggangnya. 

Magnus mengalah, ia tak sanggup menghadapinya, sekian pertengkaran terlewati, ini pertama kali Halimah marah begitu keras terhadapnya. Ia paham kali ini Halimah tak akan memberinya kesempatan, ingatannya melaju ke percakapan mereka beberapa bulan lalu, ketika Magnus menceritakan impian terbesarnya pada Halimah.

***

Malam itu mereka berbincang, teras rumah seketika berubah pelabuhan cita dan angan, dua cangkir kopi terhidang hangat di meja, Magnus dan Halimah duduk berdampingan, sepasang suami istri itu memasang wajah sumringah, meski pancaran mata Halimah tak lagi menyimpan harap pada cerita-cerita indah yang terus diucap Magnus. 

Bibir Halimah menyungging senyum, namun mata dan batinnya menatap hambar. Magnus bukannya tak paham akan hal itu, namun ia berusaha mengajak Halimah, masuk lebih dalam lagi, ke lorong penuh ilusi yang kadang justru membuatnya frustasi.

"Kita hidup dalam komunitas besar Mah, tempat dimana kita mengabdikan hidup dan karya. Kita mesti hidup demi kesejahteraan banyak orang, agar kita menyadari betul, bahwa sejatinya nafas dan tubuh kita memang berarti untuk orang lain"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun