Mohon tunggu...
Gandis Octya Prihartanti
Gandis Octya Prihartanti Mohon Tunggu... Human Resources - A curious human

Manusia yang sedang menumpang hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sindrom Bullying di Indonesia

14 Juni 2017   13:51 Diperbarui: 14 Juni 2017   14:01 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada banyak alasan seseorang di-bully. Salah satunya mengacu pada fisik. Seakan hal ini lumrah, praktiknya pun terjadi pada acara-acara komedi yang ditayangkan di televisi. Cara melawak seperti itu memang mudah dan ironisnya menghibur. Namun, jika ditelisik lebih jauh, bukan tidak mungkin membawa dampak bagi penonton, khusunya anak-anak. Mereka yang mudah meniru tanpa memiliki filter baik-buruk, akan menerapkan pada teman-temannya. Inilah bibit kemunculan bullying. Kemudian, mengakar sampai dewasa.  Perlu diingat, anak usia 0 sampai 12 adalah masa pembentukan karakter.

Tuhan tidak menciptakan semua orang dalam keadaan sempurna dan itu bertujuan agar Umat-Nya bersyukur. Bukan lantas di-bully. Mereka mengemban tugas untuk mengingatkan. Sewajarnya, yang-merasa-sempurna, membangkitkan kepercayaan diri mereka. Bertemanlah dan beri dukungan. Apa dengan mem-bully mereka akan muncul suatu kenikmatan? Bahagia di atas penderitaan orang? Yang benar saja. You are fool.

Kerap kali tindakan mem-bullydibayang-bayangi dengan sekadar melontarkan gurauan. Apa pun itu, tetap saja 'kan korbannya merasa sakit hati dan berujung depresi? Parahnya, kalau sampai bunuh diri. Lihatlah, betapa menyakitkan kata-kata yang diucapkan ketimbang perlakuan fisik. Maka, berhati-hatilah dalam berucap.

Tidak ada orang yang ingin dilahirkan dengan kekurangan, apa pun itu. Pertanyaannya, apakah kekurangan itu merugikan para pem-bully? Tidak, sasaran bully-lah yang menanggung. Jadi, jangan tambah penderitaan itu dengan mengatai-ngatai.

Inspirasi saya membuat tulisan ini dikarenakan kemarin sore membaca tentang bullying di Facebook dengan nama akun Fissilmi Hamida. Mbak Mimi, sapaan akrab beliau, mengisahkan bagaimana sakit hatinya ketika di-bully selama enam tahun. Saya begitu terharu kala itu. Pasalnya, saya juga sempat menjadi korban, meski tidak separah dan sesadis beliau. Kurun waktunya pun selama SMA saja.

Hal yang menyamakan saya dengan mbak Mimi adalah masalah fisik. Saat SMA, badan saya sedikit berisi. Underline. Sedikit berisi. Bukan gemuk. Bukan obesitas. Tidak ada lemak yang tampak. Saya lantas dikata-katai Kerbau. Masa itu saya juga kurang memperhatikan persoalan wajah, sehingga kusam dan muncul bekas jerawat di sana-sini. Mereka memang tidak menyinggung, tapi ditunjukkan dengan sikap. Mereka seolah-olah jijik. Apa saya semenakutkan monster? Batin saya.

Hal lain yang menyamakan saya dengan mbak Mimi adalah dekat dengan seorang cowok populer. Lagi, perlakuan yang saya dapat memang tidak separah dan sesadis beliau. Namun, itu cukup mengguncang saya. Mbak Mimi disidang, karena beliau tinggal di asrama, lalu dikatai bisa-bisanya gadis buruk rupa dekat dengan "pangeran." Sementara saya, cukup dengan sikap tidak acuhnya mereka.

Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa bullying tidak hanya bersifat verbal saja, tapi dapat ditunjukkan lewat sikap. Sama-sama menyakitkan. Merasa terasing. Merasa tidak diinginkan dalam pergaulan. Padahal, alasannya begitu sepele. Masalah penampilan.

Mbak Mimi adalah seorang awarded pasca sarjana LPDP yang berkuliah di Bristol, Inggris. Saya menganguminya lantaran saya juga sempat mengurus beasiswa tersebut ke Australia. Malang. Pihak kampus yang saya tuju sudah memberi respons, tapi ternyata tahun ini kampus tersebut tidak masuk daftar pembiayaan. Saya akhirnya mencoba beasiswa lain. Kemalangan menghampiri saya lagi. Pihak dinas pendidikan mempersulit saya, sehingga saya terlambat mengirim berkas. Nah, hal spesifik yang akan saya bahas di sini adalah bagaimana western people memperlakukan fisik mbak Mimi.

Mbak Mimi memiliki tanda lahir di dekat mata seperti luka lebam dan itu menjadi bahan olokan sewaktu bersekolah. Bagaimana ketika beliau di Inggris? Perlakuannya amat berbeda. Orang asing bahkan menanyakan apa kabarnya baik-baik saja, karena terlihat habis dipukuli atau kecelakaan.

Kemudian, saat Mbak Mimi mempresentasikan paper-nya di salah satu universitas di Jepang, seorang profesor kawakan menyuruhnya membuka masker. Kebetulan, beliau habis kecelakaan dan minder pada penampilan. Bahkan, kemudian profesor kawakan tersebut mengajak berfoto. Untuk membangkitkan semangat, sebuah motivasi dilontarkan, "Tidak usah memikirkan penampilan, karena orang-orang di sini tidak akan melihat itu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun