Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Humor

Sering Menyebut, Tapi Tak Tahu Maknanya

25 Februari 2013   09:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:43 5405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Dalam wacana bahasa kita, sering terucap kata-kata yang meluncur begitu saja dari bibir kita, namun kemungkinan besar kita tak tahu maknanya. Ambillah contoh kalimat ‘Peredaran narkoba semakin meraja-lela’. Dapatkah kita menjelaskan arti ‘lela’ di sini, dan siapa sesungguhnya ‘rajalela’ ini? Contoh kalimat yang lain adalah ‘Sudah tua bangka dia masih mau beristri lagi’. Apakah makna ‘bangka’ pada kata majemuk ‘tua bangka’ ini? Apakah kaitannya dengan pulau Bangka yang terletak di sebelah timur Sumatera? Dua pertanyaan yang menggelitik ini, setidak-tidaknya saya peroleh jawabannya setelah meneliti kamus kuno ‘A Dictionary of Sunda Language of Java’ karangan Jonathan Rigg yang diterbitkan pada tahun 1862 di Batavia.

Pada kamus ini ‘lela’ didefinisikan sebagai ‘pleased, content, satisfied’ (senang, puas). Lantas apakah ‘rajalela’ bermakna ‘raja yang puas’? Ada penjelasan khusus soal ‘rajalela’ ini, yang sesungguhnya dinamakan dengan ‘maharaja lela’. Definisi yang diberikan tentang ‘maharaja lela’ adalah ‘the title of chamberlain or master of ceremonies of Malay court’ (gelar kepala rumah tangga pada bangsawan Melayu). Jadi kiasan ‘bermaharaja-lela’ sesungguhnya bermakna ‘sok kuasa, seperti yang ditampakkan oleh maharaja-lela yang sekalipun hanya berpangkat ‘rendah’, tetapi mempunyai kekuasaan besar di dalam mengatur urusan rumah tangga sang bangsawan’. Istilah ini mungkin masih akrab dipakai di Malaysia, karena ada nama jalan raya dan nama stasiun yang disebut dengan Maharaja Lela. Dalam wacana bahasa kita ‘merajalela’ sudah mengalami deviasi makna menjadi ‘merebak tanpa dapat dikendalikan lagi’.

Bagaimana pula dengan kata majemuk ‘tua bangka’? Dalam kamus tua ini dijelaskan bahwasanya ‘bangka’ diadopsi dari kata ‘bangkawara’ yang bermakna ‘malicious, bad, wicked, pervert, naughty, acting contrary to orders’ (jahat, bengis, nyleneh, melawan perintah). Kata ‘bangka’ berasal dari bahasa Sanskrit ‘wangka’ yang maknanya ‘bengkok’, jadi istilah ‘tua bangka’ secara harfiah bermakna ‘tua bengkok’ (baik secara fisik maupun tabiatnya). Bagaimana pula dengan nama Pulau Bangka? Dia juga diambil dari kata ‘wangka’ (bahasa Inggris: bend) yaitu tempat aliran sungai yang membelok/membentuk siku (elbow of a river/the winding course of a stream). Menarik pula untuk diketahui bahwa daerah Bengkulu dahulu kala disebut dengan ‘Bangka Ulu’ (hulu dari Bangka).

Anda sering menuliskan istilah ‘angkara murka’? Kata ‘angkara’ tentu saja tak ada kaitan dengan nama kota Ankara yang berada di Turki. Kata ini nampaknya juga diambil dari istilah ‘bangkawara’ di atas yang pada kamus usang karangan RJ Wilkinson dimaknai dengan ‘kekejian, kebengisan atau kekerasan terhadap wanita’ (gross brutality, violence to a girl or woman).

Pada kamus terbitan 150 tahun yang lalu ini, saya baru mengetahui mengapa suku terasing di daerah Banten ini dinamakan suku Badui. Rupanya penamaan ini merujuk pada suku Bedouin di jazirah Arab yang juga hidup nomaden (berpindah-pindah tempat). Sama halnya seperti suku Bedouin yang ‘menentang’ masuknya budaya-budaya baru, suku Badui juga ‘menentang’ masuknya penyebaran agama Islam yang dibawa oleh saudagar Arab pada masa itu. Jadi yang memberi mereka nama ‘Badui’ adalah pengelana Arab, bukan dari mereka sendiri. Menurut kamus tadi, suku ini menamakan kelompoknya sesuai dengan nama dusun tempat mereka tinggal.

Dan akhirnya, ada sebuah istilah untuk menyatakan hubungan kekerabatan yaitu ‘saudara sepupu’. Saya sering merasa geli mendengar istilah ini karena ada kata ‘pupu’ yang dalam bahasa Jawa bermakna ‘paha’. Bagaimana ceritanya ‘anak dari paman/bibi’ dikatakan dengan ‘saudara yang bersamaan pahanya’? Ternyata saya keliru sekali menginterpretasikannya. ‘Pupu’ sesungguhnya bermakna ’silsilah atau hubungan kekerabatan’ (grade or degree of relationship). Jadi selain ada istilah ‘saudara sepupu’, juga ada istilah ‘saudara dua pupu’, yaitu ‘anak dari saudara sepupu’ (bahasa Inggris ‘second cousin’). Dalam bahasa Jawa/Sunda ada istilah ‘misan’, dari kata pisan yang artinya ‘pertama’, jadi maksudnya ‘sepupu pertama’. Juga ada istilah ‘mindo’, dari kata ‘pindo’ yang artinya ‘kedua’, jadi maksudnya ‘sepupu kedua’ alias ‘saudara dua pupu’ alias ‘second cousin’.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun