Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Divide et Impera ala Sosial Media

5 Desember 2016   18:22 Diperbarui: 27 Mei 2019   21:28 1040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Negative Media - ilustrasi: madibazradio.wordpress.com

Riuh rendah pemilihan pemimpin di negri ini selalu membekas luka di hati di akun pemilik sosial media. Masih jelas teringat Pilpres 2014 lalu bagaimana akun buzzer mendongkrak isu politis menjadi trending topic. 

Ada pula tweet/chat/share di Twitter, WhatsApp, dan Facebook yang berisi hoaks, menyudutkan satu pihak, atau sekadar provokasi. Tak ayal, banyak pro-kontra yang menyulut emosi bahkan memutus persahabatan. 

Akun Facebook yang dulu banyak meng-accept friend request. Kini malah banyak meng-unfriend teman yang tidak 'sepaham'. 

Fakta nyata pun terjadi saat Buni Yani yang mengupload video potongan Ahok di kepulauan Seribu. Muncul sentimen umat agama mayoritas yang spontan saat itu. 

Buni Yani disangka menambah kata-kata provokatif ini pun masih harus berhadapan dengan kelompok yang tidak setuju dengan 'perspektifnya'. Kini Buni Yani sudah dijadikan tersangka. Begitupun dengan Ahok yang disangkakan menistakan agama mayoritas. 

Namun belum sampai disitu. Saat dua tokoh penyumbang pro-kontra ini sudah berurusan dengan hukum. Ada saja oknum yang mencoba terus menyulut api perpecahan di sosmed. Bahkan ada oknum yang mengompori agar Ahok segera dipenjara. 

Walau hukum negri ini sedang dilakukan. Sampai bahkan ada yang meminta Presiden kita dilengserkan. Karena Presiden dianggap melindungi Ahok. 

Beberapa gelombang unjuk rasa diadakan. Dengan dana yang tidak sedikit, unjuk rasa ini menghabiskan energi kita sebagai bangsa. Lalu dilanjutkan dengan unjuk rasa berikutnya. Walau pada unjak rasa yang lain relatif aman, banyak pihak yang merasa ada yang menunggani dengan kepentingan politik.

Terbukti juga, beberapa tokoh pun dicokok polisi karena diduga hendak makar. Tokoh-tokoh yang sebenarnya tidak asing karena selalu berdiri nyinyir dan non-konstruktif untuk pemerintahan. Ada yang menganggap hal ini sebagai bukti ada yang hendak memecah bangsa ini. Namun tak banyak pula yang mencap penangkapan ini sebagai pengalihan isu, dan mengada-adanya pemerintah.

Apa yang terjadi di kita sebagai warga negara biasa? Ya tentunya praktik divide et impera ala era sosial media. Jika zaman kolonial Belanda dulu ada penyusup, mata-mata ke dalam kelompok, golongan atau organisasi. Kini praktik pecah belah ini lebih personal, efektif, dan real-time. Dengan sosmed, semua orang bisa menjadi target, bahkan agen penyebar praktik ini.

Contoh saja berita baru-baru ini soal Parade Kebhinekaan. Beredar surat himbauan palsu dari Kemensos di sosmed. Lalu ada leaflet yang menyertakan tagar berbau Pilkada. Ditambah nama-nama perusahaan besar pro-reklamasi. Yang tentunya tujuannya jelas, yaitu memprovokasi user untuk percaya. Namun semua berita ini adalah hoaks. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun