Bogor, Upnormal Cafe [23:05]
Aku datang ke tempat yang dimaksud Rasta sepuluh menit yang lalu. Dia belum datang, padahal dialah yang mengajakku duluan ke sini, bahkan menyuruhku agar tidak datang telat. Aku masih duduk sendirian di kafe, menatap sekeliling untuk melihat kehadirannya. Sepertinya dia yang akan terlambat.
Malam ini bukanlah malam yang spesial. Tidak ada tempat mewah dengan hiasan lilin cantik di atas meja, makanan mahal, acara live music dengan iringan biola merdu kesukaanku, ataupun pelayan ramah dengan balutan jas hitam rapi plus dasi kupu-kupunya. Semua tidak seperti itu. Ini malam sederhana, bahkan mungkin cenderung menyedihkan.
Seminggu yang lalu Rasta mengulangi lagi kesalahannya yang jelas mempengaruhi hubungan kami berdua. Memang, ia tidak sampai selingkuh, tapi sikapnya yang 'genit' pada banyak perempuan membuatku semakin lelah menghadapi masalah ini.
Seorang pramusaji dengan kaus putih polos mengantarkan teh hangat pesananku di meja, membuat lamunan tentang Rasta seketika buyar.
"Terima kasih," kataku.
Dan akhirnya Rasta datang ketika aku baru saja menyesap teh tanpa gula ini. Ia hanya mengenakan kaus oblong sederhana, ditutupi oleh jaket abu-abu yang resletingnya rusak, dan celana jeans warna biru dongker kesukaannya.
#NowPlaying: Raisa -- Usai Di sini Â
"Maaf aku telat, Fil," ucapnya saat duduk di hadapanku.
"It's okay. Ini hal yang biasa," jawabku tersenyum, meski sedikit dipaksakan.
***