Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Akankah Ahok Jadi Korban Skenario "The Last Minute"?

31 Juli 2016   10:59 Diperbarui: 31 Juli 2016   12:03 3693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Kalau saya menyebutkan nama orang tua saya, pasti tidak ada yang mengenalnya.” Begitu kira-kira yang diucapkan Yusril Ihza Mahendra dalam Sidang Umum MPR Ri 1999 pada 20 Oktober 1999. Seloroh yang terkesan menyindir Gus Dur dan Megawati itu dikatakan Yusril hanya beberapa detik sebelum anggota MPR menggelar pemungutan suara.. Selanjutnya, Yusril pun menyampaikan pengunduran dirinya sebagai capres.  

Begitulah cuaca politik nasional setiap kali menghadapi momen-momen strategis. Hanya dalam hitungan menit bahkan menit, peta politik bisa berubah. Inilah salah satu yang membedakan masa Soeharto dengan masa pasca-Soeharto. Di masa Soeharto masih berkuasa, meskipun pemilu belum digelar, tetapi para elit negeri sudah mencapai kesepakatan untuk memilih kembali Soeharto sebagai Presiden RI. Alasannnya, karena rakyat masih mempercayai Soeharto dan untuk menjaga kesinambungan pembangunan.

Pengunduran diri Yusril sebagai capres jelang detik-detik terakhir bisa jadi merupakan sekuel awal dari serial “The Last Minute” yang dibintangi oleh para aktor dan aktris politisi nasional. Berbeda dengan sinetron atau rerata film produksi nasional, serial yang dimainkan para para politisi ini sulit ditebak ujungnya.

Para pelakon politik nasional itu berjumpalitan bermanuver ke sana ke mari. Gaet sana. Lirik sini. Sikat sana. Senggol sini. Katanya, mereka sedang berkomunikasi. Publik hanya bisa mengikuti drama itu dari berbagai media. Tetapi, sesungguhnya publik tidak tahu pasti apa yang terjadi sebenarnya. Sebab “komunikasi” para aktor itu sebenarnya berlangsung di ruang tertutup yang kedap suara. Publik hanya bisa menduga-duga, hanya mampu menganalisa. Namun demikian dugaan belum tentu salah. Demikian juga dengan analisa. Dalam memperkirakan hasil akhir dari sebuah proses politi itu, masyarakat hanya mengandalkan logika berpikirnya saja. Sayangnya, politik itu seperti cinta yang tak kenal logika.

Demikian juga dengan situasi politik jelang Pilgub DKI 2017. Meski Ahok sudah mengatakan akan maju lewat jalur parpol. Tetapi, kepastian itu masih bisa berubah sampai tanggal 7 Agustus 2016 yaitu tenggat waktu penyerahan persyaratan bagi calon perorangan. Dan, sampai.batas waktu tersebut sejumlah manuver akan dilakukan oleh berbagai pihak, Ahok, parpol, pengusaha, dan pastinya juga pihak-pihak asing. Tetapi, apapun itu dengan maju lewat jalur parpol, sama artinya Ahok telah menyerahkan lehernya kepada parpol. Kalau parpol bilang “Tidak”, maka pencalonan Ahok pun kandas. Dengan kata “Tidak” itu maka rontoklah logika kalau pengumpulan KTP itu sebagai cara untuk berjaga-jaga kalau tidak ada parpol yang akan mendukung Ahok.

Sampai detik ini Ahok baru mengenggam 24 kursi yang didapatnya dari tiga parpol, Nasdem (5 kursi), Hanura (10 kursi), dan Golkar (9 kursi). Sementara persyaratan minimal yang ditetapkan adalah 22 kursi. Dengan demikian, salah satu dari parpol itu berpindah haluan, pencalonan Ahok pun akan tamat seketika. Karena itu, setiap parpol pendukung Ahok, sekalipun itu Nasdem yang memiliki jumlah kursi terkecil, mempunyai nilai tawar yang sama. Artinya, kalau maju lewat jalur parpol, ketiga parpol itu secara bersama-sama atau sendiri-sendiri yang akan mengendalikan Ahok. Jadi, rontok sudah argumen yang mengatakan kalau pengumpulan dukungan KTP itu sebagai alat tawar Ahok kepada parpol.  

Dalam Pilgub DKI 2017 nanti, pemegang kuncinya adalah PDIP. Maka, tidak salah kalau Gerindra menyatakan siap hanya akan menempatkan kadernya sebagai DKI 2 kalau PDIP mau berkoalisi dengannya. Selain menjalani komunikasi politik dengan Gerindra, PDIP pun diberitakan tengah menjalin tali kasih bersama PKS. Sementara parpol lainnya, Demokrat, PPP, PAN, PKB dan PPP masih akan mengamati situasi sampai batas-batas tertentu. Situasi ini merontokkan upaya pemutarbalikkan logika dari para pendukung Ahok yang mengatakan Megawati bertekuk lutut di hadapan Ahok atau PDIP saat ini sedang terjepit.

Lebih lagi PDIP juga masih menyimpan “senjata” rahasia. Senjata rahasia itu berupa informasi mengenai jumlah KTP dukungan yang berhasil dikumpulkan oleh TemanAhok. Tentu saja informasi itu didapatkan PDIP dari sejumlah kadernya yang menjadi relawan Ahok. Kalau nanti, PDIP mengattakan jumlah KTP yang terkumpul jauh di bawah 1 juta, sekali pun itu bohong, maka pernyataan PDIP itulah yang akan dipercaya publik. Dengan demikian rontok sudah propaganda Ahok lewat gembar-gembor jumlah KTP yang berhasil dikumpulkannya. Dan, dengan tetap menjaga jarak dari Ahok, sebenarnya PDIP tengah menanamkan keraguan publik akan jumlah KTP tersebut..

Selain sikap PDIP, kepasrahan TemanAhok yang pasrah begitu saja dengan pilihan Ahok telah menunjukkan kalau perolehan KTP tidak seperti yang diinformasikan. TemanAhok sudah bekerja hampir 18 jam sehari. Berseteru dengan sana-sini. Mencari dana ke sana-sini. Serelawan-relawannya manusia, apakah akan pasrah begitu saja? Anehnya, justru TemanAhok yang sedemikian keras mendukung “jalan parpol” Ahok. Ini benar-benar sandiwara yang menggelikan. Karena dengan sikapnya itu, sama saja TemanAhok telah mengakui kalau mereka bukan relawan, tetapi hanya karyawan yang dibayar oleh boss-nya dan hanya bisa manggut-manggut kepada kemauan si boss  Itu artinya pengumpulan KTP pun hanya sandiwara saja. Dan jumlah KTP yang berhasil dikumpulkan pun hanya ilusi semata. Motifnya, apalagi kalau bukan untuk mencuri start kampanye.  .

Parpol adalah kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan. Untuk itu parpol berupaya sedemikian rupa agar dapat menempatkan orang-orangnya di pucuk kekuasaan. Dengan keputusan Ahok yang akan maju lewat jalur parpol, sebenarnya Ahok telah memberi jalan kepada parpol untuk menyingkirkannya dari bursa cagub DKI. Dan, dengan tersingkirnya Ahok, maka akan terjadilah persaingan baru di mana tidak ada lagi calon petahana. Maka rontok sudah argumen yang mengatakan parpol pasti akan mendukung Ahok karena Ahok adalah calon kuat sedangkan sifat parpol adalah memburu kekuaasaan..Justru dengan majunya Ahok lewat jalur parpol ini, maka parpol mendapat kesempatan untuk menyingkirkan calon kuat.

Sempai saat ini Ahok masih mendapat dukungan dari Nasdem, Hanura, dan Golkar. Sementara sampai dengan tanggal 21 September 2016 sebagai tenggat waktu pedaftaran calon, para elit parpol masih akan berjumpalitan kian kemari. Tidak menutup kemungkinan antara Nasdem, Hanura, ataupun Golkar akan terjun dalam sirkus politik itu. Kalau saja salah satu dari ketiga parpol itu memberikan sinyal akan hengkang, bahkan Nasdem sekalipun, pastilah Ahok akan kebakaran jenggot. Jadi sangat lucu kalau ada yang mengatakan kalau penentang Ahok kebakaran jenggot dengan majunya Ahok lwwat jalur parpol. Justru Ahok dan pendukungnyalah yang akan dibuat jantungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun