Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Rumah Mantan Presiden

15 April 2015   23:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:03 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14291141751772500044

Pagi ini hujan turun dengan derasnya, cukup mengganggu  jarak pandang saya berkendara. Terpaksa saya menepikan mobil saya ke sebuah warung kopi kecil di tepi jalan. Istri saya yang sedari tadi tertidur pulas, terbangun dan menguap pelan. Dua putra saya masih sibuk dengan komputer tabletnya bermain game. Saya tersenyum, begitu mudahnya menenangkan anak-anak sekarang. Beri saja komputer tablet berisi games sudah membuat mereka tenang.

Istri saya mengerjapkan mata sebentar dan menaikkan sandaran kursinya.

"Sampai dimana kita Pah? Hoahhm.. Hujan lebat sekali... Sultan, tolong ambilkan jaket Mama di jok belakang. Mama merasa kedinginan. Hoahmm.."

Saya melihat GPS di ponsel saya yang saya pasang di dashboard untuk melihat posisi kami. Kami sudah tidak jauh lagi dengan tujuan kami, desa Tanjaena.

"Kita sudah hampir sampai tujuan, tapi karena hujan deras banget, yuk kita mampir minum hangat dulu.. Ayo, Sultan, Raja.. Kita turun sebentar. Berhenti dulu main games-nya..."

Saat itu warung sedang sepi. Di warung kopi itu, kami memesan teh panas dan mencicipi kue gorengan yang masih hangat, cukup menghangatkan kami di tengah hujan lebat dan udara yg cukup dingin. Ibu warung membuka percakapan dengan kami sambil mengelap piring dan gelas yang baru dicuci.

"Kalian dari kota? Mau ke rumah siapa pagi-pagi begini?"

Ibu warung itu kira-kira berumur enam puluh lima tahun namun masih cekatan melayani pembeli.

"Kami akan ke rumah Pak Barlim. Hendak melihat rumah dan tanah yang kabarnya dijual."

Ibu warung menghentikan kegiatan mengelapnya.

"Ohhh, si Barlim.. Dia tinggal di ujung jalan ini. Kalian jalan saja ke arah utara, nanti ada persimpangan, pilih jalan yang kiri. Itu satu-satunya jalan menuju ke rumahnya. Jalan itu menuju rumah Barlim.”

Saya mengangguk-angguk. Saya kira di GPS tadi tidak ada petunjuk apapun tentang adanya persimpangan jalan itu, tapi baiklah kita lihat saja nanti. Sambil mengelap gelas-gelas, ibu itu bercerita tentang Pak Barlim dan rumah yang dijual.

"Barlim dulu memang pemilik rumah itu, tapi kemudian rumah itu dibeli oleh seseorang. Oleh pemiliknya, rumahnya dibongkar lalu dibangun rumah baru yang cukup besar. Si Barlim diminta untuk menjaga rumah itu. Hampir setiap hari terutama menjelang petang, Barlim mampir ke warung ini Nak... Katanya kopi buatan Ibu sangat enak. Dia juga suka sayur rebung buatan Ibu..." kata Ibu warung terkekeh, memperlihatkan ruang di dalam mulutnya yang sudah jarang bergigi.

Saya menyeruput teh saya sedikit dan memberikannya kepada istri saya, lalu memesan kopi buatan Ibu warung yang katanya enak itu. Sultan dan Raja mulai ribut berebut komputer tablet karena punya si bungsu Raja low battery. Saya turun tangan mendamaikan kedua anak saya karena istri saya dengan perasaan malas memberi sinyal gerakan mata yang artinya ia menyerahkan urusan itu kepada saya. Hmm, bukankah seharusnya sosok ibu yang mendamaikan mereka? Saya mengambil power bank dari tas pinggang saya untuk mengisi daya baterai komputer tablet Raja.

Tapi memang, sejak kami berangkat tadi, nampaknya istri saya kurang bersemangat. Ia merasa kecewa karena seharusnya ia akan datang di acara reuni sekolahnya. Peduli amat.. Saya butuh teman untuk melihat rumah yang sedang ditawarkan yang mungkin bisa menjadi tempat kami beristirahat di akhir pekan. Rumah yang menurut informasi dari kawan saya bangunannya seluas seratus meter persegi, berlantai dua dengan luas tanah seribu meter persegi, yang ditawarkan dengan harga sangat miring. Penawarannya hanya dari mulut ke mulut dan sampai kepada saya lewat kawan yang kebetulan memiliki kenalan di desa Rambea, desa tetangga Tanjaena.

Ibu warung sudah selesai menyeduh kopi dan menyerahkannya kepada saya. Kopi mulai saya seruput sedikit-sedikit. Kopi ibu warung memang terbukti enak. Saya menghabiskan dua cangkir pagi itu.

Tidak lama, hujan sepenuhnya reda, menghembuskan udara beraroma air dan dedaunan yang menyegarkan nafas kami. Segera kami beranjak pergi dari warung itu. Setelah melewati jalanan tanah dan berbatu yang rindang oleh pepohonan. kami sampai di rumah yang kami tuju. Rumah itu dikelilingi oleh pohon-pohon yang tidak terlalu tinggi namun cukup lebat. Ada jalan setapak berkelok menuju rumah dan tanaman perdu di kanan kirinya. Di depan rumah ada kolam ikan yang dilengkapi dengan air mancur.

Suasana di sini sejuk sungguh melegakan hati. Burung-burung berkicau riang keluar dari sarangnya, beterbangan kesana kemari. Gemericik air dari kolam makin melengkapi suasana khas rumah hutan yang sempurna untuk pelarian akhir pekan kami. Sultan dan Raja sudah lebih dulu turun tanpa diperintah setelah melihat kolam ikan dari mobil. Mereka segera sibuk menebak nama-nama ikan di dalam kolam: ikan bandeng, ikan tongkol, ikan pepes... Membuat saya tersenyum geli melihat kedua buah hati saya.

Rumah itu tidak terlalu megah meskipun berlantai dua. Pintu ke ruang tamu terlihat terbuka lebar.Pak Barlim rupanya sudah menunggu kami. Dia duduk di balik pintu ruang utama sambil membaca koran. Tubuhnya kurus, mengenakan kaus ukuran besar dan kain sarung. Saya memperkirakan usianya kira-kira enam puluhan tahun. Saya dan istri saya masuk ke dalam rumah, memperkenalkan diri dan duduk di ruang tamu.

Rumah itu sederhana tanpa banyak perabot menghias sehingga terasa cukup lapang. Kami mulai bercakap-cakap tentang kehidupan masing-masing. Di sela percakapan, mata kami memindai interior rumah. Rumah ini terawat baik. Lalu saya mengutarakan niat kami serta menanyakan tentang kondisi rumah.

"Sangat baik, Pak Gema. Anda bisa melihat-lihat isi rumah dan juga halaman rumah ini sangat indah…”

Saya mengakuinya. Taman di halaman rumah nampak terawat baik dan sepertinya didesain dengan baik oleh seorang desainer lansekap. Sejenak ada jeda beberapa saat sebelum Pak Barlim melanjutkan kembali pembicaraannya mengenai rumah itu.

“Dulu saya tinggal di sini, sebelum rumah lama saya berikut areal tanah ini dibeli oleh seseorang yang sekarang menjadi majikan saya. Waktu itu saya memerlukan uang untuk pengobatan almarhumah istri saya. Oleh majikan saya, rumah lama saya dibongkar dan dibangun seperti sekarang ini. Dulu bangunan rumah saya lebih kecil, jauh berbeda dengan sekarang. Rumah lama kami cukup buat kami berempat…" katanya tersenyum.

Lalu Pak Barlim mengajak kami untuk melihat-lihat isi rumah. Sultan dan Raja yang masih bermain di tepi kolam saya panggil bergabung. Mereka berlomba masuk ke dalam rumah. Dua bocah yang lumayan hiperaktif ini berlari ke arah saya dan menerkam kedua kaki saya seakan menjadi tiang finish mereka.

"Majikan saya namanya Pak Sarbinanta, setiap bulan bersama keluarganya datang kemari untuk melihat kondisi rumah. Sesekali bersama beberapa orang membantu saya membersihkan rumah."

Pantas rumah ini begitu bersih dan terawat. Lalu kami berjalan menapaki tangga ke lantai dua. Dari balkon,rasanya lebih melegakan. Sungguh indah, pucuk bukit terlihat menghampar di kejauhan memancarkan warna hijaunya. Saya membayangkan di balkon ini saya bisa bersantai membaca buku atau menulis. Istri saya memilih mengawasi Sultan dan Raja yang kini sibuk naik turun tangga rumah.

"Setiap datang, Pak Sarbinanta menyerahkan gaji saya dan membawakan kebutuhan sehari-hari Beras, gula, teh... Tapi sering saya berikan kepada kedua anak saya yang bergantian datang kesini. Mereka sudah berkeluarga dan tinggal di desa Tamaera, kira-kira dua puluh kilometer dari sini. Sehari-hari saya makan, ngopi di warung Senung di pinggir jalan sana…”

“Ah.. ya Pak… Tadi ketika hujan lebat, kami sempat mampir minum kopi di situ… Kopinya sungguh enak…”

“Oh, kalian sempat dari sana ya? Ya, ya… Kopi buatan Senung memang enak sekali…”

Lalu, kami kembali turun ke ruang tamu. Sesekali istri saya diam-diam menunjukkan rasa sukacitanya terhadap rumah ini. Kami segera duduk diikuti oleh dua jagoan saya yang terengah-engah kelelahan setelah berulangkali naik turun tangga rumah. Istri saya menyeka kening mereka yang berkeringat dengan sapu tangannya. Mereka segera menyambar dua cup air mineral yang diberikan Pak Barlim dan menyedotnya kencang hingga tak lama air dalam cup sudah berpindah ke perut mereka.

"Beberapa minggu lalu, Pak Sarbinanta datang di luar jadwal. Ia mengatakan rumah ini hendak dijual kepada siapa saja yang mau. Maka saya menginformasikan kepada orang-orang di desa ini, di acara pengajian kampung, atau pas hajatan, barangkali ada orang sini yang ingin membeli rumah ini. Tapi tidak ada yang tertarik hingga Bapak datang kemari… Saya sih ingin cepat-cepat laku saja karena saya mau istirahat Pak…” katanya tersenyum.

Saya mengangguk-angguk. Menurut saya, dengan segala kesempurnaan rumah ini, harga yang ditawarkan sangatlah miring. Saya kira saya sangat berminat dengan rumah ini. Begitu pula istri saya yang saya lihat dari tadi menunjukkan decak kagumnya. Sultan dan Raja sudah terlelap setelah kelelahan. Pak Barlim melihat mereka dan tersenyum.

"Hhmm, mereka lucu sekali. Saya sangat senang dengan anak-anak. Tingkah mereka membuat saya ingat kedua anak saya ketika kecil dulu. Kedua anak saya sekarang sudah menikah tapi belum memiliki anak. Putra pertama saya sudah lima tahun menikah. Putri saya baru lima bulan lalu menikah dengan tentara. Baru sebulan menikah, suaminya sudah tugas berlayar ke luar pulau. Sesekali putri saya tinggal di sini menemani saya tetapi cuma sehari dua hari. Di sini sepi. Jauh dari tetangga…"

Pak Barlim bangkit hendak membuatkan minuman kepada kami. Tapi kami buru-buru menolaknya, membuatnya kembali duduk.

"Pak Barlim, saya sangat berminat dengan rumah ini. Rumah ini begitu indah, asri dan suasanya sungguh tenang. Udaranya juga masih bersih, membuat kami bisa segar kembali memulai hari-hari sibuk di kota. Kami sungguh berminat dengan rumah ini Pak."

Pak Barlim tersenyum. Ia lalu mengambil ponselnya dari saku celananya dan sambil mendengar nada sambung, ia berjalan masuk ke salah satu kamar di bagian belakang. Tidak lama ia berbicara dengan seseorang di seberang sana. Saya hanya mendengar sedikit kata-katanya. Lainnya, saya lebih sering mendengar kata "Baik, Pak". Mungkin ia berbicara dengan Pak Sarbinanta.

Sambil menunggu Pak Barlim menelepon, saya bangkit untuk berjalan-jalan singkat di halaman, menyapukan pandangan saya ke seantero halaman. Istri saya memilih membaca majalah yang ia ambil dari kolong meja. Rumah ini sangat mempesona dan akan menjadi hari keberuntunganku jika dilepas dengan harga murah. Saya akan berupaya sekuat tenaga demi mendapatkan rumah ini. Saya merentangkan kedua tangan saya dan menarik nafas panjang. Hmm…Sungguh melegakan, serasa oksigen murni tanpa polusi.

Sepertinya Pak Barlim sudah selesai menelepon. Saya segera kembali ke ruang tamu.

"Barusan saya bicara dengan Pak Sarbinanta. Saya mengatakan Anda sangat berminat dengan rumah ini.  Beliau akan datang ke rumah ini untuk menemui Anda Pak. Minggu depan, menjelang siang, silakan Bapak datang ke sini. Ini nomor Pak Sarbinanta untuk masalah jual beli…" kata Pak Barlim seraya mengangsurkan secarik kertas bertuliskan nomor ponsel Pak Sarbinanta.

"ee.. Maaf Pak, ee... Jadi, berapa harga rumah ini?" tanya saya sekedar memastikan harganya. Sebelumnya saya sudah diberi tahu harga rumah ini dari teman saya. Namun tak ada salahnya memastikan.

Pak Barlim terkekeh. "Berapa yang Anda dengar?"

Saya menyebutkan angka.

"Ya, benar, Pak. Oh ya, tadi Pak Sarbinanta berpesan kalau semua perabot rumah ini nanti bisa menjadi milik Bapak, kecuali beberapa barang yang nanti akan diinformasikan oleh beliau..."

Dalam hati saya merasa ingin melompat kegirangan, namun saya memilih meremas paha kanan istri saya. Istri saya terkejut seraya melempar majalah yang ia baca ke lantai, membuat Sultan dan Raja terbangun. Mungkin rumah ini akan menguras segala sumber daya keuangan kami, namun tidak apa-apa. Saya akan bekerja lebih keras lagi…, dan rumah ini akan menjadi motivasi saya.

"Bagaimana, Pak?" kata Pak Barlim membuyarkan keterkejutan saya..

"Ee.. Iya iya Pak. Saya membelinya Pak.. Saya beli rumah ini Pak!" kata saya yang kesulitan menyembunyikan kebahagian saya yang tak terkira.

Lalu, kami masih berbincang beberapa waktu lamanya sebelum pamit pulang ke kota menjelang tengah hari. Matahari siang bersinar tanpa semangat karena barisan awan kelabu nampaknya akan segera melingkupinya. Kata ayah saya, hujan pertanda datangnya rezeki. Mungkin apa yang kami peroleh hari ini adalah rezeki itu.

***

Setelah beberapa kali berbincang lewat telepon dan sekali bertatap muka di sebuah hotel berbintang untuk melakukan akad pembelian rumah, pada hari Minggu yang telah ditentukan, kami kembali mengunjungi rumah itu. Namun kali ini agak berbeda. Sejumlah polisi nampak berjaga di sepanjang jalan, juga beberapa orang berpakaian seragam berwarna gelap polos. Warung ibu Senung juga tidak buka. Di bangku warung, beberapa orang polisi duduk dan berbincang. Ada apa gerangan?

Setelah melalui persimpangan, mobil kami dihentikan oleh seorang petugas berseragam. Kami menjelaskan keperluan kami dan petugas itu mempersilakan kami melajukan kendaraan. Kalau dilihat dari sepasukan orang-orang ini, nampaknya ada tokoh penting yang singgah ke desa ini. Tapi saya tidak menerima informasi apapun sejak berangkat dari rumah hingga perjalanan yang sejauh ini.

Tiba di areal rumah, kami malah terkejut lagi. Ada cukup banyak orang berseragam di beberapa tempat, terlihat sepanjang jalan menuju rumah dan di dekat hutan di belakang rumah. Masing-masing membawa alat komunikasi di genggaman mereka. Saya mengernyitkan dahi masih penuh tanda tanya tentang situasi ini. Saya melihat GPS di ponsel kalau-kalau saya salah arah. Benar, kok.

Sejumlah mobil diparkir di halaman rumah. Ada lima atau enam mobil dan dua kendaraan besar yang nampaknya truk dari kepolisian. Istri saya termangu dan setiap bertanya ke saya “Ada apa ini Pa?”, saya tidak menjawabnya. Anak-anak duduk tenang di jok paling belakang dengan wajah menempel di kaca jendela, mencoba menganalisis situasi tersebut dengan pikiran mereka.

Lalu saya memarkir mobil di area yang kosong. Pak Barlim datang menyambut kami yang merasa bingung dengan hal ini.

“Mari, mari Pak Gema… Mari masuk… Pak Sarkananta sudah menunggu…”

“Pak Sarkananta? Sarkananta siapa ya Pak? Bukannya Pak Sarbinanta?” tanya saya masih diliputi kebingungan.

Pak Barlim tersenyum. “Sarkananta, Pak. Apakah Pak Gema ingat mantan Presiden kita dulu yang bernama Sarkananta? Ingat, Pak Gema? Nah, beliau sekarang ada di dalam rumah menunggu Pak Gema.”

“Apa? Sarkananta mantan Presiden itu?”

“Benar, Pak Gema… Maaf sekali saya tidak mengatakan kepada Bapak kalau beliau adalah pemilik rumah yang sebenarnya?”

“Oh, Tuhan, Pak Barlim…Ja.. Jadi, pemilik rumah ini Pak Sarkananta? Aduh Pak, saya harus bagaimana? Bagaimana kami bisa menemuinya dengan… akh..”

“Pak Gema, sudahlah, Anda tenang saja… Bersikap biasa saja sebagaimana orang lain pada umumnya. Orang-orang ini ada di sini karena memang mereka sedang bertugas.”

Saya menelan ludah tak tahu apa yang harus kami lakukan nanti. Istri saya menggamit tangan kiri saya nampak cemas, yang membuat kedua putra saya juga terlihat sendu.

“Mari, Pak Sarkananta sudah menunggu Bapak. Beliau memutuskan datang ke sini karena sangat ingin bertemu dengan orang yang membeli rumahnya… Mari, Pak Gema…”

Kami pelan-pelan berjalan ke arah pintu masuk utama rumah yang terbuka lebar. Ketika hampir dekat, sesosok wanita yang biasa kami lihat di televisi ataupun koran keluar dari pintu dengan langkah anggun. Beliau adalah Nyonya Sarkananta, mantan ibu negara. Tanpa ragu, beliau memeluk istri saya dan cipika cipiki. Lalu menyalami saya dan mengecup dahi Sultan dan Raja bak menyambut cucu-cucunya. Kami serasa menjadi tamu kehormatan, di rumah orang yang pernah berkuasa di negeri ini lima tahun lampau, yang rumahnya bakal saya miliki. Nyonya Sarkananta memanggil beberapa nama dan datanglah tiga anak, laki dan perempuan mendatangi kedua putra saya dan mengajak mereka bermain di halaman. Mereka cucu-cucu Pak Sarkananta, saya pernah melihat foto-foto mereka di salah satu koran ibukota. Saya membiarkannya, saya kira mereka akan baik-baik saja.

"Mari Pak Gema dan Ibu, silakan masuk. Bapak sudah menunggu." Kata mantan ibu negara yang siang itu berbalut blus polos putih berenda dan bawahan celana khaki berwarna sama.

Saya merasa jantung saya berdebar tidak keruan hendak bertemu dengan Pak Sarkananta yang sangat dicintai manusia-manusia di negara ini. Beliau sangat bersahaja. Bukan dari kalangan berada namun sangat cerdas dan bijak memerintah. Kebijakan-kebijakannya selama tujuh tahun memerintah sangat melegakan kehidupan semua lapisan masyarakat. Memang ada beberapa kebijakan yang kadang berseberangan dengan lawan politiknya. Namun, beliau mampu meracik semua tantangan itu menjadi akhir yang manis yang mendecakkan setiap orang. Sungguh baru di masa pemerintahan beliau kami semua rakyat negara ini merasa damai dan tenteram.

Dan beliau, sang mantan Presiden Sarkananta, kini telah berada di hadapan kami menyambut kami, orang biasa yang kebetulan membeli rumahnya. Saya membungkukkan badan dan menyalaminya. Lalu menyalami Pak Sarbinanta, adiknya, yang selama ini berhubungan dengan saya berkaitan dengan jual beli rumah ini.

Nyonya Sarkananta mempersilakan kami langsung ke ruang makan. Di benak saya, kami akan makan secara formal, namun kenyataannya berbeda seratus delapan puluh derajat. Malah sebagian menu dimakan dengan menggunakan jari-jari tangan. Menu-menu yang terhampar di meja makan hampir semuanya masakan tradisional buatan Nyonya Sarkananta dan semuanya tampil menggoda selera. Pas dengan kondisi perut kami yang sedang kosong.

Selama makan, kami berbincang cukup banyak tentang segala hal. Pertama-tama saya agak terbata-bata menata kalimat. Maklum, beliau mantan orang nomor satu di negeri ini. Namun lama-lama saya semakin rileks berdiskusi dengan beliau. Pembicaraan kami umumnya tentang politik nasional dan internasional, ekonomi, hukum dan lainnya termasuk berita-berita hangat saat ini. Lainnya kami berbicara tentang olahraga. Ternyata, sang mantan presiden yang selama ini dikenal sebagai soccer mania ternyata lebih menggemari bola basket dan kriket. Saya tidak mengira kami berdua menggemari olahraga bola basket.

"Well, saya kurang suka sepak bola. Tapi rakyat kita kebanyakan suka bola dan saya harus menempatkan posisi saya di pihak mereka.. Tapi jujur, saya lebih suka bola basket dan kriket meskipun saya harus membayar untuk sambungan televisi kabel di rumah kami." katanya terbahak.

Ya, memang. Saluran televisi cenderung menayangkan siaran olahraga yang paling populer di masyarakat dan kurang memihak pada sebagian rakyat lainnya yang menggemari bola basket, kriket, tenis atau golf.

Perbincangan di sesi makanan penutup kami akhiri dengan topik ringan seputar dunia hiburan. Betapa dia sangat menyukai penyanyi Afizya yang selalu mengumbar sensasi daripada suara emasnya. Untuk topik ini, rasanya perbincangan lebih didominasi istri saya dan Nyonya Sarkananta; dan jika para nyonya berbicara tentang hal ini... Bisa-bisa perlu waktu sepanjang hari dengan topik yang "ngalor ngidul" alias campur-campur. Dibuka dengan topik artis yang sedang naik daun dan ditutup dengan tips membuat bolu kukus pandan yang lezat. Istri saya juga nampak terlihat rileks berbagi tips memasak dengan Nyonya Sarkananta.

Menjelang petang, Pak Sarkananta dan istrinya berpamitan akan pulang ke ibukota. Pesawat mereka terjadwal berangkat malam ini. Kami mengucapkan terima kasih atas segalanya. Pak Sarkananta memberikan kartu namanya seraya mengatakan, "Kita bisa menjadi teman dekat, Pak Gema..." Dia menyalami saya erat dan memeluk saya sebelum masuk ke mobilnya. Nyonya Sarkanta juga mengucapkan selamat tinggal kepada kami seraya memberikan kotak kado kepada istri saya, dan dua kotak kecil untuk Sultan dan Raja.

Tidak lama seusai iring-iringan mobil sang mantan presiden, keluarga dan para pengawal berjalan meninggalkan areal rumah, meninggalkan suasana sepi yang serupa ketika kami tiba pertama kali di rumah ini, menyisakan kami dan Pak Barlim yang berdiri di depan rumah di penghujung senja. Saya memeluk Pak Barlim, mengucapkan terima kasih berulang kali kepadanya.

Gerimis mulai turun. Kami bersiap kembali ke kota. Pak Barlim mengatakan tugasnya telah usai dan mulai minggu depan ia akan pindah dari rumah itu dan hidup bersama anaknya yang tinggal di desa Tamaera. Mobil kami berjalan perlahan menuju kota membawa harapan dan suka cita kami bahwa kami baru saja membeli sebuah rumah, rumah mantan presiden.

Sidoarjo, 29 Maret – 15 April 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun