[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Illustrasi/dok.orangtua.org"][/caption] Ayah saya pernah bercerita bahwa ia pernah punya seorang teman yang hidup menggelandang di jalanan. Saat itu Ayah saya masih kuliah di Yogyakarta. Suatu saat Ayah saya menemuinya di sebuah emperan toko. Ibu saya tidak ikut menemuinya karena ibu saya tidak kuat dengan bau badan teman ayah saya itu. Teman ayah saya itu tidak mandi berbulan-bulan. Bahkan pakaiannya pun sudah compang-camping. Ayah banyak bertanya tentang alasan dan pengalamanya hidup menggelandang di jalanan. Satu hal yang membuat saya berpikir sampai saat ini. Cerita itu seloah menjadi inspirasi bagi saya bagaimana memperlakukan sebuah makanan. Dia bercerita bahwa ia makan dari tempat sampah. Dia mengais makanan dari tempat sampah yang satu ke tempat sampah yang lain. Dia tidak merasa jijik. Karena hanya dengan makanan basi, bekas dan yang sudah dibuang itulah dia bisa bertahan hidup. Dia bercerita pada ayah saya bahwa kebiasaan orang-orang keturunan di Yogyakarta saat itu membuat dia merasa beruntung mengubek-ngubek tempat sampah mereka. Orang-orang keturunan mempunyai kebiasaan yang berbeda dengan penduduk lainnya. Sisa makanan dipisahkan dan dibungkus rapat-rapat kemudian di buang ke tong sampah dalam keadaan di bungkus kantong plastik. Nah, makanan sisa yang dibungkus inilah makanan yang paling istimewa buatnya. Sisa makanan tidak bau. Minimal dia masih bisa merasakan kenikmatan makanan sisa tersebut. Itulah kisah yang begitu singkat namun memberikan saya banyak sekali pelajaran. Sebagai seorang Muslim saya dididik oleh orang tua saya untuk tidak menyisakan sedikitpun makanan yang saya makan. Sebutir nasipun akan saya habiskan. Ibu saya selalu bercerita bagaimana dulu ia hidup berkecukupan. Berulang kali ibu menceritakan bagaimana sebutir telur harus dibagi-bagi oleh nenek saya pada anak-anaknya. Kebetulan Ibu adalah anak tertua dari tujuh bersaudara. Memang saat itu Kakek hanyalah penjaja terasi. Bahkan Kakek juga kerja serabutan menjadi kuli bangunan. Hidup pada zaman itu memang sulit. Konon kata ibu saya setiap kali mengingatkan saya untuk menghabiskan makanan yang saya makan. Sebagai orang tua kita memang selalu mengingatkan anak kita untuk menghabiskan makanannya. Jika tidak dihabiskan nasinya akan menangis. Atau mungkin lebih jauh lagi nasi yang tidak kita habiskan akan meminta pertanggung jawaban di akhirat mengapa ia di sia-siakan. Meski pada saat kecil saya merasa bosan dengan cerita Ibu saya tentang sebutir telur yang harus dibagi rata berulang kali, namun cerita ini pulalah yang menjadikan saya tidak tega untuk menyisakan makanan yang saya makan. Sejak saat itu saya usahakan selalu menghabiskan makanan saya. Sampai butir nasi terakhir. Uniknya prilaku saya yang selalu makan dengan bersih, artinya tidak ada sebutir nasipun yang tersisa di perhatikan oleh paman ipar saya. Kemudian ia bercerita mempunyai seorang saudara berkebangsaan Belanda yang mempunyai cara yang sama dengan saya. Selalu menghabiskan makanan hingga butir nasi terakhir. Paman saya bercerita bahwa saudaranya itu adalah seorang pemeluk Katolik yang taat. Kadang paman saya juga kurang sabar kalau harus makan satu meja dengannya. Pasalnya saudaranya itu berdoanya terlalu lama hahaha sedangkan paman saya mungkin kadang juga suka lupa berdoa sebelum makan. Apalagi di zaman gadget sekarang orang Indonesia konon dikenal punya ritual memotret dulu makanannya sebelum makan untuk di share ke media sosial. hahaha
[caption id="" align="aligncenter" width="604" caption="Illustrasi/dok.katerinas.multiply.com"]