Banjir di wilayah Jakarta merupakan masalah akut yang sudah terjadi sejak jaman baheula. Ya banjir menjadi biasa saja seperti hal yang terjadi musiman. Musim hujan, ya artinya musim banjir.Â
Kejadian banjir musiman terjadi nyaris setiap tahun. Banjir menjadi problematika rutin bagi siapapun yang menjadi pimpinan di ibukota Indonesia ini. Mulai dari Gubernur Jenderal Jaman VOC hingga Gubernur Anies Baswedan.
Bagi masyarakat yang kerap kali terdampak banjir, hal ini menjadi seperti ritual rutin tahunan saja. Mereka seperti sudah terbiasa menghadapi kondisi ini. Masyarakat bersiap dengan cara nya sendiri untuk meminimalisir kerugian yang mereka harus alami akibat banjir.
Meskipun dianggap sudah terbiasa, banjir tak juga harus dianggap normal. Banjir itu tak perlu juga diperdebatkan, saling menyalahkan juga apa perlunya.Â
Yang perlu dilakukan adalah menyelesaikan agar banjir tak terjadi lagi. Jika itu dianggap sebagai harapan utopis, paling tidak bisa meminimalisir dampaknya.
Membereskan banjir itu harus dipikirkan saat kemarau tiba, bukan saat hujan tiba.Â
Namun yang kadang membuat saya heran adalah cara rezim dalam menangani banjir, satu rezim pemerintahan akan berbeda rezim yang menggantikannya dalam menyelesaikan masalah banjir.
Contohnya, saat Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta cara menyelesaikan banjir yang terlihat cukup baik, tak diteruskan oleh Gubernur penggantinya Anies Baswedan.
Entah apa alasan pemerintahan yang baru tak mau meneruskan hal yang baik dari pemerintahan sebelumnya.Â
Jangan karena gengsi atau ingin terlihat lebih oke atau alasan politis dengan mengorbankan masyarakat banyak. Namun begitu banjir terjadi seperti hari ini, semua pihak terlihat gagap menghadapi banjir yang datang.
Padahal prediksi hujan yang datang secara ekstrem sudah disampaikan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Â kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.