Mohon tunggu...
Muhammad Fakhriansyah
Muhammad Fakhriansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta

Muhammad Fakhriansyah adalah mahasiswa semester akhir di program studi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta. Sejak Februari 2021 menjadi kontributor tetap Tirto.ID. Tulisannya berfokus pada sejarah kesehatan Indonesia dan sejarah politik internasional. Penulis dapat dihubungi melalui: fakhriansyahmuhammad27@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Melihat Jejak Makanan Indonesia melalui "Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia"

7 Agustus 2019   22:18 Diperbarui: 10 April 2022   12:49 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuliner. Sumber ilustrasi: SHUTTERSTOCK via KOMPAS.com/Rembolle

Makanan diciptakan sebagai respons biologis manusia untuk mencukupi salah satu kebutuhan biologisnya, yaitu memenuhi kebutuhan untuk menghilangkan rasa lapar.

Makanan---yang kita makan saat ini---merupakan suatu proses percampuran beragam jenis dan identitas budaya seperti budaya India, Tiongkok, Arab, dan Eropa dengan budaya lokal yang terbentuk dari beberapa lapisan waktu dan memiliki jejak sejarah di masa lalu.

Melalui Tesisnya di UGM yang kemudian dijadikan buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia, Fadly Rahman sekaligus sejarawan UNPAD, berhasil menelusuri akar sejarah makanan di Indonesia dengan melihat permasalahan seputar makanan di Indonesia melalui aspek politik, ekonomi, dan budaya di masa lampau.

Lewat penelitiannya yang luas dan mendalam, Fadly secara garis besar membagi buku ini menjadi tiga bagian.

Pertama, jejak sejarah makanan di Indonesia sebelum masuknya pengaruh asing. Kedua, pengaruh asing terhadap pembentukan makanan di Indonesia. Ketiga, pembentukan jati diri bangsa Indonesia dengan makanan sebagai medianya.

Ketika membuka buku ini, pembaca langsung diantarkan penulis melihat jejak makanan di masa kuno yang tertulis di Prasasti Taji (901 M), Prasasti Watukura (902 M), dan kitab Negarakertagama (1365 M). Di bukti kuno tersebut terkuak informasi bahan makanan yang dikomsumsi masyarakat pada zaman itu, seperti beras, tahu, ikan, dan dendeng yang ketika dipadukan dengan bumbu akan menghasilkan ragam makanan terolah seperti sambel, pecel, dan lain sebagainya.

Hingga pada akhirnya pengaruh asing masuk dan berhasil fusion dengan boga pada masa kuno dan menghasilkan perubahan sosial budaya dan lingkungan alam yang tentu mempengaruhi budaya makan hingga pada akhir abad ke-18. Pembudidayaan bahan makanan yang dilakukan menyebabkan lahirnya semangat baru dalam keseharian masyarakat salah satunya ditandai dengan pembentukan selera dan citarasa baru.

Dengan menyajikan pandangan Rafles, Reindwart, Crawfurd, dan naskah kuno "Serat Centhini", penulis memberikan informasi
bagaimana domestikasi hewan, penanaman 2000 jenis tanaman baru terjadi di Pulau Jawa dan memberikan informasi bahwa makanan seperti, le-meng (lamang), tempe, dan jangan tomis (sayur tumis) telah ada sejak masa silam.

Jika sebelumnya pewarisan resep makanan diwariskan secara lisan dengan juru masak sebagai agennya, maka selanjutnya pewarisan resep makanan dilakukan dengan menulisnya ke dalam buku masak. Hal ini menandai awal mula perkembangan buku masak dan ilmu makanan di Hindia Belanda yang diawali dengan kemunculan buku masak pertama, yaitu kokki bitja (Conelia,1857) diiringi dengan kemunculan Oost-Indische Kookboek (anonym, 1866), Indisch kookboek (Gerardina Gallas Haak Bastiaanse,1872), Boekoe Masakan Baroe (Johanna, 1896), dan Groot nieuw volledig Indisch kookboek (Cateniusvan der Meijden).

Dari publikasi buku-buku masak sejak kurun waktu abad ke-19 hingga awal abad ke-20 itu, berkembang sebuah konsep kuliner kawasan yang oleh para gastronom masa itu disebut dengan istilah Indische keuken (kuliner Hindia). Melalui Indische keuken beberapa penulis buku masak melakukan kategorisasi resep berdasarkan kelompok sosial di tanah koloni. Misalnya, penulis Oost-Indisch kookboek (1870) mengelompokkan resep dengan kategori "makanan Belanda" (Hollandsch eten)
dan "makanan Bumiputera" (Inlandsch eten).

Pengelompokkan ini menyiratkan usaha untuk memurnikan resep-resep bercitarasa Eropa agar tidak bercampur dengan resep-resep Bumiputera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun