Mohon tunggu...
Nurfajri Budi Nugroho
Nurfajri Budi Nugroho Mohon Tunggu... -

Pernyuka isu-isu politik, ekonomi, dan hubungan internasional | www.papapuan.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Perang untuk Damai?

1 September 2010   08:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:32 1362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Adagium Latin “jika menginginkan perdamaian, maka bersiaplah untuk perang” (Si vis pacem, para bellum) tak selamanya benar. Ada banyak cara untuk mewujudkan perdamaian, salah satunya dengan memperkuat kemampuan berdiplomasi.

Menyimak setiap ketegangan yang terjadi antara Indonesia-Malaysia, termasuk dalam insiden penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh aparat Malaysia di Bintan, seakan-akan bangsa ini diajak untuk bersiap menghadapi peperangan, dan diplomasi menjadi pilihan yang kurang menarik. Hal itu terlihat dari pemberitaan di media massa nasional yang membanding-bandingkan kekuatan militer kedua negara, termasuk memuat pernyataan para pengamat dan politisi yang mengobarkan semangat untuk berperang. Reaksi keras dari berbagai elemen itu bisa dipahami karena adanya trauma atas hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan tahun 2002 lalu. Karenanya, setiap pelanggaran perbatasan oleh Malaysia dipahami sebagai upaya untuk menggerogoti wilayah dan kedaulatan Indonesia.

Beruntung sejauh ini pemerintah kedua negara tidak terseret oleh emosi yang meluas dan lebih mengedepankan dialog . Pada era di mana martabat kemanusiaan sangat dijunjung tinggi, perang bukanlah pilihan yang bijak, terlebih besarnya ongkos ekonomi dan sosial yang harus ditanggung. Dalam hal ini kita bisa belajar dari perang yang terjadi antara dua negara bertetangga, seperti Korea Utara dan Korea Selatan, atau antara Iran dan Irak pada era 1980an.

Pasca-Perang Dunia II, sengketa perbatasan merupakan masalah krusial dalam hubungan antarnegara di kawasan Pasifik. Perang yang melibatkan banyak negara itu telah merusak kepastian hukum dan kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai wilayah, terutama di Asia Pasifik.

Dan sejauh ini, peta politik maritim dunia, termasuk Asia Tenggara, saat ini masih belum lengkap, di mana hanya sekitar 39 persen sengketa batas-batas maritim yang sudah diselesaikan (Victor Prescott and Clive Schofield,The Maritime Political Boundaries of the World, 2005). Hal ini sebagian besar merupakan akibat dari klaim atas yurisdiksi lepas pantai.Negara-negara yang memiliki garis pantai menunjukkan antusiasme untuk mengadopsi konsep 200 mil laut (nm) zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang ditetapkan dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Konvensi Hukum Laut (UNCLOS 1982), di samping klaim atas landas kontinen yang mungkin melampauibatas 200 nm. Walhasil, berkembanglah klaim-klaim atas batas yuridiksi di antara banyak negara.

Hal ini pulalah yang terjadi pada Indonesia. Pada awalnya, berdasarkan keputusan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie (TZMKO), wilayah laut Indonesiahanya 3 mil dari garis batas pantai pulau. Artinya, perairan di antara pulau-pulau yang jaraknya lebih dari 3 mil adalah laut Internasional. Jika didasarkan pada TZMKO maka wilayah Indonesia sangat kecil, dan banyak kapal asing lalu lalang di antara pulau-pulau Indonesia. Hingga akhirnya pada 13 Desember 1957, Perdana Menteri Ir Djoeanda mendeklarasikan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut di sekitar, di antara, dan di dalam Kepulauan Indonesia. Meskipun mendapat tantangan dari beberapa negara besar, namun melalui perjuangan panjang, akhirnya keinginan Indonesia diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB (UNCLOS, 1982) bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.

Secara geografis saat ini Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki 17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km. Luas laut Indonesia mencapai 5,8 Juta km2, terdiri dari laut teritorial dengan luas 0.8 juta km2, laut nusantara 2.3 juta km2, dan zona ekonomi eksklusif 2,7 juta km2. Dengan pengesahan UNCLOS 1982 itu, maka ada konsekuensi bagi Indonesia untuk menjaga dan mengelola wilayah kelautan sebaik-baiknya.

Proporsional dan Tidak Emosional

Dalam menghadapi klaim negara lain, bangsa ini harus tegas. Hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan harus menjadi pelajaran yang sangat berharga dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan negara. Dalam hal ini dibutuhkan sinergi seluruh elemen bangsa, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, TNI, kepolisian, dan masyarakat.

Dalam menyelesaikan perselisihan dua bangsa serumpun ini, semestinya semua elemen masyarakat mempercayakan pemerintah sebagai pemegang otoritas untuk mempertegas kedaulatan Indonesia di mata negara lain. Hingga saat ini, setidaknya sudah dilakukan 15 perundingan dengan Malaysia terkait batas wilayah perairan kedua negara. Secara keseluruhan, seperti disebutkan Menlu Marty Natalegawa, sudah disepakati 16 perjanjian batas maritim yang sudah diselesaikan dengan Malaysia.Presiden SBY sendiri sudah berkomitmen menginstruksikan kepada jajaran kementerian yang terkait untuk mengintensifkan perundingan, agar bangsa ini tidak mudah diremehkan. Presiden juga mengajak semua pihak untuk mendudukkan persolan ini secara proporsional dan tidak mengedepankan emosi, namun tanpa kompromi dalam mempertahankan kedaulatan.

Jalan damai bukan berarti menujukkan bangsa ini takut untuk berperang. Jika pun harus menempuh jalan perang dengan Malaysia, toh negeri ini memiliki kekuatan yang jauh lebih unggul. Tengok saja data yang dilansir Global Fire Power (GFP, http://www.globalfirepower.com/), di mana kekuatan militer Indonesia berada di urutan ke-14, masih di atas Australia, Filipina, dan Thailand. Bahkan dalam data yang dilansir GFP itu, Malaysia tidak berada dalam urutan 40 negara dengan kekuatan militer yang patut diperhitungkan. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro sendiri sudah menegaskan, bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah yang terkuat di Asia Tenggara.

Akan tetapi, sekali lagi, di mana nilai kemanusiaan berada di tempat tertinggi, perang bukanlah pilihan yang manusiawi.Si vis pacem, para bellumtidaklah relevan untuk saat ini.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun