Mohon tunggu...
Fahrizal Mukhdar
Fahrizal Mukhdar Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Bisinis Online | Praktisi Bisnis Online | Pembelajar

Terus Belajar untuk memberi manfaat ke lebih banyak orang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Retransformasi Nilai Ketimuran dan Pancasila dengan Membangkitakn Kembali Spirit Kenabian di Tengah Dominasi Global

16 Juli 2014   21:12 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:08 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Fahrizal Mukhdar

1.Pendahuluan

Munculnya istilah budaya global sesungguhnya merupakan sebuah hasil transformasi budaya lokal yang terjadi akibat arus globalisasi. Budaya global dapat dikatakan sebagai sebuah wujud dari budaya-budaya lokal yang terkonstruk ulang akibat derasnya penetrasi globalisasi terhadap budaya lokal itu sendiri. Dalam hal ini, globalisasi menempati peran sangat inti dalam proses transformasi budaya lokal menuju budaya global, pun dengan segala dampak yang dibawanya.

Globalisasi sebagai suatu proses yang merasuk ke dalam suatu transformasi ruang organisasi dari hubungan-hubungan dan transaksi sosial yang dinilai berdasarkan tingkat extensity, intensity, velocity, dan dampaknya yang membawa aliran-aliran transkontinental dan interregional dan jaringan aktifitas, interaksi, dan penggunaan kekuasaan secara mendasar akhirnya memunculkan perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan ini terjadi dalam ekonomi dan sosial yang berkombinasi dengan pembentukan “kesalinghubungan” regional dan global yang unik, lebih ekstensif dan intensif dibandingkan priode sebelumnya (sebelum era globalisasi), yang menantang dan membentuk kembali komunitas politik, dan secara spesifik negara modern.

Perubahan-perubahan ini melibatkan sejumlah perkembangan yang dapat dipikirkan sebagai suatu yang mendalam, terjadi di waktu sekarang, dan melibatkan suatu transformasi struktural. Perubahan yang dimaksud diantaranya adalah rezim hak asasi manusia, yang memastikan bahwa kedaulatan nansional tidak dapat menjamin legitimasi suatu negara dalam hukum internasional; internasionalisasi keamanan dan transnasionalisasi dalam sejumlah besar masalah pertahanan dan program, sebagai contoh, bisa disebut beberapa komponen utama sistem pertahanan berasal dari banyak negara; pergeseran lingkungan, dalam bentuk pemanasan global akibat kebocoran lapisan ozon; revolusi di bidang komunikasi dan teknologi informasi yang semakin memperluas jangkauan dan intensitas semua alat jaringan-jaringan sosio-politik dalam dan lintas-batas teritorial negara bangsa; dan regulasi pasar-pasar kapital yang semakin memperkuat kekuasaan kapital dengan memberinya sejumlah pilihan yang tidak dikaitkan dengan buruh dan negara. Implikasi semua ini adalah kepada kapasitas negara untuk melakukan regulasi menjadi semakin diperdebatkan. (Winarno:2007)

Dalam prespektif lain, terkait globalisasi, bagi Roland Robertson sebenarnya antar individu dan masyarakat dalam sebuah dunia modern seperti sekarang sedang terjadi ketegangan, sehingga antara keduanya memunculkan apa yang sering disebut keinginan primordial (lokalitas) melawan globalisme yang diwakili oleh sistem dunia modern (masyarakat), namun antara keduanya ada hubungannya secara fungsional, namun secara perbatasan sebenarnya jelas sekali antara individu dan masyarakat. Batas-batas kultur memang tidak ada lagi (relatif) tetapi ada institusionalisasi norma pada masing-masing individu oleh sistem nilai dunia (masyarakat) sehingga individu tepaksa harus mengikuti sistem nilai masyarakat luas (global). (Qodir, 2011:6)

Qodir melanjutkan; secara singkat prespektif Robertson hendak menyampaikan bahwa globalisasi dunia akan membawa dampak pada terjadinya sistem kebudayaan yang menyatu, tidak ada lagi pembatasan yang strik antara kebudayaan sebuah daerah (negara) dengan Negara lainnya, sebab yang terjadi adalah peredaran budaya dari tempat satu ke tempat lainnya. Memang di sana memungkinkan adanya penguatan identitas primordial, tetapi identitas primordial hanya menjadi penanda adanya kerancuan budaya global yang hendak diterapkan pada setiap negara dan individu dalam masyarakat.

Dari beberapa paparan di atas kita dapat menarik garis merah terkait budaya global, bahwa terbentuknya sebuah budaya global tak terlepas dari proses globalisasi, yakni sebuah proses sistem ekonomi dunia, kemudian berimplikasi pada sistem politik suatu negara yang dituntut untuk mengintegrasiakan diri terhadap sistem ekonomi tersebut, serta tidak luput pula revolusi di bidang komunikasi dan teknologi informasi yang semakin memperluas jaringan-jaringan sosio-politik dalam lintas-batas teritorial negara bangsa yang akhirnya secara terpaksa diterima oleh budaya lokal sebagai sistem budaya bersama, atau jika meminjam istilah Roland Robertson yakni munculnya institusionalisasi norma.



2. Budaya Global Lawan Budaya Lokal – Sebuah Proses Transformasi

Jika kita mempertemukan antara budaya global dengan budaya lokal khususnya Indonesia, maka secara praktis dan luas kita telah membandingkan nilai signifikan dari dua budaya besar yakni budaya Barat dan Timur. Budaya global akan mewakili budaya yang berasal dari Barat, sebagai refleksi dari kenyataan bahwa globalisasi adalah sebuah gagasan yang dimunculkan oleh negara-negara maju atas dasar kesadaran mereka yang memang lebih maju dalam menguasai teknologi, terutama di bidang informasi, komunikasi dan transportasi, yakni Eropa Barat dan Amerika Serikat. Sementara budaya Timur, yaitu sebagian besar wilayah Asia, Afrika dan Timur Tengah.

Mengutip pendapat Harold dkk., Munandar Soelaeman (2007:50) menyebutkan bahwa Barat dalam pikirannya cenderung menekankan dunia objektif dari pada rasa sehingga hasil pola pemikiran demikian membuahkan sains dan teknologi. Filsafat barat telah dipusatkan kepada wujud dunia rasio. Oleh karenanya, pengetahuan mempunyai dasar empiris yang kuat. Demikian pula dalam tradisi agama Barat, dunia empiris memiliki arti. Soelaeman menambahkan, pada zaman sekarang semakin nyata bahwa sikap aktif dan rasional dunia Barat unggul, sebaliknya pandangan hidup tradisional baik filsafat maupun agama ada kesan mundur.

Dalam hal manusia, mereka beranggapan bahwa manusia ukuran bagi segalanya. Dengan bersumber dari filsafat positivisme, Barat mengakui kelayakan martabat manusia. Manusia nilainya tak terukur oleh apa pun. Oleh karena itu bagi manusia perlu respek, bantuan dan hormat. Manusia oleh Barat dipandang sebagai pusat segala sesuatu yang mempunyai kemampuan rasional, kreatif dan estetik sehingga kebudayaan Barat menghasilkan beberapa nilai dasar seperti demokrasi, lembaga sosial dan kesejahteraan ekonomi. Kesemuanya berpangkal demi penghargaan mutlak bagi manusia. Manusia harus mendapat segala yang bernilai dalam mewujudkan kemampuannya karena manusia memiliki nilai sehingga diukur melalui kemampuannya, bukan dari kebijaksanaan hatinya. (Soelaeman, 2007:51)

Tradisi humanistik di Barat berupa penghargaan terhadap martabat manusia sebagai suatu yang otonom, merdeka dan rasional, menunjang nilai-nilai demokrasi, lembaga sosial dan kesejahteraan ekonomi. Nilai-nilai lain pun berkembang seperti kebebasan, perekonomian dan teknologi. Kemajuan teknologi menghasikan dinamisme, perencanaan, organisasi, manajemen, keberanian berusaha, penguasaan materi, sekaligus menggrogoti kehidupan sosial dan pribadinya. Di Barat orang lebih condong menkankan dunia empiris sehingga merekamaju dalam dunia sains dan teknologi. Melalui pengaruh Yunani, Barat berkembang dalam pengetahuan deskriptif dan spesialisasi. Dunkungan sikap Barat yang lebih besar tekanannya kepada realitas dan nilai waktu menyebabkan perkembangan yang besar dalam filsafat prosesi, pengonsepan evolusi kratif serta kemajuan. Manusia dengan alam menurut konsep Barat  adalah terpisah. Alam sebagai dunia luar harus dieksploitasi. Hal ini terrefleksi dalam kata-kata: menaklukkan luar angkasa, menaklukkan alam dan hutan rimba. Kata-kata tersebut dibuktikan oleh problema yang dihadapi barat seperti polusi udara dan air. Pendek kata, Barat memiliki presepsi yang berbeda terhadap nilai pengetahuan, keinginan, watak, proses waktu, dan sikap terhadap alam. (Soelaeman, 2007:53)

Lain halnya dengan budaya Timur, Soelaeman (2007:53) menjelaskan, budaya ini pada intinya banyak bersumber dari agama-agama yang lahir di dunia Timur. Pada umumnya manusia di dunia Timur menghayati hidup yang meliputi seluruh eksistensinya. Berfikir secara Timur tidak menunjang usaha-usaha manusia untuk menguasai dunia dan hidup secara teknis, sebab manusia Timur lebih menyukai intuisi dari pada akal budi. Inti kepribadian manusia Timur tidak terletak pada inteleknya, tetapi pada hatinya. Dengan hatinya mereka menyatukan akal budi dan intuisi serta inteligensi dan perasaan. Ringkasnya mereka menghayati hidup tidak hanya dengan otaknya.

Nilai budaya yang dipengaruhi Hindu dan Budha membuat kebijaksanaan Timur bersifat kontemplatif, tertuju pada tinjauan kebenaran.  Dengan demikian berpikir kontemplatif dipandang sebagai puncak perkembangan rohani manusia. Pemikir Timur lebih menekankan segi dalam dari jiwa, dan realitas di belakang dunia empiris dianggap sebagai sesuatu yang hanya lewat dan bersifat khayalan. Timur lebih menekankan disiplin mengendalikan diri, sederhana,  tidak mementingkan dunia, bahkan menjauh dari dunia. Sesuatu yang baik menurut Timur tidak terdapat hanya dalam dunia benda, tidak dengan memanipulasi alam, mengubah masyarakat dan mencaari kesenangan bagi dirinya. Akan tetapi, yang baik itu diperoleh melalui pencarian zat yang satu, di dalam diri kita atau di luarnya. (Soelaeman, 2007:54)

Sikap orang Timur ialah menyatu dengan alam, tidak memaksakan untuk mengeksploitasi alam. Bahkan, selalu menginginka harmoni sebab alam merupakan bagian hidup yang tak terpisahkan. Jika alam binasa,maka manusia akan binasa. Untuk menjaga hubungan yang harmonis terkadang muncul ekspresi konkret dalam bentuk hubungan mistik manusia dengan alam. Nilai kehidupan Timur yang tertinggi datang dari dalam, seperti nrimo kenyataan, mencari ketenangan dan waktu demi kesenangan, belajar dari pengalaman, menyatukan diri. Ringkasnya dunia Timur menginginkan kekayaan hidup, bukan kekayaan benda, tenang tentram, menyatu diri, fatalisme, pasivitas dan menarik diri. (Soelaeman;2007)

Globalisasi yang berasal dari gagasan dunia Barat yang tentunya membawa serta gagasan kebudayaan Barat ke hadapan budaya seluruh dunia kini merupakan sebuah fonomena yang tak terelakkan. Melalui teknologi media komunikasi dan informasi yang semakin canggih dan berkembang pesat penyebarannya di seluruh dunia, akhirnya mengambil peran penting dalam proses transformasi budaya lokal, lebih spesifik lagi, budaya Tanah Air. Budaya populer pun hadir menjadi santapan rutin bagi budaya lokal. Ditambah lagi peran politik dan pemerintah saat menentukan kebijakannya yang kini telah terintegrasi dengan sistem ekonomi global. Maka otomatis secara struktural dan kultural, masyarakat lokal kini mengalami penetrasi dari budaya global sebagai sebuah fenomena transformasi besar-besaran.

Secara struktural, kebijakan ekonomi kini tidak lagi murni sebagai otoritas pemerintah negara, ia harus menyesuaikan dengan mitra-mitra kerja demi kesetabilan ekonomi internasional pula, yang padahal itu lebih mementingkan kepentingan-kepentingan para pelaku usaha. Secara gamblang Budi Winarno (2007) menjelaskan: bagi ekonomi nasional dampak ini (integrasi sistem ekonomi global) akan berlangsung melalui tiga mekanisme, yakni tekanan perdagangan yang semakin kompetitif, multinasionalisasi produksi, dan integrasi pasar keuangan. Semakin menajamnya kompetisi perdagangan merupakan komponen utama dalam tesis-tesis globalisasi konvensional, dan ini telah diakui secara umum, meskipun sebenarnya kompetisi ini tidak hanya dalam perdagangan, tapi juga dalam memperebutkan investasi. Perusahaan-perusahaan transnasional dan investasi modal global akan mencari daerah-daerah yang menguntungkan dan menawarkan insentif yang lebih baik.

Mekanisme kedua berhubungan erat dengan meultinasionalisasi produksi dan berikut ancaman dari perusahaan-perusahaan multinasonal yang dapat memindahkan lokasi produksi mereka dari satu negara ke negara lain dalam rangka mencari keuntungan terbesar. Dalam konteks ini, Robert Reich mengemukakan bahwa perbedaan antara “kita” dan “mereka” dalam ekonomi global saat ini tidak lagi terjadi antarnegara, tetapi lebih pada antarwarga negaradan perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di dalamnya, terlepas dari di negara mana perusahaan-perusahaan itu dimiliki. Akibat multinasionalisasi produksi ini adalah biaya-biaya produksi dan pemerintahan intervensionis. Pemerintah nasional harus menerapkan kebijakan pasar bebas jika mereka ingin berkompetisi dalam memperebutkan investasi dan penyediaan tenaga kerja oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Akhirnya dampak globalisasi terhadap ekonomi nasional terletak pada integrasi pasar finansial global. Seperti telah disinggung dalam uraian sebelumnya, integrasi pasar finansial global ini telah mengurangi sedemikian rupa otonomi ekonomi nasional mengingat aliran uang ini tidak dapat dikontrol oleh negara manapun.

Winarno (2007) melanjutkan; oleh karena perekonomian dunia sudah semakin mengglobal akan melahirkan interkoneksi dan interdependensi sekaligus. Meskipun kesalingtergantungan dan kesalingterhubungan ini telah berlangsung selama masa berabad-abad, tapi dewasa ini fenomena ini berlangsung semakin intensif. Revolusi teknologi komunikasi dan semakin rendahnya biaya transportasi disinyalir sebagai katalisator bagi perubahan-perubahan tersebut.

Berkaitan erat dengan revolusi teknologi dan informasi, penetrasi globalisasi secara kultural sangat besar diperankan oleh media komunikasi dan informasi seperti televisi, internet dan gadget yang kian hari semakin canggih. Sebagai implikasi pasar global pula, dunia hiburan pun menjadi sebagai produk komersil yang dapat dengan mudah disaksikan masyarakat melalui media-media informasi tersebut meskipun ia juga tidak terlepas dari akibat globalisasi sistem ekonomi. Kita tahu bersama, bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia kini sudah begitu akrab dengan televisi, smartfon, dan internet. Ini mengindikasikan pula bahwa kebudayaan global juga sudah begitu akrab dengan masyarakat kita. Meminjam istilah dalam kajian budaya populer, budaya global bisa disejajarkan interpretasi maknanya dengan istilah budaya massa.

Pernyataan utama teori masyarakat massa merujuk pada konsekuensi-konsekuensi mengganggu dari proses industrialisasi dan urbanisasi. Transformasi radikal yang dikaitkan dengan bangkitnya jenis-jenis produksi industri mekanis dan berskala besar, dan pertumbuhan kota-kota besar yang padat sebagai bentuk-bentuk di mana orang semakin banyak yang bekerja dan tinggal di sana dikatakan telah mengurangi stabilitas dan mengikis struktur sosial maupun struktur nilai yang sebelumnya dipertahankan oleh banyak orang. Penghapusan kerja berbasis agraria yang terkait dengan tanah, penghancuran komunitas desa yang terjalin kuat, runtuhnya agama dan sekularisasi masyarakat yang berkaitan dengan perkembangan pengetahuan ilmiah, penyebaran kerja pabrik yang mekanis, monoton dan teralienasi, kukuhnya pola-pola kehidupan anomik di kota-kota besar di mana banyak penduduk yang tidak dikenal, relatif tidak adanya integrasi moral (sebagian di antaranya dihubungkan dengan teori masyarakat massa melalui proses industrialisasi dan urbanisasi) yang ada di balik kelahiran masyarakat massa dan budaya massa.

Sebagai usaha mendefinisikan secara tepat apa yang dimaksud dengan budaya massa, teori tersebut mengatakan bahwa industrialisasi dan urbanisasi berfungsi menciptakan apa yang di sebut sebagai “atomisasi”. Ini berarti bahwa sebuah masyarakat massa terdiri atas orang-orang yang hanya bisa berhubungan satu sama lain seperti atom dalam sebuah senyawa fisika atau kimia. Masyarakat masa terdiri atas orang-orang yang diatomisasi, orang-orang yang kurang memiliki hubungan satu sama lain yang bermakna dan koheren secara moral. Orang orang ini jelas tidak dipahami secara murni dan begitu saja sebagai atom-atom yan terisolasi, tapi hubungan-hubungan itu dikatakan murni bersifat kontrak, berjarak dan sporadis, dan bukannya bersifat komunal dan benar-benar terintegrasi.

Inti proses dari atomisasi sesungguhnya adalah runtuhnya organisasi-organisasi sosial perantara yang disebabkan oleh idustrialisasi dan urbanisasi. Organisasi-organisasi tersebut, semisal desa, keluarga dan adat istiadat yang dulunya memberikan suatu rasa identitas sosial, perilaku sosial dan kepastian moral bagi individu. Sebaliknya, organisasi-organisasi modern seperti kota dan ilmu pengetahuan tidak melakukan hal serupa. Orgaisasi-organisasi itu tidak melahirkan identitas, mendefinisikan perilaku maupun moralitas kekinian. (Strinati, 2003)

Budaya massa inilah yang masuk secara struktural ke dalam pemerintahan nasional melaului sistem perekonomian dunia yang membawa semangat industrialisasi dan urbanisasi, yang kemudian secara kultural menjadi karakter masyarakat massa untuk kembali disebut sebagai budaya global yang tiada henti mejadi konsumsi masyarakat budaya lokal melalui kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin akrab di kehidupan mereka. Tanpa disadari, keberhasilan globalisasi dalam mentransformasi budaya lokal menjadi budaya global kini telah merebak di sekitar kita.



3.Membangkitkan Spirit Kenabian Kembali-Respon Kritis Lembaga Kultural dan Struktural Tanah Air

Membicarakan sprit kenabian maka akan erat hubungannya dengan upaya menjalankan misi kenabian itu sendiri. Ketika kita merujuk pada Al-Qur’an, kita akan menemukan dua konsep yang merupuakan tujuan diutusnya para nabi: 1) Pengakuan terhadap Tuhan dan pendekatan diri kepada-Nya; 2) Menegakkan keadilan dalam masyarakat manusia. Inilah inti tujuan semua ajaran para nabi. (www.alshia.org)

Berkaitan dengan kedua misi tersebut di atas, Al-Qur’an menjelaskan: “Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa kabar gembira serta pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada Agama Allah dengan seizin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi.” (QS al-Ahzab:45-46) Dari semua aspek yang disebutkan dalam ayat ini, tampak jelas bahwa “mengajak kepada Tuhan” merupakan tujuan utama diutusnya para nabi.

Kemudian di samping itu, dalam dalam surat al-Hadid ayat 25, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksana-kan keadilan,” menjadi sebuah penjelasan secara gamblang bahwa tujuan utama misi kenabian ialah (juga) menegakkan keadilan.

Terdapat tiga pandangan terkait mana tujuan yang paling utama dari dutusnya para nabi. Sebenarnya pendapat ini muncul dari pertanyaan, manakah tujuan yang menjadi tujuan utama dan sebagai sarana mencapai tujuan utama tersebut. Pandangan pertama mengatakan bahwa para nabi mempunyai tujuan ganda. Artinya, mereka mempunyai dua tujuan yang berdiri sendiri. Yang pertama berkaitan dengan kehidupan dan kebahagiaan di akhirat yaitu monoteisme individual. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan kebahagiaan duniawi, yaitu monoteisme sosial.

Pandangan kedua meyakini bahwa sesungguhnya tujuan diutusnya para nabi ialah untuk menegakkan monoteisme sosial, namun untuk dapat sampai ke sana harus ada yang menjadi prasyarat utamanya, yaitu tegaknya monoteisme individual. Pandangan ini meyakini karena kesempurnaan manusia terletak pada mengubah diri dari “aku” menjadi “kita” dalam monoteisme sosial, dan itu tidak akan bisa dicapai tanpa monoteisme individual, maka Tuhan pun menjadikan pengenalan dan penyembahan kepada-Nya sebagai prasyarat tegaknya monoteisme sosial. Dengan kata lain mengenal Tuhan merupakan sarana untuk menegakkan keadilan.

Pandangnan ketiga berpendapat bahwa tujuan utama diutusnya para nabi ialah agar manusia mengenal Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya, sementara monoteisme sosial hanya sebagai prasyarat dan sarana untuk mencapai tujuan ini. Alasannya ialah bahwa dalam pandangan dunia monoteistik, dunia memiliki sifat “berasal dari Tuhan” dan “kembali kepada Tuhan”. Jadi, kesempurnaan manusia terletak pada tindakan manusia menuju Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Karena itu, kebahagiaan, kesempurnaan, keselamatan dan kesejahteraan manusia bergantung kepada pengenalan terhadap Tuhan, menyembah kepada-Nya dan berjalan menuju kepada-Nya.

Adapun mengapa para nabi menaruh kepeduliaan terhadap keadilan serta penolakan terhadap penindasan dan diskriminasi, hal ini disebabkan fitrah manusia yang berorientasi kepada Tuhan tidak akan dapat terealisasi kecuali jika lembaga-lembaga kemasyarakatan yang seimbang telah menaungi masyarakat. Namun demikian, pandangan ini mengatakan bahwa nilai-nilai sosial seperti keadilan, kemerdekaan dan juga moralitas-moralitas sosial seperti kemurahan hati, mudah memaafkan, kebaikan budi dan kedermawanan, bukanlah sesuatu yang inheren dalam diri manusia, dan tidak dipandang sebagai sesuatu yang secara absolut mencerminkan kesempurnaan manusia.
Semua nilai ini hanya sarana atau alat untuk mencapai kesempurnaan. Nilai-nilai tersebut adalah sarana ke arah keselamatan bukan keselamatan itu sendiri.

Pandangan keempat hampir mirip dengan pandangan ketiga, namun dengan perbedaan, bahwa meskipun nilai-nilai sosial dan moral tetap merupakan sarana menuju nilai hakiki manusia yaitu menyembah dan beriman kepada Tuhan, namun nilai-nilai tersebut masih dianggap memiliki nilai-nilai inheren.

Kalau kita ingin menganalisis lebih jauh perbedaan di antara pandangan ketiga dan keempat, sebenarnya permasalahan tersebut terletak pada perbedaan jenis hubungan antara sesuatu yang menjadi sarana dan sesuatu yang menjadi tujuan yang sesungguhnya. Dalam hal ini, terdapat dua jenis hubungan antara apa yang menjadi sarana dengan tujuan. Pada jenis hubungan yang pertama, nilai tidak lebih hanya sebagai sarana untuk sampai kepada sesuatu, dan ketika telah sampai, maka keberadaan dan ketidak-beradaanya adalah sama. Atau dengan kata lain, keberadaannnya sudah tidak berarti. Sebagai contoh, seseorang ingin menyeberangi sebuah sungai kecil, lalu dia menempatkan sebuah batu besar di tengah-tengah sungai kecil tersebut sebagai batu loncatan ke seberang sungai. Setelah mencapai tepi seberang, jelas, keberadaan batu tersebut tidak penting lagi bagi orang tersebut. Demi-kian juga dengan tangga yang digunakan untuk mencapai atap.

Adapun jenis hubungan yang kedua ialah keberadaan sarana tersebut tetap berarti dan mempu-nyai nilai walaupun tujuan tersebut telah tercapai. Sebagai contoh, pengetahuan yang diperoleh di kelas satu dan dua merupakan prasyarat untuk mencapai kelas yang lebih tinggi. Orang tidak bisa mengatakan bahwa ketika seorang murid telah mencapai kelas yang tinggi maka ia tidak akan rugi apabila menghapus pengetahuan yang diperolehnya di kelas satu dan dua dari memorinya, dan ia dapat melanjutkan studinya di kelas yang lebih tinggi tanpa pengetahuan tersebut. Karena hanya dengan bantuan pengetahuan itulah dia dapat melanjutkan studinya di kelas yang lebih tinggi.

Yang menjadi inti masalahnya ialah bahwa terkadang kedudukan prasyarat tersebut sangat lemah atau penting di hadapan tujuan yang akan dicapai. Kedudukan prasyarat yang lemah di hadapan tujuan, seperti sebuah tangga bukanlah komponen dari atap, seperti juga halnya sebuah batu besar di tengah anak sungai bukanlah bagian dari tepi seberang sungai. Sedangkan prasyarat yang penting seperti kedudukan pengetahuan yang diperoleh di kelas yang rendah maupun di kelas yang tinggi bisa merupakan bagian dari suatu kebenaran yang sama.

Hubungan antara nilai-nilai moral dan sosial dengan pengenalan terhadap Tuhan dan penyembahan kepada-Nya merupakan jenis hubungan yang kedua. Apabila manusia telah mencapai pengetahuan yang sempurna tentang Tuhan dan penyembahan yang sempurna kepada-Nya, maka keberadaan nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, kebaikan budi, kemurahan hati dan sifat mudah memafkan tetap berarti dan mempunyai nilai.

Jadi, dapat kita katakan bahwa yang menjadi tujuan utama diutusnya para nabi ke dunia ini ialah agar manusia mengenal Tuhan dan menyembah kepada-Nya, sementara nilai-nilai moral dan nilai-nilai sosial merupakan sarana yang bersifat inheren dalam diri manusia untuk mengenal Tuhan. (www.alshia.org)

Pada dasarnya, spirit kenabian tercakup misinya telah menjadi karakter umum masyarakat dunia Timur. Pun dengan Indonesia, bahkan spirit kenabian juga tercermin dalam Pancasila sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Hanya saja, gelombang globalisasi yang begitu deras bak air bah yang melanda budaya lokal Tanah Air ini berhasil mentransformasi besar-besaran nilai-nilai lokal yang mungkin tidak sempat dibangun ketahanannya.

Mengetahui bagaimana proses globalisasi mentrasformasi budaya lokal ke arah budaya global dengan sangat mantap. Yaitu dengan penerapan sistem ekonomi dunia yang dibentuk untuk kepentingan industrialisasi. Hingga akhirnya memunculkan pemerintahan yang patuh terhadap kebijakan global, yang tentunya secara otomatis memberikan dampak pada kultural masyarakat. Kemudian secara kultural pula, kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi hadir begitu dekat dalam masyarakat dan menyajikan sajian-sajian bernafaskan budaya global, yang tanpa sadar masyarakat terbawa olehnya. Maka lembaga kultural seperti kaum akademis dan ormas agama beserta para tokoh di dalamnya memiliki peran penting demi mengembalikan nilai-nilai spirit kenabian dalam nafas kehidupan masyarakat nasional. Pun dengan lembaga struktural, seperti pemerintah, juga harus ikut berperan. Bisa kita sebut, upaya ini dengan re-transformasi nilai Ketimuran dan Pancasila.

Sebagaimana derasnya globalisasi menyerbu budaya nasional kita, tentunya kita juga harus mengimbangi derasnya arus tersebut. Peran para tokoh (ulama) ormas di sini ialah menyemarakkan lagi nilai-nilai spirit kenabian sesering dan sekreatif sebagaimana budaya global begitu sering dan kreatif masuk ke dalam lini sosial masyarakat kita. Peran struktural seperti pemerintah, perlu menegaskan kembali nilai-nilai spirit kenabian melalui upaya mengakkan kebijakan yang berorientasi pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Tak terlupa kaum akademisi, dalam istilah Nabi Muhammad SAW., kaum akademisi adalah pewaris para nabi. Sebab di tangan mereka peradaban itu dimulai. Berpegang pada kaum akademis sebagai pewaris para nabi tersebut, maka tugas para akademisi ialah mendakwahkan misi kenabian ini. Terlepas seluruh umat muslim memliki kewajiban yang sama atas dakwah, para akademisi tentunya lebih memiliki tanggung jawab ini sebagai orang yang tahu dan harus memberi tahu orang yang belum tahu. Peran ketiga elemen baik kaum akademisi, tokoh ormas dan pemerintah tentunya harus saling bahu-membahu dalam satu tujuan yang sama dan dalam sistem yang saling terintegral.

Daftar Rujukan

Herimanto dan Winarno. 2012. Ilmu Sosial & Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara

Qodir, Zuly. 2011. Sosiologi Agama Esai-Esai Agama di Ruang Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Soelaeman, M. Munandar. 2007. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama

Strinati, Dominic. 2003. Popular Culture Pengantar Teori Menuju Budaya Populer. Terjemahan: Abdul Mukhid. Yogyakarta:Bentang Budaya

Winarno, Budi. 2007. Globalisasi dan Krisis Demokrasi. Yogyakarta: Media Pressindo

http://www.al-shia.org/html/id/books/ensan-jahan/15.htm, diakses tanggal 11 Juli 2014, Jam 14:00 WIB.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun