MEMBACA PRASASTI MEMBACA SEJARAH MEDANG
Oleh: Sri Wintala Achmad
Dalam bahasa Sansekreta, prasastiyangbermakna harfiah ‘pujian’ tersebut lazim dipadankan oleh kaum arkeolog sebagai inskripsi (inscription). Bagi masyarakat awam, prasasti sering disebut sebagai batu bertulis atau batu bersurat. Sekalipun diketahui, prasasti tidak selamanya terbuat dari batu. Berdasarkan kesimpulan dari berbagai pendapat para sejarawan, arkeolog, atau ahli epigraf; prasasti merupakan salah satu jenis artefak dimana fungsinya bukan sekadar sebagai pujian; akan tetapi sebagai piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang, atau dokumen yang dituliskan pada bahan keras dan berdaya tahan lama, misal: batu (andesit, pualam, kapur, atau basalt); lempengan logam (tembaga, perunggu, perak, atau emas); daun (lontar atau tal); tanah liat (tablet); atau kertas. Dalam arkeologi, prasasti batu lazim diistilahkan sebagai upala prasasti, prasasti logam diistilahkan sebagai tamra prasasti, dan prasasti lontar disebut tripta prasasti.
Prasasti adalah sebagai tanda berakhirnya masa pra sejarah dan bermulanya masa sejarah. Masa dimana sebagian masyarakat saat itu mulai dapat menulis dan membaca. Sekalipun kebanyakan prasasti tidak dikeluarkan oleh masyarakat, melainkan para raja yang tengah berkuasa di kerajaan tertentu. Karenanya sebagian dari prasasti yang ada cenderung memuat pujian-pujian pada seorang raja. Sekalipun demikian, banyak prasasti yang tidak memuat pujian-pujian terhadap raja. Pengertian lain, terdapat pula prasasti-prasasti yang berisikan tentang penetapan terhadap desa sebagai sima swatantra (daerah perdikan atau daerah bebas pajak), keputusan pengadilan tentang perkara perdata (jayapatra atau jayasong), tanda atas kemenangan (jayacikna), persoalan utang-piutang (suddhapatra), dsb.
Diketahui bahwa prasasti tidak selamanya ditulis dengan huruf Pallawa atau Sansekreta, melainkan dengan huruf Prenagari, Jawa Kuna, Melayu Kuna, Sunda Kuna, dan Bali Kuna. Sementara itu, penulisan prasasti pula menggunakan bahasa yang sangat variatif. Disamping bahasa Sansekreta, prasasti ditulis dengan bahasa Jawa Kuna, Bali Kuna, Sunda Kuna, dsb.
Hasil penelitian dari para sejarawan, arkeolog, dan ahli epigraf menunjukkan bahwa prasasti tertua di bumi Nusantara adalah Prasasti Yupa dari kerajaan Kutai (Kalimantan Timur) yang dikeluarkan pada abad 5 M. Prasasti yang ditulis di atas batu dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansekreta tersebut memuat tentang hubungan geneologis semasa pemerintahan Mulawarwan. Seiring dengan perkembangan zaman, prasasti demi prasasti kemudian banyak dikeluarkan pada abad 8 - 14 M.
Prasasti dan Raja-Raja Medang
Prasasti merupakan bukti sejarah yang dapat menunjukkan tentang catatan-catatan (peristiwa-peristiwa) orisinal pada zamannya. Dengan demikian, seseorang dengan berbekal kemampuan cukup untuk membaca aksara dan bahasa yang digunakan pada prasasti tersebut akan dapat mengetahui tentang catatan-catatan sejarah masa silam, terutama yang berkaitan dengan sejarah raja-raja Jawa (baca: raja-raja Medang sejak pemerintahan Wisnuwarman hingga Dharmawangsa Teguh). Berikut adalah prasasti-prasasti yang berkaitan dengan sejarah raja-raja Medang periode Jawa Tengah dan Jawa Timur:
1.Prasasti Ligor B dan Kalurak
Dari Prasasti Ligor B yang diterjemahkan Dr. Chabra menyebutkan bahwa Wisnuwarman yang memerintah Kerajaan Medang periode Jawa Tengah pada 775-782 tersebut sebagai sarwwarimadawimathana. Sang pembunuh musuh-musuh perwira. Sementara dalam Prasasti Kalurak yang dikeluarkan pada tahun 782, Slamet Muljana menyebutkan bahwa Wisnuwarman sebagai wairiwarawiramardana (pelindung dunia). Jika kebenaran teori Slamet Muljana tidak tersangkalkan, maka penulisan prasasti tersebut merupakan tanda kekuasaan Dinasti Syailendra atas tlatah Ligor yakni pada tahun 778-787.
Di dalam Prasasti Kalurak menyebutkan tentang nama Dharanindra. Raja Medang periode Jawa Tengah ke 3 yang memerintah pada 782-812 dengan gelar Sri Sanggrama Dananjaya. Sementara Slamet Muljana mengidentikkan Dharanindra yang mampu meluaskan wilayah kekuasaan Medang hingga Semenanjung Malaya dan daratan Indo China tersebut dengan Sri Maharaja Rakai Panunggalan.
2.Prasasti Kayumwungan, Tri Tepusan, Munduan, Plaosan, dan Wantil
Prasasti Kayumwungan menyebut nama Pramodawardhani yang memerintah Medang periode Jawa Tengah pada tahun 833-856 sebagai putri dari Samaratungga. Prasasti tersebut pula menerangkan, bahwa Pramodawardhani telah meresmikan bangunan Jinalasa yang bertingkat-tingkat. Bangunan yang dimaksud adalah Kamulan Bhumisambhara atau kini dikenal dengan candi Borobudur.
Hubunganantara Pramodawardhani dengan candi Borobudur pula disebutkan pada Prasasti Tri Tepusan yang berangka tahun 842. Pada prasasti tersebut dijelaskan bahwa Pramodawardhani yang menurut Dr Casparis bergelar Sri Kahulunan tersebut telah membebaskan pajak pada beberapa desa yang seluruh penduduknya merawat bangunan Jinalaya.
Lain Prasasti Kayumwungan dan Tri Tepusan, lain pula dengan Prasasti Munduan (807). Prasasti tersebut menerangkan tentang jarak usia Pramodawardhani dengan Rakai Pikatan suaminya yang sangat jauh. Hasil dari penikahan keduanya, Pramodawardhani melahirkan dua putra yakni Rakai Gurungwangi Dyah Saladu (Prasasti Plasosan) dan Rakai Kayuwangi (Prasasti Wantil).
3.Prasasti Mantyasih dan Nalanda
Pada Prasasti Mantyasih yang dikeluarkan Dyah Balitung pada 907 menerangkan bahwa raja ke 2 Medang Periode Jawa Tengah dengan pusat pemerintahan Mataram Kuno adalah Rakai Panangkaran Dyah Pancapana. Sementara raja Medang ke 5 adalah Rakai Garung yang memerintah sesudah Rakai Warak. Raja Medang ke 4 yang menurut teori Slamet Muljana dengan berdasar Prasasti Nalanda identik dengan nama Samaragrawira (ayah dari Balaputradewa).