Mohon tunggu...
EJK
EJK Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Lepas

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Anies Jadi Gubernur Ibukota, Ibukotanya Mau Dipindah Jokowi

20 April 2017   21:28 Diperbarui: 21 April 2017   07:00 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Judul di atas cuma joke koq, karena memindahkan ibukota tentu perlu proses dan waktu yang tidak mungkin hanya dalam 5 atau 10 tahun. Tetapi yang pasti siapapun yang berhasil meraih kursi gubernur DKI Jakarta pasti jumawa karena kursi tersebut pernah melontarkan seseorang menjadi orang nomor satu di Republik ini.

Memahami momentum politik apapun pasti akan terbaca setelah momen itu selesai, marilah kita baca kembali, review kembali kronologis pilkada DKI. Lihat bagaimana Ahok yang terlalu percaya diri, terlalu optimis, terlalu yakin yang berujung sombong. Kesombongan yang akhirnya menghantarkan dirinya pada kekalahan. Optimis dan pede itu beda tipis dengan sombong, dan itu pintu masuk kehancuran.

Mari kita lihat ke belakang bagaimana Ahok dengan Teman Ahok-nya jumawa meraih dukungan 1 juta KTP. Pikirnya, 1 juta KTP pasti sangat menggiurkan partai-partai sehingga mau tak mau bargaining dirinya ke partai sangat tinggi. Padahal sebenarnya Ahok takut dengan partai, utamanya PDI-P.

Sayangnya PDI-P tak membaca itu dan akhirnya luluh mengusung Ahok. Padahal Ahok sudah ketar-ketir ketika PDI-P masih emoh menetapkan calon gubernur DKI, sementara Golkar dan Nasdem sudah fix mendukung. Kalau memang Ahok tidak takut dengan PDI-P, mengapa dia tidak maju saja tanpa menunggu dukungan PDI-P?

Sejatinya, Ahok paham sekali bahwa PDI-P punya banyak calon potensial untuk diajukan melawan dirinya. Lihat saja bagaimana ketar-ketirnya dia saat Megawati rajin bersua dengan walikota Surabaya, Tri Rismaharini. Bertubi-tubi dirinya menyerang Risma, padahal Risma sendiri adem ayem.

Ahok terlalu pede meniru Jokowi yang didorong banyak relawan untuk maju menjadi presiden. Terciptalah Teman Ahok sebagai representasi relawan. Tapi dia bukan Jokowi, jauh berbeda. Jokowi bukan orang yang jumawa dan petantang-petenteng seolah mampu membenahi semua persoalan rakyat. Wajar simpati mengalir deras pada sang presiden.

Berbeda dengan Ahok yang seolah dirinya seorang yang mampu membenahi Jakarta. Lihat saja bagaimana cara berdebat Ahok dan Jokowi. Gestur tubuh tidak bisa dibohongi, bagaimana beda orang yang jumawa dan bagaimana orang yang sederhana.

Tapi PDI-P kecele, gertakan Ahok dengan Teman Ahok-nya mengena ke mereka. Padahal mereka punya peluang besar menguasai ibukota lagi dengan mengusung Risma. Tapi mereka menyia-nyiakan peluang itu. Dan pilihannya salah besar. Ahok kalah.

PDI-P mungkin meyakini, dulangan suara mayoritas di DKI pada pemilu 2014 lalu karena gubernur petahananya diusung oleh mereka. Dan Ahok diyakini mereka bakal mampu menarik simpati publik seperti Jokowi dulu. Padahal Ahok jelas bukan Jokowi, dulu PDI-P bisa menang di Jakarta karena rakyat Jakarta memang menginginkan Jokowi menjadi presiden. Bukan karena hal lain. Lalu apa untungnya mengusung Ahok?

Bagaimanapun Jokowi sudah memandang ke depan, dirinya pasti menyadari suatu waktu Ahok akan terpeleset dengan gayanya yang jumawa. Dan tentu hal ini akan menyulitkan presiden karena orang pasti mengasosiasikan Ahok adalah bagian tak terpisahkan dari Jokowi. Maka jauh hari Jokowi pun pasti sudah merancang strategi.

Masih ingatkah Anda, Anies tiba-tiba dipecat Jokowi saat gaung pencalonan gubernur DKI sedang panas-panasnya? Bagi politikus manapun di dunia, tentu itu hal paling bodoh untuk dilakukan. Kecuali itu pancingan untuk pihak lawan. Politikus bodoh mana yang mau menganiaya seseorang saat jagoan sendiri sedang berkibar? Trik yang digunakan SBY dulu dengan cantik dipraktekkan Jokowi dengan cara yang lebih smooth.Meski pendukung fanatik Prabowo dan akar rumput PKS menolak Anies, tapi tetap saja umpan itu termakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun