Mohon tunggu...
Emanuel Dapa Loka
Emanuel Dapa Loka Mohon Tunggu... Freelancer - ingin hidup seribu tahun lagi

Suka menulis dan membaca... Suami dari Suryani Gultom dan ayah dari Theresia Loise Angelica Dapa Loka. Bisa dikontak di dapaloka6@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Karena Haus dan Lapar Kami Sama....Simon Botaama (77 Tahun), 12 Tahun Jualan Abu Gosok

20 Agustus 2011   12:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:36 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Karena Haus dan Lapar Kami Sama.... Garis-garis keriput di wajahnya kian menegaskan bahwa Om Simon, demikian ia biasa disapa telah renta, lelah dan kelabu. Maklum usianya sudah mencapai 76 tahun dengan beban hidup yang sangat tidak ringan. Ia tinggal bersama seorang istri dan dua orang anaknya di sebuah rumah berlantai tanah yang tidak layak huni di Rt 022/03 No117, Babelan Kota, Bekasi Utara, Jawa Barat. Siapa pun yang masuk ke rumah Simon, matanya akan langsung tertohok pada tumpukan abu gosok yang tertata rapih di sisi kanan. Persis di samping abu tersebut sebuah gerobak berukuran sedang seakan telah siap membawa bungkusan-bungkusan abu itu ke para pelanggan. Sejurus kemudian saat masuk ke ruangan lain, Anda hanya akan berjumpa dengan sebuah tempat tidur dengan seprei kumal. Di ruangan lain yang menjadi dapur, tampak peralatan sangat "seadanya". Belum lagi atap yang bolong-bolong dan tembok rumah yang di sana-sini tidak tuntas sebagai tembok karena semen kurang. Beberapa bagian tumahnya ditutupi seng bekas dan kardus. Usia pria kelahiran Lewok Luwok, Larantuka, Flores ini memang sudah serenta. Tapi semangatnya untuk berjuang tidak pernah renta. Setiap hari, ditemani gerobak berukuran 1 meter kali 40 cm dia terus menempuh perjalanan sekitar 25 km untuk berjualan abu gosok. Ia harus keluar masuk gang-gang di banyak perumahan di Bekasi Utara. Setiap pagi, ketika jam sudah menunjukkan pukul 7.30 Simon mulai bergerak dari rumahnya menempuh perjalanan panjang untuk menjemput berkat bagi kehidupan anak-anak dan istrinya. Dia tidak ambil pusing apakah sudah sarapan atau belum. Yang penting baginya, ketika matahari mulai menikam ubun-ubun ia bisa minum dua gelas teh kemasan tertentu dan dua potong singkong goreng yang ia beli di warung. "Dengan itu saja saya hidup sepanjang hari, dan herannya saya tidak lapar. Bukan karena sayang uang. Mungkin karena sudah biasa kali, ya..." ungkapnya tersemyum. Kadang, sekitar pukul 15-an dia sudah pulang. Lain waktu, pukul 18-an dia belum pulang. Kalau sudah begini, orang rumah sudah mulai khawatir. Biasanya, Enny, anak bungsunya-yang sudah mulai beranjak dewasa-menjemputnya di jalan yang biasa ia lewati saat pulang rumah. "Kalau sudah jam segitu, biasanya saya tidak jauh lagi dari sini. Enny yang biasa menjemput saya," ungkap Simon ketika dijumpai di rumahnya. Yang menjadi persoalan bukan kekhawatiran dia tidak mampu menarik gerobaknya tetapi karena matanya sudah tidak bisa melihat dengan baik saat hari sudah mulai gelap. Kerapkali dia menabrak orang yang sedang berdiri di pinggir jalan. "Untung aja nggak tertabrak mobil," ucap pria yang ketika kecil bercita-cita menjadi guru ini. Kalau kehujanan, Simon enggan berteduh, apalagi kalau hanya gerimis. Melihat Simon yang basah kuyub, sang istri Rusmiyati buru-buru menyiapkan air mandi. Setelah mandi, digosok minyak penghangat lalu selimutan. Kalau keringatnya sudah keluar, berarti Simon mulai segar kembali. Sampai hari ini sudah 11 tahun Simon menjadi penjual abu gosok. Sebelum itu ia adalah satpam pada sebuah perusahaan susu yang terletak di kawasan Tanah Abang. Pada tahun 1999, perusahaan tersebut berganti manejeman. Manajemen baru menerapkan kebijakan untuk menggaji para karyawan mulai lagi dari nol. Simon yang saat itu sudah mengantongi gaji 1,2 juta, jika mengikuti kebijakan perusahaan, maka dia hanya mendapat gaji Rp200.000 atau Rp300.000. Simon dan kawan-kawan berjuang melawan kebijakan tersebut sampai akhirnya terjadi PHK. Simon kebagian pesangon 5 juta. Tak Sanggup Lagi Atas peristiwa PHK ini Simon limbung. Dia tidak tahu harus mengerjakan apa. Sebab fisiknya yang mungil tidak sekuat dulu. Dia pun tidak memiliki keterampilan tertentu karena dia hanya tamatan kelas 3 Sekolah Rakyat. Simon lalu bergumam singkat, "Ya Tuhanku, Allahku. Untuk jadi satpam lagi saya tak sanggup lagi. Terserah Tuhan saja..." Di saat bingung itu, Simon mendapat tawaran dari tetangganya untuk meneruskan "usaha" ayah mereka yang sudah meninggal sebagai tukang abu. "Lalu saya beli gerobaknya dengan harga 65.000. Mulai dari situlah saya jadi tukang abu hingga hari ini," kenang ayah tiga anak ini. Meski disebut meneruskan usaha tukang abu sebelumnya, tapi Simon harus bekerja ekstra keras untuk mendapatkan pelanggan. Ternyata tukang abu sebelum Simon itu hanya memiliki beberapa pelanggan. Dan kalau hanya mengandalkan itu, berarti dapur Simon tidak mengepul lagi. Awalnya dia membeli satu karung abu dengan harga Rp500, lalu dibungkus menjadi 50-60 bungkus dengan harga per bungkus Rp100. Ia lalu bergerilya menyusuri gang-gang perkampungan. Pada awal perjuangan, ia sangat sulit dapat pembeli. Pernah setelah keliling keluar masuk kampung dengan jarak tempuh belasan kilometer, yang laku hanya 5 atau 10 bungkus. Pada hari yang lain, saat sudah menempuh belasan km lagi hanya 14 bungkus yang laku. Tanpa mengeluh ia berjalan terus menyusuri ke Jalan Malang, lalu putar ke Warung Ayu, lalu ke Taman Wisma ASRI, setelah itu ia menyeberang jalan dan berjalan terus. Dia kemudian kaget, ternyata dia sudah sampai di terminal Bekasi. Dengan demikian jarak yang telah dia tempuh sudah mencapai 50 km. Hari itu dia hanya mendapatkan uang sebesar Rp4.000. Kemudian meningkat menjadi 10.000-15.000 dan selanjutnya laku hingga 200 bungkus. Ketika sedang hokki, dagangannya sudah ludes sekitar jam 11 sehingga harus pulang untuk ambil abu lagi. "Meski hasilnya hanya sekian, saya tidak mau mengeluh. Sebab mengeluh sangat menghabiskan tenaga dan membuat malas," ungkapnya. Untuk menambah penghasilannya, Om Simon juga membeli barang-barang rongsokan lalu menjualnya kembali. Untuk hal yang satu ini, Om Simon menerapkan jurus "tarik hati". "Tidak ada satu orang pun yang mau ditipu kan?" demikian Simon bertanya retoris. Sebuah pertanyaan yang sekaligus menjadi prinsip hidupnya. Dia lalu meyakinkan setiap orang yang menjual barang bekas kepadanya bahwa dia tidak memainkan harga dan timbangan. Bahkan dia berani membeli di atas harga biasa. "Orang lain beli dengan Rp 800, saya beli dengan harha Rp1.200 dengan timbangan yang tidak menipu. Dengan harga itu saja saya masih tetap untung kok."Dengan demikian, orang-orang lebih memilih menjual barang mereka kepada Simon. "Saya tidak akan tipu kamu sebab keyakinan saya tidak membolehkan menipu, lagian kita kan sama-sama susah. Kalau saya tipu, uang yang hanya sedikit ini tak akan jadi daging...." ucap Simon meyakinkan. Setelah membeli, dia langsung bergegas membawa ke pembeli barang ronsokan terdekat. "Saya tidak mau narik gerobak jauh-jauh. Tenaga saya habis." Tiap hari ketika bekerja, sambil menyeka keringat, Simon terus mendaraskan doa sederhana ini "Ya Tuhanku, ya Allahku. Tenagaku tidak kuat lagi menarik gerobak ini. Meski begitu saya akan terus menariknya. Hanya saja, saya minta kesehatan dan kekuatan dariMu...." Modal utama Simon adalah abu, gerobak dan tenaganya. Setiap kali belanja, ia membeli empat karung abu seharga Rp4.000/karung. Ia juga membeli empat pak plastik. Setelah dibungkus, setiap karung bisa menghasilkan 50-60 plastik kecil dan dijual dengan harga Rp500/kantong atau tiga kantong Rp1.000. Biasanya, dalam waktu 1 minggu semua abu laku terjual dan dia mengambil lagi. Acapkali saat dia sedang berjualan di jalanan, ada orang yang iba terhadapnya. Ada yang mengambil hanya satu atau beberapa kantong abu tapi memberinya Rp50.000,- Ada juga yang mengajaknya makan. Meski hidup Simon serba berkekurangan, dia juga tetap berusaha membantu orang lain terutama yang "senasib" dengannya. Suatu saat, seorang penjual tangga lewat di depan rumahnya. Melihat "tukang tangga" itu, hati Simon iba. Ia lalu memanggil tukang tangga tersebut. "Dia tawarkan Rp30.000, lalu saya beli dengan Rp25.000,- padahal saya nggak butuh-butuh juga," kenangnya. Alasan Simon sederhana. "Karena rasa lapar dan haus kami di jalanan sama..." ungkapnya sambil mengeluarkan gerobak dari dalam rumahnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun