Mohon tunggu...
elmariachi culianca
elmariachi culianca Mohon Tunggu... Wiraswasta - elmariachi nama pena

Huruf adalah Hati, Kata adalah Jiwa,dan Kalimat adalah Kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

MAMA TIRIKU, MAMA KANDUNGKU

24 April 2011   14:43 Diperbarui: 4 April 2017   18:09 129272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kokokayam jantan terdengar memanggil matahari bangun dari tidurnya. Embun pun mulai bersiap-siap mengemas selimutnya lalu sembunyi di balik daun. Namun ada suasana yang berbeda di pagi ini bila dibandingkan dengan pagi-pagi sebelumnya. Tak kudengar suara Mama memanggilku bangun seperti biasanya yang sering Mama lakukan di setiap pagi. Memanggilku bangun untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Tidak juga kujumpai segelas susu di atas meja makan, yang biasanya harus kuminum sebelum berangkat ke sekolah, dan beberapa potong roti sebagai bekalku nanti. Tak juga kulihat Papa memanasi mesin sepeda motor tuanya seperti yang sering Papa lakukan sebelum mengantar aku dan Lany, Kakak perempuanku ke sekolah. Yang ada hanya Lany, yang lagi duduk di ruang tamu sambil memeluk kakinya yang ditekuk sambil menangis. Apa yang ditangisinya?Lalu, ke mana Mama? Ke mana Papa? Ke mana mereka semua? Kenapa suasana rumah pagi ini begitu sepi. Adakah sesuatu yang telah terjadi semalam tanpa aku ketahui? Atau mereka sedang menggodaiku yang seperti biasa mereka lakukan. Begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam otakku yang tak dapat kumengerti.

Kucoba telusuri seluruh ruangan rumah, mulai dari kamar tidur Mama dan Papa, dapur dan belakang rumah kami, tapi tak juga kutemukan orang-orang yang kucari. Tiba-tiba kulihat Tanteku, adik Papa, dengan tergesa-gesa memasuki rumah kami sambil menangis dan memeluk tubuh mungilku dan Lany dengan erat. Aku kaget! Kenapa Tanteku menangis? Ada apa dengannya? Siapa yang membuatnya menangis? Ah, aku semakin bingung. Sungguh suasana yang sangat jauh berbeda. Awalnya, wajah Mama tak kujumpai, begitu juga dengan Ayah, tak ada segelas susu di atas meja makan, lalu Lany yang menangis di ruang tamu, dan sekarang Tanteku juga ikut-ikutan menangis sambil memeluk kami berdua dengan eratnya. Ada apa dengan semuanya ini?

Belum sempat rasa kaget dan rasa penasaranku hilang, terdengar suara sirine ambulance di ujung jalan, semakin lama suara sirine itu semakin keras terdengar dan mendekat. Dan…ah, sepertinya arahnya menuju rumah kami. Ada apa lagi ini? Semakin banyak pikiran yang berselancar dalam benakku. Dan mobil ambulance itu berhenti tepat di depan rumah kami. Tak berapa lama kemudian, sebuah peti yang berbentuk persegi panjang keluar dari dalam mobil putih itu, lalu digotong memasuki rumah kami. Kulihat mata Papa basah. Papa menangis! Benarkah Papa menangis? Baru kali ini aku melihat Papa menangis. Apa yang membuat orang yang setegar Papa bisa menangis? Pastilah peristiwa yang paling menyedihkan buat Papa. Lalu apa yang berada di dalam peti yang berbentuk persegi panjang itu?

“Aduh, ada apa lagi ini?”, aku berkata dalam hati.

Peti berbentuk persegi panjang itu diletakkan di tengah-tengah ruang tamu rumah kami. Perlahan-lahan tutupnya dibuka. Kulihat orang-orang di sekelilingku menangis, suara mereka makin keras. Papa, Nenek, Kakek, Tanteku dan Lany, Kakak perempuanku, juga tetanggaku yang datang ke rumah kami. Karena penasaran, aku menarik-narik tangan Papa yang berdiri tepat di sampingku. Aku meminta Papa menggendongku. Aku ingin melihat siapa yang berada di dalam peti berbentuk persegi panjang itu. Papa menggendongku, dan saat mataku memandang ke dalam peti itu, aku heran melihat Mama berbaring dalam peti itu. Ada apa dengan Mama? Mengapa Mama berbaring di dalam peti itu?

“Pa, kenapa Mama berada di dalam peti itu?”, tanyaku pada Papa dengan polos.

“Mama lagi tidur, Nak”, jawab Papaku.

“Kog tidurnya di dalam peti? Kalau mengantuk, biasanya Mama langsung masuk ke dalam kamar”, kataku lagi. Tapi Papa hanya diam, tak menjawab pertanyaanku sedikitpun. Hanya airmata yang mengalir di sudut matanya. Aku pun ikut terdiam. Karena penasaran, aku berpindah tempat duduk. Kali ini aku duduk di samping Lany.

“Kak, kenapa Mama tidak menjawab setiap kali kupanggil. Setiap kali aku berkata kalau aku lapar dan ingin minum susu, Mama tetap diam?”, tanyaku pada Lany, Kakak perempuanku.

“Dik, Mama tidak bisa lagi mendengar dan menjawab panggilan dan ucapan kita”, jawab Lany.

“Memangnya Mama sudah tuli dan bisu ya, Kak?”, tanyaku lagi.

“Tidak, Dik!” ucap Lany.

“Kalau Mama tidak tuli dan juga bisu, mengapa Mama tidak menjawab setiap panggilanku? Lalu kenapa Mama berbaring di dalam peti? Papa bilang, Mama lagi tidur, kog tidurnya di dalam peti, kenapa tidak tidur di dalam kamar yang seperti biasa Mama lakukan? Sebenarnya ada apa dengan Mama, Kak?”, aku terus bertanya.

“Dik, benar kata Papa, Mama lagi tidur, tapi tidur untuk selamanya. Tidur dalam pelukan keabadian. Waktu enggan memberi kesempatan buat Mama untuk lebih lama lagi bersama kita, membesarkan dan melihat kita beranjak dewasa lalu menikah. Mungkin waktu tak sampai hati melihat Mama menderita sehingga ia membungkus Mama dengan selimut keabadiannya”, jawab Lany dengan panjang lebar.

Jenazah Mama disemayamkan dua hari lamanya di dalam rumah kami. Tujuannya adalah memberi kesempatan terakhir kepada kerabat dari Papa dan Mama, juga para tetangga untuk memberi penghormatan buat Mama. Dan hari ini adalah hari terakhir kami melihat wajah Mama. Tak ada rasa sedih dalam hatiku ketika peti tempat Mama berbaring ditutup, lalu diangkat dan dimasukkan ke dalam mobil putih, seperti mobil yang pertama kali membawa jenazah Mama ke rumah. Rombongan mobil jenazah kami beriringan menuju tempat peristirahatan terakhir Mama. Perlahan-lahan peti tempat Mama berbaring dikeluarkan dari dalam mobil putih itu, lalu diletakkan di atas kayu-kayu balok yang telah disusun di atas lubang yang bentuknya sama dengan peti itu. Tak berapa kemudian, peti tempat Mama berbaring diturunkan secara perlahan-lahan ke dalam lubang. Suara tangisan semakin keras terdengar. Papa pun semakin terlihat sedih. Lany juga terlihat menangis, bahkan suaranya sangat keras. Hanya akulah yang tidak menangis dan sedih. Bukan karena aku tidak menyayangi Mama, tetapi karena aku masih terlalu muda untuk memahami apa yang sedang terjadi. Saat itu usiaku baru enam tahun. Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi sekarang. Tidak mengerti dengan arti kata “tidur panjang”, “keabadian” atau apapun namanya. Yang aku tahu, saat ini Mama berada di dalam peti, lalu peti itu diturunkan perlahan-lahan ke dalam lubang kemudian ditimbuni dengan tanah-tanah yang menggunduk. Mama hanya diam, tidak marah, seakan menerima segalanya dengan pasrah.

******************

Sejak kematian Mama, pekerjaan dan tanggung jawab Papa semakin menumpuk dan berat. Pekerjaan yang biasanya dilakukan Mama, kini harus di ambil alih oleh Papa. Pukul 05.00 pagi Papa harus bangun, menyiapkan segala keperluan kami, mulai memasak untuk sarapan pagi, membuatkan aku susu dan menyiapkan bekal buat aku dan Lany di sekolah nantinya. Sejujurnya aku merasa kasihan melihat keadaan dan kondisi Papa. Papa nampak sangat kelelahan. Selain bekerja, Papa juga harus mengurus kami.

Tak terasa sudah empat tahun Mama meninggalkan kami semua. Dan aku pun tumbuh menjadi seorang gadis yang mulai memasuki usia remaja. Sejak Mama meninggal, aku dijaga dan sering digendong oleh Paman, adik Mamaku. Kini usiaku telah menginjak sepuluh tahun dan Lany, telah memasuki usia tiga belas tahun. Aku dan Lany hanya terpaut tiga tahun. Aku kini sudah mulai sedikit mengerti dan memahami dengan keadaan di sekelilingku, meskipun tidak semuanya.

Suatu malam, setelah selesai makan malam, Papa memanggil Lany. Katanya ada sesuatu yang ingin Papa sampaikan dan bicarakan. Sebelum Papa mengajak Lany duduk di ruang tamu dan berbincang, Papa menyuruhku tidur. Aku pun segera masuk ke dalam kamar, tempat aku dan Lany tidur. Kami memang sekamar, tapi tidak seranjang, maklum rumah kami tidak terlalu besar. Rumah kami hanya memiliki tiga kamar, satu kamar untuk Papa, yang satu lagi untuk aku dan Lany, yang satunya lagi untuk tamu atau kerabat yang datang dari luar kota yang berkunjung dan bermalam di rumah kami. Di dalam kamar aku berpikir, tidak biasanya Papa bersikap seperti ini, mengajak Lany berbincang. Papa orangnya pendiam. Bila tidak ada sesuatu hal yang penting, Papa jarang bicara. Karena penasaran, dengan diam-diam aku mencuri mendengarkan pembicaraan Papa dan Lany.

“Sudah empat tahun Mama kalian meninggalkan kita. Papa sedih bila mengingat itu. Papa tidak menyangka Mama kalian akan pergi secepat ini. Kini kalian sudah mulai tumbuh menjadi gadis remaja, terutama kamu, Lany” Papa memulai membuka pembicaraan. Lany dengan kepala tertunduk hanya diam mendengarkan ucapan Papa. Papa melanjutkan pembicaraannya, “Seperti yang kamu lihat, Lan, Papa hanya seorang diri, disamping Papa harus mengurus kalian, Papa juga harus kerja. Papa tidak bisa mengawasi dan mengurus kalian sepanjang hari. Hanya di pagi hari sebelum Papa berangkat kerja dan sore hari setelah Papa pulang kerja” Papa berhenti sejenak sebelum melanjutkan lagi, “Papa ingin ada orang yang bisa mengurus dan memperhatikan kalian. Lany, apa kamu tidak ingin mempunyai seorang Mama yang bisa mengurus dan menjadi tempat kamu dan adikmu, Lucy, berbagi cerita?”, tanya Papa pada Lany. Kakak perempuanku itu tetap diam. “Bicaralah, Nak! Papa ingin mendengar suara hatimu dan keinginanmu”, Papa bertanya kembali.

“Aku pengen, Pa! Aku juga ingin punya Mama seperti teman-teman aku lainnya”, kata Lany.

“Benar, Lan? Benarkah yang Papa dengar? Sungguh sangat senang Papa mendengarnya, Lan! Untuk itu Papa mengajakmu berbincang malam ini. Ada yang ingin Papa sampaikan padamu. Papa ingin menikah lagi. Papa telah memilih seorang perempuan yang Papa yakin orangnya sangat baik dan penuh perhatian. Perempuan yang lembut. Dia masih sahabat Mama kalian. Kalau kamu setuju, mungkin dua bulan lagi Papa akan menikahinya. Kamu setuju, Lan?”, tanya Papa pada Lany. Kakak perempuanku itu hanya menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. “Terima kasih, Nak! Papa senang mendengarnya, dan Papa sangat berterima kasih dengan pengertianmu itu, dan juga Papa bangga padamu, Lan!”, kata Papa panjang lebar. “Oh ya, sekarang sudah mulai larut, besok kamu dan adikmu harus ke sekolah. Pergilah tidur!” Papa menyuruh Lany untuk tidur.

Sebelum Lany berjalan memasuki kamar tidur kami, aku bergegas naik ke tempat tidur, dan pura-pura terlelap. Namun pikiranku berkecamuk. Seperti ada badai yang menerpa isi kepalaku. Malam ini aku sulit untuk tidur. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, hanya dalam hitungan menit aku akan segera menjemput mimpi. Tapi tidak untuk malam ini. Masih terngiang di telingaku pembicaraan Papa dan Lany. Papa mau menikah lagi! Benarkah? Apa aku tadi tidak salah dengar? Sepertinya tidak! Kucoba meyakinkan diriku sendiri. Kalau Papa menikah berarti aku punya…..Aku tak mampu melanjutkan kata-kata itu. Aku langsung teringat cerita-cerita tentang kejamnya seorang Ibu tiri. Aku takut membayangkannya. Hatiku miris. Aku tak sanggup menerima kenyataan itu bila hal itu terjadi padaku dan Lany. Lalu aku teringat Mamaku, meski wajahnya tak begitu akrab denganku.

“Ma, kenapa Mama begitu cepat meninggalkan aku dan Lany? Mama dengar tadi apa kata Papa, Papa ingin menikah lagi. Aku takut mempunyai Mama tiri. Kata orang, Mama tiri itu kejam. Aku takut, Ma!” Aku bergumam sendiri dalam hati. Tak terasa airmataku mengalir membasahi bantal kepalaku. Entah karena sedih atau apa, aku terlelap dengan sendirinya.

Pagi ini aku tidak seperti biasanya. Mukaku murung dan selera makanku hilang. Malas rasanya aku berangkat ke sekolah.

“Kamu sakit, Dik?”, tanya Lany yang membuyarkan lamunanku.

“Tidak, Kak!”, jawabku sekenanya.

Dengan diam-diam Lany telah memperhatikanku sedari tadi. Lany mengamati perubahan yang ada dalam diriku. Pukul 06.30, Papa mengantarkan kami ke sekolah dengan sepeda motor tuanya. Hanya 15 menit perjalanan dari rumah kami menuju sekolah bila ditempuh dengan kendaraan. 30 menit atau lebih dengan berjalan kaki.

Sesampainya di sekolah dan sebelum kami berpisah menuju kelas masing-masing, Lany berpesan, “Lucy, nanti setelah jam sekolah selesai, tunggu Kakak ya!”. Aku Cuma menganggukkan kepala. Sekolah kami masih dalam satu lokasi. Aku duduk di kelas empat Sekolah Dasar, dan Lany sudah kelas satu Sekolah Menengah Pertama.

Ketika jam sekolah selesai, aku tidak langsung pulang seperti biasanya. Aku menunggu Lany seperti pesannya pagi tadi. Aku duduk seorang diri di kantin sekolah. Hari ini aku agak malas bicara. Teman sebangku-ku heran melihat perubahanku. Begitu juga dengan teman-teman yang lainnya. Padahal akulah yang paling banyak bicara di antara mereka. Kata mereka, aku cerewet seperti nenek-nenek.

Tak berapa lama berselang, Lany keluar dari kelasnya. Dan dia menghampiriku. Lalu kami berdua berjalan menuju pintu gerbang sekolah. Biasanya sepulang sekolah, aku naik angkutan umum. Tapi hari ini Lany mengajakku pulang dengan berjalan kaki. Padahal matahari begitu terik membakar, tapi aku mengikuti saja segala kemauan Lany.

“Semalam kamu mencuri mendengarkan pembicaraan aku dengan Papa ya?”, tanya Lany padaku. Sebenarnya Lany hanya mencoba memecahkan kebisuan di antara kami, karena sejak tadi kami berdua hanya berdiam diri. Aku menganggukkan kepala.

“Jadi, kamu sudah tahu semuanya?,” tanya Lany lagi. Kembali aku hanya menganggukkan kepala. “Itukah yang membuatmu sedih? Apa yang kamu sedihkan, Dik?”, Lany terus bertanya. Aku diam. Lalu Lany melanjutkan pertanyaannya, “Kamu takut dengan Mama tiri ya? Bicaralah, Dik! Kakak juga takut, tapi Kakak kasihan lihat Papa. Papa sudah capek dengan pekerjaannya, belum lagi harus mengurus kita. Memasak, membuatkan susu untukmu, mengajari mata pelajaran yang tidak kita mengerti. Sejujurnya Kakak juga tidak setuju dengan rencana Papa menikah lagi, tapi Kakak kasihan. Ya, kasihan sama Papa, Dik! Hanya itu!” Tak terasa air bening mengalir di sudut mata, dan terjatuh ke pipiku yang ranum. Kulihat mata Lany berkaca-kaca. “Kamu jangan takut, kan masih ada Kakak. Kakak akan selalu menjaga dan membelamu, Dik! Kamu jangan takut ya!”, kata Lany, Kakak perempuanku itu mencoba membujuk dan menenangkanku.

******************

Sudah dua bulan wajahku tampak murung. Sejak malam itu, ketika aku mencuri mendengarkan pembicaraan Papa dan Lany, aku semakin tenggelam dalam kesedihan. Segala keceriaanku hilang. Tawa dan candaku pun sirna. Semuanya seakan ditelan bumi. Hanya ketakutan akan kejamnya seorang Mama tiri yang memenuhi kepalaku. Hari ini ketakutan itu semakin menjadi. Hari ini adalah hari kebahagiaan Papa. Namun bagiku, hari ini adalah hari awal kematianku. Gambaran kematian itu seakan semakin nampak jelas di pelupuk mataku.

“Tuhan, kenapa Engkau begitu cepat mengambil Mama dari sisiku? Kini aku sendiri bersama ketakutanku. Andaikan saja Mama masih ada, aku tidak akan seperti ini. Aku tidak sesedih dan juga setakut ini”, pikiranku semakin kacau.

Pesta pernikahan Papa tidaklah meriah. Pestanya hanya sederhana. Hanya kerabat-kerabat terdekat dan teman-teman Papa dan Mama tiriku yang diundang.Kulihat Papa begitu bahagia, dan senyumnya selalu mengembang. Tapi bagaimana dengan aku? Ah, sepertinya mereka tidak akan pernah peduli dengan perasaanku. Hari ini rasanya aku sudah mati sebelum waktunya. Tak lama kemudian pesta pernikahan itu usai. Kini yang tertinggal hanya beberapa orang kerabat dekat. Mereka masih asyik berbincang dengan Papa. Dan Mama tiriku masuk ke dalam kamar membersihkan wajahnya dari make up. Tak berapa lama kemudian Mama tiriku keluar membaur kembali dengan Papa dan kerabat dekat. Berbincang. Aku dan Lany langsung masuk ke dalam kamar begitu pesta pernikahan usai. Kami berdua menangis sambil berpelukan. Lalu tertidur.

Pagi-pagi sekali samar-samar kudengar suara piring dan gelas di dapur. Siapa yang sedang mencuci sepagi ini? Mama tiriku kah? Apa iya? Pelan-pelan aku bangun dari tempat tidur. Dengan berjinjit seakan tanpa suara, aku melangkah keluar kamar. Aku ingin memastikan siapa sepagi ini sudah mencuci piring dan gelas di dapur. Betapa aku terkejut, dan aku hampir tidak percaya dengan penglihatanku. Benar, itu Mama tirku, istri baru Papaku.

“Betapa rajinnya perempuan ini”, gumamku dalam hati. Benar kata Papa dulu, bahwa perempuan yang akan dinikahinya adalah perempuan yang rajin, sabar, lembut dan penuh perhatian.

“Semudah dan secepat itukah kau menilai seseorang? Jangan-jangan itu hanya akal-akalannya saja, yang mencoba mencuri hati dan perhatian Papa kamu” Tiba-tiba ada suara aneh yang berbicara dalam diriku.

“Benar juga ya!” Aku mencoba mengiyakan perkataan suara aneh itu. Lalu aku kembali ke dalam kamar, naik ke atas tempat tidur, dan mencoba untuk tidur kembali, tapi pikiranku terus bermain-main dengan lincahnya dalam ketakutan dan keraguan.

Satu jam kemudian, kudengar suara langkah mendekati kamar aku dan Lany. Semakin mendekat. Dan pintu kamar terbuka. Suara lembut itu memanggil aku dan Lany bangun. Kami harus mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah. Ya, suara itu sangat lembut. Suara itu terdengar penuh dengan kedamaian di telingaku. Suara siapakah itu? Suara Mama kah? Atau suara Mama tiriku? Sesungguhnya sedari tadi aku telah mengetahui bahwa suara itu adalah suara Mama tiriku, karena sejak tadi aku tidak bisa tertidur lagi, dan mataku mencuri pandang ke arah pintu kamar saat pintu kamar itu terbuka. Perasaan tidak percayalah yang membuatku bertanya seperti itu dalam hati.

Dengan lembut tangannya mengusap wajahku dan wajah Lany. Sungguh lembut. Di tangannya seakan-akan ada air yang mengalir yang menenangkan jiwaku yang telah lama mengering dari belaian kasih sayang dari seorang Mama. Sudah empat tahun lamanya aku tak merasakan usapan yang lembut seperti yang baru aku rasakan tadi. Usapan yang penuh kasih sayang. Dengan penuh kesabaran Mama tiriku memanggilku dan Lany bangun. Sejujurnya pagi ini kami berdua, aku dan Lany, malas untuk berangkat ke sekolah. Entah mengapa. Mungkin karena pengaruh cerita-cerita tentang kejamnya seorang Mama tiri penyebabnya. Setelah aku dan Lany bangun, Mama tiriku menggendongku dari tempat tidur, membawaku menuju ke kamar mandi. Ia membilas membersihkan sekujur tubuhku. Aku tak percaya dengan kejadian yang baru saja aku alami. Tak berapa lama kemudian, kami menuju meja makan. Sarapan pagi telah siap. Bekal pun sudah ada.

“Benarkah semua ini? Mimpikah aku?”, aku berkata dalam hati.

“Tidak! kamu tidak sedang bermimpi. Ini nyata!”, kata hatiku.

Hal ini sering dilakukan oleh Mama tiriku terhadap aku dan Lany hingga kami memasuki usia remaja. Namun kebiasaan memasak dan menyiapkan sarapan pagi terus berlanjut hingga saat ini.

Sejak Papa menikah lagi, wajah Papa tak lagi menampakkan kelelahan, mungkin karena sudah ada orang yang membantu mengurus kami,dan juga menyiapkan segala keperluan Papa. Jadi Papa bisa lebih memperhatikan pekerjaannya.

Dua tahun sejak Mama meninggal, Papa mulai berwiraswasta kecil-kecilan, dengan maksud agar Papa bisa lebih memperhatikan dan mengawasi aku dan Lany. Mulai dari berterrnak ayam dan babi, menjual papan dan balok-balok kayu bahan untuk membangun rumah atau hal lainnya. Semua Papa pernah lakukan. Berhubung modal kerja Papa sangat kecil dan pekerjaan yang Papa tekuni sangat membutuhkan modal yang besar, maka usia usaha Papa tidak bertahan lama. Kini sejak menikahi Mama tiriku, Papa mulai mencoba usaha baru. Papa berdagang bahan sembako. Dengan bermodal sebuah mobil yang setengah tua, Papa keliling dari satu kota ke kota lainnya menawari barang dagangannya. Setiap kali Papa akan ke luar kota, Mama tiriku selalu menyiapkan segala keperluan Papa, mulai dari pakaian hingga makanan yang akan menjadi bekal Papa diperjalanan nantinya.

Dari tahun ke tahun, sikap Mama tiriku tak pernah berubah seperti yang aku bayangkan dan aku dengar tentang kejamnya seorang Ibu tiri. Bahkan Mama tiriku penuh perhatian dan kasih sayang pada aku dan Lany. Sangat bertolak belakang dengan apa yang aku dengar. Mama tiriku mengurus kami dengan penuh ketulusan dan kasih sayang. Tak terasa sudah lebih dari sepuluh tahun Mama tiriku menemani, mengisi hari-hari kami dan mengurus segala keperluan kami. Tak pernah kudengar keluhan yang keluar dari mulutnya. Mama tiriku memang seorang penyabar. Tak pernah sekalipun Mama tiriku memukuli aku dan Lany, meski ketika kami berbuat salah. Hanya kata-kata lembut yang penuh nasehat yang keluar dari mulutnya. Memang pernah sekali waktu Mama tiriku memarahi kami, tapi itu tidak lebih dari hanya kata-kata wejangan.

Dengan perlakuan yang lembut, penuh perhatian dan kasih sayang, membuat rasa takutku akan kejamnya seorang Ibu tiri perlahan-lahan menghilang dengan sendirinya. Bahkan bukan cuma itu, pandangan tentang kejamnya seorang Ibu tiri semakin meragukan aku. Benarkah Ibu tiri itu kejam seperti yang biasa aku dengar? Bukankah sekarang banyak Ibu kandung yang berlaku kasar terhadap anak kandungnya sendiri? Bahkan ada memperlakukan anaknya kandungnya lebih kejam dari perlakuan seorang Ibu tiri terhadap anak tirinya seperti selama ini aku dengar? Sepertinya paradigma ini perlu diluruskan kembali. Sebenarnya kekerasan yang terjadi dalam banyak kasus Ibu tiri terhadap anak tirinya, menurut aku kembali pada sifat dan pribadi masing-masing dan ketulusan hati yang dimiliki oleh seorang Ibu.

Pernikahan dengan Papa, Mama tiriku tidak mempunyai anak. Jadi kami berdualah menjadi anaknya. Mama tiriku begitu menyayangi dan memperhatiankan kami. Juga pada Papa. Segala tenaga, waktu dan pikirannya ia curahkan untuk kami bertiga. Setiap pagi Mama tiriku menyiapkan sarapan pagi sebelum aku dan Lany berangkat ke sekolah. Mama tiriku akan sangat marah bila kami tidak sarapan pagi. Begitu pula bila aku dan Lany terlambat pulang dari sekolah, Mama tiriku akan merasa gelisah. Rasa khawatirnya begitu besar.

Pernah suatu waktu aku terlambat pulang dari sekolah, dan aku lupa menelpon ke rumah untuk mengabari kalau hari ini aku akan terlambat pulang karena ada salah satu teman sekolahku yang lagi berulang tahun. Teman sekolahku itu mengajakku untuk merayakan hari bahagianya di salah satu rumah makan yang cukup terkenal di kotaku. Hari itu aku larut dengan kebahagiaan teman sekolahku. Di rumah Mama tiriku diliputi perasaan khawatir dan gelisah. Mama tiriku sangat takut hal-hal yang buruk menimpaku. Hampir semua rumah-rumah tetangga dan kerabat aku didatanginya. Mencari tahu keberadaanku, mungkin saja aku lagi asyik bermain di salah satu rumah tetangga atau kerabatku, dan lupa mengabari ke rumah. Begitu yang terlintas dalam benak Mama tiriku.

Usaha Mama titiku ternyata sia-sia. Mama tiriku tak menemukan aku di salah satu rumah tetangga, atau pun di rumah kerabatku. Mama tiriku semakin gelisah. Pikirannya semakin kalut dengan membayangkan hal-hal buruk telah menimpaku. Padahal saat itu usiaku bukanlah usia anak-anak lagi, aku sudah mulai menginjak usia remaja yang sebentar lagi memasuki usia dewasa. Aku sudah kelas tiga Sekolah Lanjutan Atas. Aku bisa memaklumi rasa kekhawatiran Mama tiriku, karena di usia itulah anak-anak muda sedang mencari identitasnya. Masih labil dan mudah terpengaruh dengan hal-hal yang buruk. Pukul 15.00 sore, aku tiba di rumah. Melihat aku datang, Mama tiriku bergegas menghampiriku dan memelukku sambil menangis. Setelah tangisnya reda, Mama tiriku mulai menginterogasi aku. Mama tiriku mulai bertanya padaku seperti seorang polisi terhadap penjahat. Sebelum aku menjelaskan, terlebih dahulu aku meminta maaf atas kecerobahanku yang telah membuat Mama tiriku gelisah dan khawatir. Lalu aku mulai menjelaskan semuanya. Setelah mendengar segala penjelasanku, akhirnya Mama tiriku bisa tenang. Jujur saja, saat itu aku takut kena marah atau tamparan dari Mama tiriku. Seandainya pun itu terjadi, aku akan menerima, karena aku tahu, akulah yang salah. Ternyata semua dugaanku meleset. Tak ada sedikit pun kata-kata penuh amarah yang keluar dari mulut Mama tiriku. Mama tiriku hanya menasehati, lain kali harus mengabari ke rumah bila aku hendak bermain bersama teman-temanku, atau aku terlambat pulang dari sekolah.

Setelah kejadian itu, aku semakin yakin bahwa tidak semua Mama tiri itu jahat. Buktinya Mama tiriku begitu menyayangi dan memperhatikan aku. Masih jelas dalam ingatanku, bila mengingat itu selalu membuatku terharu dan menangis. Mama tiriku selalu ingat dengan hari ulang tahun kami, aku dan Lany. Setiap hari ulang tahunku, Mama tiriku tak lupa membuatkan aku kue tart. Berhubung kami bukanlah keluarga yang mampu, setiap hari ulang tahunku dan Lany, kami hanya merayakannya di rumah saja dengan sederhana. Teman-teman sekolahku banyak yang menyukai kue tart buatan Mama tiriku. Kata mereka, kue tart buatan Mama tiriku enak. Setiap hari ulang tahunku, aku selalu membawakan kue tart buatan Mama tiriku ke sekolah dan kubagikan pada teman-temanku. Dan semua baju seragam sekolahku dan Lany, dijahit sendiri oleh Mama tiriku.

Saat Lany, Kakak perempuanku satu-satunya itu akan menikah dan harus meninggalkan kami karena harus mengikuti suaminya menetap di Taiwan, Mama tiriku sangat bahagia dan juga sangat sedih. Menjelang pernikahan Lany, Mama tiriku terlihat sangat sibuk, mengurus ini dan itu. Seakan-akan yang menikah itu adalah anak kandungnya sendiri. Anak yang terlahir dari rahim sucinya. Aku jadi terharu melihat sikap Mama tiriku itu. Di acara pernikahan Lany, Mama tiriku terlihat begitu bahagia, bahkan sangat bahagia. Setelah acara pernikahan itu selesai, dan beberapa hari kemudian Lany harus meninggalkan kami semua, karena ia harus mengikuti suaminya menetap di Taiwan. Mama tiriku adalah orang yang paling terlihat sedih di antara kami semua yang ada. Mama tiriku begitu berat melepaskan kepergiaan Lany ke Taiwan. Aku kembali tenggelam dalam keharuan melihat sikap Mama tiriku. Aku tidak percaya dengan apa aku lihat. Benarkah ia, Mama tiriku atau Mama kandungku yang berinkernasi? Sampai-sampai aku berpikir Mama tiriku seperti Mama kandungku sendiri. Mama yang melahirkan aku dan Lany dari rahim sucinya.

Setelah kepergian Lany ke Taiwan, kini tinggallah kami bertiga di rumah, aku, Papa dan Mama tiriku. Sepi. Hari-hari terus berjalan. Kadang-kadang berjalan lambat, adakalanya terasa cepat. Langit kadang mendung, kadang cerah. Bunga-bunga di halaman depan rumahku bertunas lalu mati, bertunas lagi, lalu mati, begitu seterusnya. Kini aku telah memasuki usia yang sudah sepatutnya berkeluarga, mengurus anak dan suami. Tapi Tuhan belum memberikan aku seorang pendamping hidup, padahal aku ingin sekali memberikan Papa dan Mama tiriku satu atau dua orang cucu untuk mengisi dan menjadi teman di masa-masa tua mereka. Papa dan Mama tiriku pun terlihat semakin tua dan renta. Jujur, aku sangat bahagia dengan keadaanku selama ini, memiliki Papa yang baik, sabar dan pengertian, dan Mama tiri yang menyayangi aku seperti anak kandungnya. Sejak kepergiaan Lany ke Taiwan, otomatis semua kasih sayang itu menjadi milikku sendiri.

Pernah, bahkan sering kalau bisa aku katakan, teman-teman aku bertanya, apakah Mama tiriku pernah memukuli aku atau berlaku kasar padaku? Aku selalu jawab, tidak pernah. Dan memang tidak pernah. Seingat aku, sejak menikah dengan Papa hingga saat ini, Mama tiriku tidak pernah sekalipun memukuli aku. Aku bahkan sangat bersyukur bisa memiliki Ibu seperti Mama tiriku, meski aku tidak terlahir dari rahimnya, namun kasih sayang dan perhatian Mama tiriku terhadapku dan Lany, tidaklah lebih rendah bila dibandingkan dengan kasih sayang dan perhatian seorang Mama kandung terhadap anak kandungnya. Aku selalu menganggap ini sebagai anugerah surga.

Namun ada satu hal membuatku risau, sejak Mama tiriku menikah dengan Papa, aku belum pernah memanggilnya dengan sebutan “MAMA”, panggilan yang selalu didambakan dan dirindukan oleh setiap perempuan yang telah menikah atau yang sudah tua dan pantas dianggap sebagai Ibu. Panggilan yang selalu dinanti-natikan oleh seorang perempuan yang keluar dari mulut anaknya, entah itu anak kandungnya atau anak tirinya. Selama ini aku selalu memanggil Mama tiriku dengan sebutan “TANTE”. Dalam hati aku berjanji, di suatu saat nanti, aku akan memanggil Mama tiriku dengan sebutan “MAMA”, panggilan yang selalu ia rindukan selama ini keluar dari mulutku. Memang harus akui, kadang-kadang tanpa sengaja dari mulutku keluar panggilan “MAMA”, tapi ketika aku menyadari hal itu, cepat-cepat aku merubah panggilan itu dengan sebutan yang biasa aku panggil “TANTE”.

Hari ini penyakit Papa kambuh lagi, bahkan terlihat semakin parah. Papa harus segera di bawa ke Rumah Sakit untuk mendapatkan perawatan yang semestinya. Kami pun mengantar Papa ke salah satu Rumah Sakit di kotaku. Hatiku sedih. Aku takut kehilangan Papa. Aku belum siap. Pikiranku kacau. Perasaanku berkecamuk tak tentu arah. Lalu aku teringat cerita dari beberapa kerebat aku, tentang Mama kandungku. Mama kandungku meninggal juga karena sakit. Mama kandungku mengidap Leukimia (Kanker Darah). Setelah segala usaha, tenaga dan biaya dikorbankan untuk kesembuhan Papa, tapi Tuhan berkehendak lain. Papa dijemput Malaikat maut. Waktu enggan memberi Papa kesempatan lebih lama lagi bersama kami, aku dan Mama tiriku. Waktu lebih memilih Papa dipeluk keabadian. Dan aku begitu terguncang menerima kenyataan ini. Namun anehnya, tak ada airmata yang keluar dari mataku. Saat itu aku berpikir aku harus tegar dan menerima semuanya yang telah terjadi. Beda dengan Lany, Kakak perempuanku itu menangis sekeras-kerasnya. Dia belum kuat menerima kenyataan ini. Ada rasa bersalah dalam hatinya karena ia tidak bisa merawat Papa. Sebenarnya Lany ingin menemani dan merawat Papa lebih lama lagi disaat-saat Papa dalam keadaan sakit.

Setelah menerima kabar dari aku, Lany telah berusaha meminta ijin untuk pulang ke Indonesia, namun atasannya di perusahaan tempat Lany bekerja, tidak memberikan ijin. Setelah penyakit Papa semakin parah dan kemungkinan untuk sembuh sangat kecil, barulah Lany diberikan ijin untuk pulang ke Indonesia. Dan benar, dua hari setelah kepulangan Lany ke Indonesia, Papa menghembuskan nafas terakhir. Papa pergi selama-lamanya. Hal inilah yang membuat Lany merasa bersalah dan menyesal. Lany menganggap dirinya telah menjadi anak yang durhaka dan tidak berbakti pada orang tua. Seakan-akan kepulangannya ke Indonesia hanya untuk mengantarkan jenazah Papa ke tempat peristirahatan terakhirnya. Aku bisa memaklumi perasaannya. Semua orang akan mengalami hal seperti itu, bila harus kehilangan orang yang kita cintai. Kehilangan pacarnya saja orang bisa menangis dan sedih, bukankah begitu?

Sejak Papa meninggal, tanggung jawabku semakin berat. Bila selama ini segala kebutuhan rumah tangga, Papa yang memenuhinya, kini akulah yang harus menanggungnya, termasuk kebutuhan Mama tiriku. Dan aku harus menjaga dan merawat Mama tiriku seperti yang telah aku janjikan di depan jenazah Papa. Sejak Papa masih hidup, aku sudah bekerja sebagai guru les privat untuk anak-anak Sekolah Dasar. Murid-muridku cukup lumayan banyak. Aku melakukan semua ini karena aku tidak ingin membebani Papa dan Mama tiriku. Uang dari hasil mengajar inilah yang kini kupakai untuk membiayai segala keperluanku dan Mama tiriku. Kasih sayang yang aku berikan pada Mama tiriku, tulus, setulus kasih sayangnya padaku. Dan sejak Papa meninggal , aku jarang keluar rumah berlama-lama, aku takut sesuatu terjadi dengan Mama tiriku. Aku bahagia bisa melakukan semua ini. Sungguh, aku bahagia! Aku telah menganggap Mama tiriku sebagai Mama kandungku, Mama yang melahirkan aku. Dalam hati, di malam-malam sunyi, aku sering berdoa untuk kesehatan Mama tiriku. Aku memohon pada Tuhan, agar Mama tiriku diberi umur yang panjang, agar aku dapat lebih lama lagi berbakti padanya. Aku ingin membalas segala kebaikan, kasih sayang, perhatiaan dan ketulusannya selama ini. Dan satu lagi, memanggilnya “MAMA”, panggilan yang tak pernah aku lakukan selama ini. Terima kasih, Ma, atas segala budi baikmu, perhatiaan dan kasih sayangmu untuk aku dan Lany. Sungguh, aku mencintai dan menyayangimu dengan tulus, seperti aku mencintai dan menyayangi Mama kandungku. Aku akan merawat dan menjagamu seperti aku menjaga jiwaku. Terima kasih untuk segala budi baikmu, perhatianmu dan kasih sayangmu untukku dan Lany.

******************

~ Sebuah kisah nyata~

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun