Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Saba Baduy, Pentas Pariwisata Bergengsi bagi Banten

28 April 2017   09:37 Diperbarui: 28 April 2017   18:00 2169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saba Baduy yang dirayakan tahun lalu (Foto, Liputan 6)

Saba Baduy, Pentas Pariwisata Bergengsi Bagi Banten

Boleh jadi tradisi tahunan masyarakat Baduy tahun ini menjadi acara bergengsi bagi Provinsi Banten di pentas Pariwisata. Mengapa disebut demikian? Ya, lantaran sekitar 2.000 lebih warga Suku Baduy dari Kabupaten Lebak, Banten, ini akan turun dari perbukitan melaksanakan ritual tahunannya, yang dikenal sebagai Saba Baduy.

Banten, sudah puluhan tahun, terkenal dengan kesenian Debus. Para orang tua sekarang pasti ingat jika menyebut debus akan menyebut pelaku atau pemain kesenian tersebut tidak mempan dibacok, digorok. Pemainnya mampu menggoreng telor di atas kepala.

Bahkan, saking terkenalnya ke seantaro jagat, kesenian ini sering mentas di beberapa negara jiran. Negara sahabat sering pula mengundang tim kesenian ini. Debus kadang menjadi delegasi kesenian Indonesia di luar negeri.

Itu dulu. Tetapi untuk era reformasi, tubuh kebal, tak mempan tembak dan bacok seolah sudah tak setenar dulu. Meski begitu, masih banyak orang mengamalkannya secara diam-diam ilmu kebal tersebut. Maklum, kriminalitas di masyarakat makin tinggi tentu ada pula orang perlu ilmu kebal untuk menjaga diri dan menolong orang lain.

Nah, sebagai upaya meningkatkan gairah wisatawan mengenal daerah ini, Pemda Provinsi Banten mengangkat budaya Saba Baduy, sebuah tradisi yang berasal dari daerah Selatan di Kabupaten Lebak.

Untuk tahun ini  acara tersebut tergolong besar. Bagi orang Banten disebut Saba Gede. Sebab, pesertanya 2.000 orang lebih dari suku Baduy. Baik dari Baduy Dalam maupun Baduy Luar.

Tiga orang Baduy bersilaturahim ke kantor Kemenang, Kamis malam. Mereka bermalam di kantor tersebut dan tidur tanpa alas. (Dokpri)
Tiga orang Baduy bersilaturahim ke kantor Kemenang, Kamis malam. Mereka bermalam di kantor tersebut dan tidur tanpa alas. (Dokpri)
Mulyana, seorang jurnalis setempat, menyebut Baduy Dalam masih memegang tradisi kuat. Cirinya, mengenakan pakaian putih dan selalu ke berbagai tempat tak menggunakan kendaraan seperti motor dan mobil. Lebih setia mengenakan baju putih, berjalan ke berbagai tempat tanpa alas kaki.

Sebaliknya, Baduy Luar sudah terkominasi tradisi masyarakat sekitar. Sudah mengenakan alas kaki dan pergi dengan menggunakan kendaraan dengan mengenakan pakaian warna hitam.

Menginap dan tidur di lantai bagi warga Baduy adalah hal biasa. Jalan kaki berjam-jam dengan jarak jauh bukan persoalan. Ini nyata sampai kini, tiga warga Baduy pada Kamis malam (27/4) menginap di kantor Kementerian Agama (Kemenag). Tujuannya, menjalin silaturahim.

“Saya kenal mereka ketika saya berkunjung ke kediamannya. Saya menjadi utusan Menteri (Agama), untuk menjajaki kemungkinan dapat berkunjung ke lokasi mereka. Tapi, Pak Menteri tak jadi pergi ke sana lantaran medannya sangat berat. Jalannya berbukit menuju ke tematnya,” kenang Kepala Biro Umum Kemenag, Syafrizal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun