Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyuarakan Toleransi Warga Solo Masuk Panggung Internasional

2 September 2016   14:43 Diperbarui: 23 September 2016   13:21 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid dan Gereja, dua rumah ibadah yang umatnya saling menyayangi di Solo (Dokrpi)

Suasana harmoni di tengah kemajemukan warga dengan segala sosial-budaya yang dimiliki warga Solo harus bersama-sama dijaga. Radikalisme harus diperangi, toleransi penting dipelihara dan terus disegarkan.

Pernyataan dari Drs. KH Muhammad Dian Nafi, Pengasuh Pondok Pesantren Al Muayyad, Windan, Pabelan, Kartosuro, Sukoharjo, itu hendaknya jangan dianggap enteng.

Kewaspadaan tetap ditingkatkan karena dinamika masyarakat dewasa ini demikian pesat. Pengaruh asing dengan "plus-minus" yang dibawanya bukan hal mustahil banyak berpengaruh terhadap pola pikir penduduknya.

Penting diingat, kerukunan jangan sampai dikesankan semu. Kerukunan harus menembus relung hati warga dari seluruh umat. Warga Solo juga penting diingatkan bahwa di daerah itu pernah sekurangnya mengalami 13 kali kerusuhan. Itu terjadi karena adanya tarik menarik kepentingan yang berujung pada kerugian, khususnya warga kota.

Foto bersama dengan pendeta Nunung (Dokpri)
Foto bersama dengan pendeta Nunung (Dokpri)
Solo kini sudah menjadi panggung internasional. Rasa aman dan nyaman harus terpelihara. Toleransi penting dijaga dengan didukung melalui pendidikan dan kesejahteraan yang baik. Dengan cara demikian, radikalisme bisa dihalau dari kota tersebut.

Mantan Wali Kota Solo Joko Widodo – kini Presiden RI - pernah memuji peran yang dijalankan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kota itu. Kerukunan umat beragama berjalan dengan baik.  Peran FKUB memang sangat penting dalam memberikan kontrol kepada masyarakat. Terutama dalam memelihara kerukunan dan toleransi.

Mengutip pernyatan Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Solo, Suharso, kerukunan yang tercipta ditekankan melalui proses natural. Jangan dipaksakan, namun harus muncul dari para tokoh masyarakat dan pemuka agama-agama. Pemerintah memposisikan sebagai sosok tut wuri handayani.

Untuk mencegah radikalisme di kalangan pondok pesantren di kota itu, penulis mendapat penjelasan dari KH Muhammad Dian Nafi. Secara singkat dapat digambarkan, sebagai berikut. Ada tiga strata atau lapisan. Pertama, santri diarahkan untuk pendidikan dan mampu mandiri, kedua santri mampu berdakwa di tengah masyarakat. Ketiga - ini yang perlu mendapat perhatian semua pihak - santri sebagai laskar.

Hal ini terkait kehadiran ISIS dan radikalisme yang menyedot perhatian besar bagi para pemangku kepentingan di kota tersebut.

Maklum, di Solo sudah dijumpai 9 titik bendera ISIS dikibarkan dan sudah diturunkan. Pelakunya kebanyakan dari luar kota, yang sengaja membuat "onar" dan menjadikan Solo sebagai "panggungnya". Di akar rumput, ada stigma bahwa radikalisme bernuansa agama kerap dikaitkan kehadiran Abu Bakar Ba'asyir bin Abu Bakar Abud, pendiri Pesantren Al-Mu'min di Nguriku, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Wawancara dengan takmir Masjid (Dokrpri)
Wawancara dengan takmir Masjid (Dokrpri)
Foto bareng dengan pengurus masjid (Dokpri)
Foto bareng dengan pengurus masjid (Dokpri)
Potret kerukunan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun