Mohon tunggu...
Edy Priyono
Edy Priyono Mohon Tunggu... profesional -

Pekerja peneliti, juga sebagai konsultan individual untuk berbagai lembaga. Senang menulis, suka membaca. Semua tulisan di blog ini mencerminkan pendapat pribadi, tidak mewakili institusi apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sedot Pulsa, Sedot Uang dan Sedot Tinja

13 November 2011   01:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:44 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_141938" align="aligncenter" width="500" caption="(Sumber: www.arantan.wordpress.com)"][/caption] Belum lama ini kita ribut-ribut urusan sedot pulsa. Beberapa penyedia layanan sms premium (content provider) diduga kong-kalikong dengan operator ponsel untuk mengeruk uang dari pemakai ponsel. Caranya macem-macem, tapi pada intinya bisa dikelompokkan menjadi beberapa: (1) Layanan otomatis --itu artinya juga bayar otomatis-- tanpa persetujuan pengguna ponsel, (2) Kesulitan penghentian (unreg) layanan tertentu, dan itu artinya konsumen tetap harus terus membayar meskipun sudah tak menginginkannya lagi, (3) Jebakan kepada pengguna ponsel untuk menggunakan layanan tertentu (tentu saja dengan membayar), padahal konsumen tidak tahu sama sekali tentang layanan itu, dan mencari informasi saja sudah dikenai tarif lumayan tinggi. Tapi kalau soal itu, rasanya kita-kita sudah mahfum lah. Yang saya tidak mengerti adalah mengapa pemerintah kelihatanya mbulet menanganinya. Muter-muter ke sana kemari, sebelum kemudian memutuskan menghentikan (untuk sementara) jasa layanan premium melalui ponsel. Kebijakan ini yang kemudian memicu protes beberapa kalangan yang merasa berbisnis dengan 'benar', khususnya para artis yang menjual lagu-lagunya melalui layanan RBT. Padahal kalau mau jujur, beberapa RBT dijual dengan 'paksa' kepada pengguna ponsel melalui 'layanan otomatis', mula-mulai gratis, terus ada 'perpanjangan otomatis' dan mesti dibayar. Menurut saya simpel saja. Para penyedia layanan itu kan tidak akan bisa beroperasi tanpa kerjasama dengan operator ponsel. Lagipula, kalau pulsa kita disedot, masuknya kan ke operator dulu, baru kemudian mereka bagi hasil dengan para content provider. Jadi, ngapain pemerintah pusing-pusing berhubungan dengan content provider yang jumlahnya banyak dan tidak selalu jelas keberadaannya? Akan lebih mudah dan efektif kalau pemerintah berurusan dengan operator ponsel, yang jumlahnya tidak banyak dan langsung di bawah kendali pemerintah. Pada prinsipnya, oprator ponsel boleh bekerjasama dengan content provider, asalkan tidak merugikan konsumen. Lebih spesifik lagi: Jangan jualan apa pun tanpa sepengetahuan atau dengan persetujuan konsumen. Kalau melanggar, mereka (operator) yang pertama kali 'dijitak'.. Urusan sedot-menyedot lain adalah sedot uang nasabah. Salah satu 'tokoh'-nya, Malinda Dee, sedang diadili. Pertanyaannya adalah: Penyedotan uang nasabah itu memang hanya kasus yang melibatkan Malinda Dee (dan Citibank sebagai bank-nya, meskipun bank itu membantah keterlibatannya secara institusi), ataukah ada 'Malinda-Malinda' dari bank-bank lain yang juga melakukannya? Entah lah.. Saya sendiri pernah merasa menjadi korban, atau setidaknya: nyaris menjadi korban. Saya punya rekening di Bank B**, sebuah bank pemerintah. Karena nilai tabungan saya tidak besar, tidak sulit untuk mengikuti perkembangan saldo saya, cukup dengan memperhatikan saldo akhir setiap selesai bertransaksi melalui ATM. Suatu ketika, saya kaget, karena merasa saldo saya berkurang tanpa saya merasa melakukan transaksi. Mau menghubungi bank bersangkutan tidak bisa, karena itu hari libur (Sabtu). Paling cepat saya baru bisa menghubungi bank dua hari kemudian (Senin). Bisa sih menghubungi call center, tapi saya yakin komplain saya hanya akan ditampung, jadi saya memutuskan untuk menunggu hingga Senin. Hari Minggu malam iseng-iseng saya ke ATM untuk cek saldo. Ajaib, uang yang tadinya 'hilang' itu telah kembali! Saldo tabungan saya kembali ke posisi sebelum hari Sabtu. Jadi kelihatannya uang saya bukan diambil, tapi hanya 'dipinjam' (tanpa sepengetahuan saya, tentu saja) untuk 2 hari, entah oleh siapa dan untuk apa. Ketika menghubungi bank pada hari Senin dan menceritakan kejadian yang saya alami, petugas  menjawab dengan enteng:"Yang penting nasabah tidak dirugikan kan, Pak..". Maksudnya pasti "toh uangnya balik lagi". Padahal meskipun uang balik lagi, saya tetap merasa dirugikan dan kehilangan rasa aman atas uang saya di bank yang jumlahnya tidak seberapa itu.. Terakhir soal sedot tinja. Saya selalu penasaran, pertama, siapa sebenarnya penyedia layanan sedot tinja itu, pemerintah (daerah) atau swasta? Ternyata ada yang murni swasta, ada pula yang bekerjasama dengan pemda. Untuk yang bekerjasama dengan pemda, mobilnya milik pemda, penyedot tinja membayar 'setoran' ke pemda. Sampai sekarang saya tidak pernah tahu, berapa bagian operator penyedot dan berapa bagian yang masuk ke pemda. Kedua, ke mana mereka membuang tinja yang telah disedot dari rumah-rumah? Resminya, setiap pemda punya Instalasi Pengolahan Limbah Tinja (IPLT) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Untuk membuang tinja (hasil sedotan) ke sana, sopir mobil tinja mesti bayar. Nilainya bervariasi, sekitar Rp 25 ribu s/d Rp 50 ribu. Celakanya, tidak jarang sopir mobil tinja tidak mau bayar, karena tidak mau kehilangan sebagian pendapatannya. Tentu saja mereka jadi tidak bisa membuang tinja ke IPLT. Terus, dibuang ke mana? Ini dia... Ternyata tidak jarang mereka membuangnya ke kali.. Sebuah berita di Tempo Interaktif tanggal 28/9/2011 menyatakan bahwa beberapa mobil tinja di Bekasi membuang 'muatan'-nya ke Kali Bekasi dan Kali Cileungsi.. Padahal, kedua kali itu menjadi sumber air bagi penduduk, khususnya yang hidup di bantaran kali... Saya khawatir, itu tidak hanya terjadi di Bekasi.. Lalu, apa hubungannya, sedot pulsa, sedot uang dan sedot tinja? Tiga-tiganya sama-sama 'jorok'... Semoga bermanfaat..

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun