Mohon tunggu...
Dwi Rahmadj Setya Budi
Dwi Rahmadj Setya Budi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku Suara Rakyat, Suara Tuhan; Mengapa Gerakan Protes Sosial Sedunia Marak?

Jangan risih jika berbeda, tapi waspadalah jika semua terlihat sama.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beragama Tanpa Menjadikan Tuhan Tahanan Politik

30 Juni 2019   03:38 Diperbarui: 30 Juni 2019   03:44 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beragama bukan saja tentang beribadah. Akan tetapi, juga tentang bagaimana menjaga harmonisasi dalam pergaulan bermasyarakat serta kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah konsepsi agama yang saya dapatkan dari pengajaran guru-guru di kampung saya, Pariaman, Sumatera Barat. Membangun hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa dan membangun hubungan dengan sesama manusia, kata para Tuanku di kampung saya.

Namun, dewasa ini beragama seolah menjadi sesuatu yang menyeramkan, khususnya bagi saya pribadi. Hal itu terjadi ketika agama kerap kali dieksploitasi ke ranah politik. Tak jarang, gesekan-gesekan lintas agama bahkan sesama agama pun kerap terjadi di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Beberapa kelompok tertentu, seolah-olah menciptakan situasi dimana Tuhan menjadi tahanan politik mereka. Ambisi politik kelompok tertentu tersebut selalu dilekatkan atas nama Tuhan. Tak jarang, pihak yang berbeda pandangan dengan kelompok yang mengatasnamakan Tuhan tersebut bebas menakar keimanan seseorang.

Lihat saja dewasa ini, kita familiar dengan berita seseorang yang ditolak jenazahnya untuk diperibadatkan karena perbedaan pandangan politik. Ada juga berita di mana sebuah makam harus dibongkar karena ahli waris tidak mau mengikuti pilihan politik sang pemilik tanah. Bahkan, dalam urusan memilih pemimpin dalam bernegara pun hari ini kita didikte dengan pilihan kelompok yang merasa paling mengerti kehendak Tuhan.

Lebih lebih parah lagi, urusan peribadatan yang seharusnya sakral dan private juga diseret-seret ke ranah publik guna memobilisasi massa demi tujuan politik. Peribadatan yang seharusnya menjadi permunajatan hamba dan penciptanya, berubah menjadi tuntutan-tuntutan politik kepada pihak tertentu. Inilah ironi beragama yang terjadi di negeri +62.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan keyakinan seseorang dalam berpolitik yang didasarkan atas dasar agama. Apalagi konstitusi kita menjamin hak warga negara untuk memeluk agama, beribadah, kebebasan meyakini kepercayaan, dan menyatakan pikiran serta sikap sesuai dengan undang-undang dasar (UUD) 1945 Pasal 28E. Akan tetapi, yang salah itu adalah ketika ada pihak mengatasnamakan otoritas penuh keagamaan ikut campur urusan politik dengan menunjuk seseorang menjadi juru selamat.

Inilah yang menjadi bahaya. Dengan otoritas atas nama Tuhan menunjuk seseorang menjadi pemimpin akhirnya melahirkan pengkultusan. Sosok yang ditunjuk sebagai pemimpin itu dianggap sebagai manusia paripurna seperti nabi yang layak dipuja dan dibela, sementara itu yang berbeda pilihan seolah wajib dihina dan dinista. 

Dengan kondisi pengkultusan yang demikian, tak jarang perdebatan yang tak berkeseduhan, caci maki, dan bahkan persekusi yang tidak pernah diajarkan oleh agama sekalipun terjadi atas nama membela sang juru selamat.

Saya bukanlah seseorang yang paling paham agama. Tapi hemat saya, tidak selayaknya menjadikan Tuhan sebagai tahanan demi ambisi politik kelompok tertentu dan menjadikan seseorang sebagai manusia paripurna yang dipuja dengan kalap mata. Biarkanlah Tuhan tetap menjadi pengadil, penimbang salah dan benar segala sesuatunya tanpa ada intervensi manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun