Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Empat Fotografer Menafsir Borobudur

30 Agustus 2016   08:27 Diperbarui: 16 September 2016   06:40 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Twitter @arbainrambey

Dalam rangka memperingati 25 tahun penetapan Candi Borobudur dan Candi Prambanan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO, Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Kemdikbud, menyelenggarakan pameran foto bertema "Mencintai Warisan Dunia Melalui Fotografi”. Sesuai tahun peringatan, sebanyak 25 foto dipajang di Plaza Insan Berprestasi, Lantai 1 Gedung A, Kemdikbud, Jakarta. Pameran dibuka untuk umum selama dua hari, 29 dan 30 Agustus 2016, pukul 09.00-16.00 WIB.

Saya berkesempatan mengapresiasi pameran pada hari pertama. Berbagai foto Candi Borobudur ternyata lebih banyak terpajang daripada Candi Prambanan. Mulai dari penampakan awal Candi Borobudur, reruntuhan, pemugaran, peledakan, hingga terkena debu Merapi. Rangkaian ini berkesinambungan sehingga kita tahu perjalanan sejarah, termasuk derita, candi terbesar di Nusantara ini.

Dari foto-foto itu betapa tergambar Borobudur pernah menderita sengsara yang luar biasa. Reruntuhan batu dan bagian candi yang remuk menandakan  Candi Borobudur pernah tidak terawat selama beberapa abad. Candi ini ditemukan pada abad ke-18. Pada awal abad ke-19, candi ini pernah dipugar oleh Th. Van Erp. Pemugaran sistematis pertama pasca kemerdekaan dilakukan oleh UNESCO pada 1974. Pada 1985 candi ini diledakkan oleh oknum tak bertanggung jawab. Beberapa bagian candi rusak. Itu yang saya tahu dan ingat.

Ukiran kayu Candi Borobudur
Ukiran kayu Candi Borobudur
Di ruang pameran
Di ruang pameran
Bersamaan dengan pameran foto, pada hari pertama itu diselenggarakan temu wicara oleh empat fotografer, yakni Suparno, Arbain Rambey, Oscar Motuloh, dan Feri Latief. Suparno pertama kali bergerak di bidang teknik konservasi karena ia bekerja di proyek pemugaran Candi Borobudur. Setelah itu ia beralih ke fotografi. Banyak bidikannya tentang Candi Borobudur menjadi dokumentasi berharga sampai sekarang. Bahkan Suparno merupakan referensi hidup untuk para fotografer amatir dan profesional untuk membidik Candi Borobudur.

Sebagai wartawan Kompas, Arbain Rambey berbicara tentang fotografi seni dan fotografi jurnalistik. Bidikannya tentang Candi Borobudur pernah menjadi headline di harian Kompas. Bahkan karyanya sering menghiasi kalender beberapa perusahaan swasta.

Arbain dalam presentasinya memperlihatkan sudut dan momen pengambilan Borobudur. Ada yang diambil dari bukit di dekatnya, ada dari tempat penginapan, dan ada pula dari restoran. Semuanya memang memiliki keunikan sendiri-sendiri. Arbain juga menguraikan foto yang 'biasa' dan foto yang 'tidak biasa'. Dengan kata lain, foto jurnalistik dan foto seni untuk dilombakan. Keduanya memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing.  

Dari kiri Arbain Rambey, Suparno, dan Oscar Motuloh
Dari kiri Arbain Rambey, Suparno, dan Oscar Motuloh
Oscar Motuloh, fotografer dari kantor berita Antara, juga sering membidik objek-objek purbakala. Beberapa candi di Jawa dan luar Jawa sudah ia hafal. Bukan hanya objek untuk buku yang ia foto. Ia juga membidik foto-foto kepurbakalaan yang bersinggungan dengan masyarakat. Misalnya jemuran pakaian dengan latar kepurbakalaan. Jelas antara kepurbakalaan dan masyarakat harus ada “saling pengertian”.

Feri Latief sering menulis di majalah National Geographic Indonesia. Ia juga sering membantu instansi arkeologi. Dalam kesempatan itu, ia bercerita dan memutarkan video pendek tentang kegiatannya mengambil gambar lukisan cadas di berbagai gua di Kalimantan dan Indonesia Timur. Sebuah petualangan yang mengesankan karena harus terengah-engah mendaki bukit, berperahu di sungai-sungai eksotik, dan makan mie hampir saban hari.

Feri Latief
Feri Latief
Pemakaian drone, lensa tele, dan kamera HP ikut dibicarakan dalam temu wicara tersebut. Beberapa pertanyaan dari masyarakat awam menandakan fotografi di bidang kepurbakalaan memang menarik. Sayang berhubung waktu sangat terbatas, tanya jawab berlangsung singkat. Namun di luar forum resmi, masih disambung diskusi informal. Ketika empat fotografer bicara Borobudur memang ada sisi lain. Saya sendiri meninggalkan ruangan sekitar pukul 18.00 WIB***  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun