Mohon tunggu...
Diyah Kalyna
Diyah Kalyna Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis itu berbicara kepada alam. Menceritakan keindahannya dan mengungkapkan rahasianya. Aku, kamu, menjadi kita.

Berasal dari Blitar, Jatim, pendidikan S1 di kota Solo, Jateng, dan sekarang domisili di Negara Brunei Darussalam. Sejak tahun 2015 bergabung dalam mediasi dan penanganan masalah tenaga kerja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lautan Terakhirmu

4 Oktober 2019   22:58 Diperbarui: 11 Oktober 2019   10:24 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

**

Raja siang tengah menggigit bumi. Panas membara menggagahi tanah jawa. Musim hujan baru akan turun beberapa bulan lagi. Seorang perempuan sepuh, berumur sekitar lima puluhan, tidak peduli meskipun peluh membasahi kain yang menutupi tubuhnya. Dia terus bersemangat menjemur jagung hasil panen yang dipetiknya beberapa hari yang lalu.

Dering ponsel milik Rara bersuara sejak tadi. Sudah 10 menit berlalu belum diangkat. Bu Siti yang mendengar deringan itu dari samping rumah, tempatnya menjemur jagung, menjadi penasaran. Dia masuk rumah melalui pintu dapur, lalu masuk ke kamar Rara yang hanya berdinding bambu.

"Oalah! Anak wedok kecapekan. Balik sekolah langsung merem." Gumam Bu Siti lirih, ia khawatir Anak gadisnya terbangun karena kehadirannya. Kemudian mencari ponsel, meskipun deringan panggilan sudah berhenti.

Dering ponsel berbunyi lagi. Serta merta bu Siti menemukan ponsel di meja dekat lampu belajar Rara. Setelah menekan tombol answer, terdengar suara dari seberang telepon yang berbicara dengan sangat sopan, tetapi berita yang sampai ke indera pendengar bu Siti, membuat jantungnya seperti ingin berhenti.

"Selamat Siang, Bu Siti Aminah."
"Selamat Siang, Pak."
"Perkenalkan Bu. Saya petugas dari Perwakilan RI di luar Negeri. Nama saya Rony. Apakah benar, saya berbicara dengan ibu Siti Aminah. Ibu dari Pekerja Indonesia bernama Ahmad Ihsan?"
"Iya, Pak. Benar. Saya ibunya. Ada apa Pak? Menghubungi saya."
"Maaf Bu saya mengabarkan berita duka kepada Bu Siti Aminah, tentang putra Ibu bernama Ahmad Ihsan. Namun sebelum itu, harapan kami, semoga Ibu bersabar dengan berita ini."
"Baik silahkan."
 **
Dada Bu Siti bergemuruh tiada henti. Menebak-nebak dalam diam. Keresahan yang hadir dari semalam, kini semakin kuat. Ya, Allah semoga prasangka ini salah. Semoga kamu baik-baik saja di sana, wahai anakku Ihsan.

Semalam, Bu Siti bermimpi bertemu dengan Ihsan, anak sulungnya. Mereka duduk santai di teras rumah, di atas amben. Tersenyum manis saat bersimpuh di kakinya, memohon ampun atas  segala kesalahan yang telah dilakukannya. Yaa, seperti saat suasana hari raya Idul Fitri, yang dirayakan bersama anaknya dua tahun yang lalu.

"Bu, nyuwun pangapuro sedoyo kalepatan kulo. Insyaallah ini terakhir kali kulo merantau hingga ke luar negeri."
"Iyo, Cah lanangku, Ihsan. Ibumu ngrestui kabeh dalan sing dipilih. Semoga berhasil."
"Aku tetap bermimpi Bu, semoga Dek Rara sekolah sampai kuliah. Namun jika anganku tak sampai, sampaikan maafku untuk Adikku tersayang Rara."
"Iyo Nak. Yo wes ati-ati kalau kerja ya."
 **
Ihsan adalah anak sulung dari dua bersaudara. Dia memutuskan pergi merantau ke luar negeri setelah umurnya genap 24 tahun.

Setelah Ayahnya meninggal dunia karena sakit, Ihsan memutuskan berhenti sekolah menengah. Dia bekerja membantu ibunya menjadi buruh tani di kampungnya.

Ihsan mempunyai keinginan untuk menyekolahkan adiknya hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Berbekal niat yang kuat, dia memutuskan untuk bekerja ke luar negeri, setelah umurnya memenuhi persyaratan menjadi Pekerja Migran Indonesia.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tak terasa dua bulan lagi, Ihsan sudah menghabiskan kontrak kerjanya selama dua tahun. Tapi tak disangka sore itu adalah lautan terakhir yang harus Ihsan singgahi di dunia ini.
**
"Begini Bu. Saudara Ihsan di nyatakan telah hilang di lautan, saat bekerja. Bersama denga 11 orang rekan kerjanya. Berangkat tadi malam sekitar pukul 10.00 malam, dan seharusnya sekitar waktu subuh, sudah kembali ke darat. Tetapi hingga siang ini, keberadaan mereka belum bisa ditemukan. Pihak keselamatan sudah bersatu padu untuk proses pencarian kapal. Berita sementara, kapal  nelayan tersebut pecah tersapu ombak."
"Jadi anak saya belum ditemukan Pak?"
"Iya betul Bu. Ibu bersabar ya, mudah-mudahan Sdr. Ihsan bisa segera ditemukan. Kami akan terus menghubungi Ibu, pada kesempatan pertama, jika ada perkembangan berita selanjutnya."
"Terima kasih Pak."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun