Mohon tunggu...
Dina Mardiana
Dina Mardiana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan penerjemah, saat ini tinggal di Prancis untuk bekerja

Suka menulis dan nonton film, main piano dan biola

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Balet: Antara Komitmen dan Passion untuk Menari

4 Februari 2017   09:57 Diperbarui: 4 Februari 2017   10:08 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pembicara talkshow Dance, The Extraordinary Life of Commitment and Passion: Mas Hadi (MC & dancer), Juliana Tanjo (dancer & event management), Adiarys Almeida (international Cuban dancer), Gigi (dancer & pendiri Gigi Art of Dance). Foto: dokpri

Pencinta dunia balet, terutama balet klasik, pasti sudah nggak asing dengan tarian Swan Lake, Coppelia, atau Carmen. Para pencinta balet, baik yang memang bisa menari (disebut balerina), atau pengamat balet seperti saya, pastinya juga mengenal nama-nama teater dan akademi balet terkemuka di dunia seperti Bolshoi dari Rusia, The Royal Ballet dari Inggris, atau Paris Opera Ballet dari Prancis. Dari Amerika juga tidak ketinggalan ada New York City Ballet.

Di Indonesia, kita mengenal nama-nama sekolah balet terkemuka seperti Namarina yang menelurkan Yetty Maika dan Ai Syarief sebagai dancer dan koreografer professional, dan Sumber Cipta milik Farida Feisol yang pernah mengenyam pendidikan formal balet di Rusia. Sayangnya, balet di Indonesia hingga kini masih belum terlalu akrab di kalangan masyarakat, karena masih dianggap tarian kelas menengah ke atas.

Sebelum talkshow dimulai, penonton disuguhkan tarian semi tradisional-kontemporer yang dibawakan oleh para penari dari Gigi Art of Dance. (foto: dokpri)
Sebelum talkshow dimulai, penonton disuguhkan tarian semi tradisional-kontemporer yang dibawakan oleh para penari dari Gigi Art of Dance. (foto: dokpri)
Setidaknya itulah yang saya tangkap dari hasil talkshow bertajuk Dance, The Extraordinary Life of Commitment and Passion di AtAmerica Pacific Place, hari Kamis 2 Februari 2017 yang lalu. Bincang-bincang santai ini menghadirkan tiga orang tokoh yang berkecimpung dalam dunia tari profesional, yaitu Juliana Tanjo dari Indonesia Dance of Society (IDS), Gianti Giadi dari Gigi Art of Dance, dan pebalet internasional Adiarys Almeida.  

Berhubung tari balet dan tari kontemporer masih jarang diminati masyarakat Indonesia, maka ibu Juliana yang penari sekaligus pengusaha di bidang event management berpendapat bahwa Indonesia perlu menyelenggarakan lebih banyak lagi event yang berhubungan dengan seni tari. Selain itu, dengan adanya lebih banyak event maka penari pun lebih termotivasi untuk mengembangkan kemampuannya. Untuk itu, berbagai program setiap tahunnya dicanangkan oleh IDS seperti Dance Prix Competition Indonesia, talk-show, master class, dan acara meet and greet. Termasuk event yang akan digelar Sabtu 4 Februari malam ini, yaitu International Ballet Star Gala di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Pementasan balet internasional yang akan digelar Sabtu 4 Februari 2017 malam ini di Taman Ismail Marzuki Jakarta. (foto sumber: https://www.kiostix.com/events/details/international-ballet-star-gala.tix)
Pementasan balet internasional yang akan digelar Sabtu 4 Februari 2017 malam ini di Taman Ismail Marzuki Jakarta. (foto sumber: https://www.kiostix.com/events/details/international-ballet-star-gala.tix)
Hambatan yang dialami oleh ibu Juliana dan timnya dalam menjalankan program-program tersebut biasanya adalah masalah pendanaan, yang untungnya kalau untuk urusan balet, karena ia merupakan tarian internasional, maka biasanya mendapat dukungan dari kedutaan-kedutaan besar. Kendala lainnya adalah mengedukasi publik mengenai eksistensi tari balet itu sendiri di kalangan masyarakat. Maka dari itu, di setiap kompetisi tari nasional yang menghadirkan para juri dari luar negeri, para pemenangnya akan mendapatkan beasiswa ke luar negeri juga untuk mengikuti dance summer school. Siapa yang nggak kepingin sih belajar ke luar negeri gratis dengan bidang ilmu yang sesuai passion dan belum ada beasiswanya di Indonesia?

Pembicara lainnya, Gianti Giadi yang akrab disapa Mbak Gigi, dikenal sebagai koreografer, guru tari, dan pemilik sekolah tari Gigi Art of Dance yang berdiri sejak tahun 2009. Sebelumnya Mbak Gigi pernah bekerja sebagai penari profesional selama dua belas tahun di Singapura, dan pernah diberikan kepercayaan untuk mengajar kelas tari anak-anak down syndrome.  Oleh karena itu, motto yang dipegangnya untuk sekolah tari miliknya di Indonesia adalah “open for everything, no limits”. Di sekolah tarinya kita bisa belajar semua jenis tarian, mulai balet, hiphop, jazz kontemporer, tarian a la panggung Broadway, hingga tari-tarian daerah.


Yang uniknya lagi, sekolah tari Gigi Art of Dance terbuka untuk semua umur, bahkan untuk yang usia kepala tiga ke atas seperti saya, ha ha ha. Suwer, saya iseng bertanya kepada Mbak Gigi saat diskusi, bagi saya yang pernah belajar tari balet hanya sebentar, lalu ingin melanjutkan lagi setelah lama jeda, apakah masih bisa? Dengan lugas Mbak Gigi menjawab, “Tidak ada kata terlambat untuk menari.” Bahkan, menurut ceritanya, banyak ibu-ibu yang sudah punya anak atau yang usianya sudah tidak muda lagi belajar tari balet di sekolahnya. Pesan dari Mbak Gigi bagi para penari, bahwa setiap penari harus jujur pada dirinya sendiri sehingga punya gaya menari tersendiri yang merupakan signature style sang penari. Menurut saya juga orisinalitas dalam dunia kreatif itu memang penting, apa pun jenis kreativitas yang kita tekuni.

Sang penari internasional, Adiarys Almeida juga tidak ketinggalan berbagi cerita soal pengalaman hidupnya menari. Penari asal Kuba yang mempelajari tari balet sejak usia enam tahun ini pernah mengalami cedera berat pada tahun 2008 yang menyebabkan enam luka fraktur pada bagian lutut dan kaki. Saat itu, Adiarys yang telah mengabdikan hidupnya untuk dunia seni tari sempat berpikir, apakah karirnya akan berakhir sampai di situ? Untungnya Adiarys yang cantik dan murah senyum ini juga hobi menggambar dan mendisain, sehingga ia mengajak teman masa kecilnya untuk mendirikan toko onlineyang menjual kostum untuk kebutuhan panggung, termasuk kostum tari. Ia memulai bisnisnya itu sejak tahun 2013 dengan nama dagang Adi Dancewear. Kompasianer bisa menjenguk website tokonya di www.adidancewear.com.

Lini toko pakaian online yang menjual kostum menari, dikelola oleh Adiarys Almeida dan sahabat masa kecilnya. (foto sumber: www.adidancewear.com)
Lini toko pakaian online yang menjual kostum menari, dikelola oleh Adiarys Almeida dan sahabat masa kecilnya. (foto sumber: www.adidancewear.com)
Dari penuturan Adiarys, saya juga baru tahu ternyata masyarakat Kuba sangat akrab dengan dunia tari-menari, terutama balet. Saya pikir tadinya tarian khas rakyat Amerika Latin saja macam salsa atau zumba. Bahkan saya juga baru ngeh bahwa Kuba merupakan salah satu dari negara-negara yang dikenal sebagai pencetak penari balet terkemuka. Pemerintah Kuba sendiri pun giat mempromosikan dan mengirim para penarinya ke Prancis, Italia, Rusia untuk mempelajari tari balet di sana, lalu kembali ke Kuba untuk menciptakan metode tari balet sendiri. Selain itu, pemerintah Kuba memberikan sekolah gratis bagi masyarakatnya untuk belajar balet, serta mensubsidi setiap pertunjukan tari yang digelar oleh warganya. Keren banget, yah! Di tengah-tengah gejolak politik dan keadaan ekonomi negara itu yang belum stabil, pemerintahnya masih peduli dengan dunia seni kreatif terutama dunia tari.

Adiarys juga akan ikut menari dalam International Ballet Star Gala pada hari Sabtu malam nanti. Jadi, buat Kompasianer yang beruntung terpilih untuk menyaksikan pertunjukan berkelas internasional ini, jangan sia-siakan yah ;). ***

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun