Penulis puasa menulis hampir 3 tahun, usai pemilihan presiden penulis mantap tidak menulis dikompasiana ini maupun saluran lainnya, pasca perbedaan penghitungan hasil quick count pemilu antar media televisi swasta. Lewat tulisan terakhir dalam link ini: Link 1, penulis mengakhirinya kemudian mengawali kembali melalui tulisan ini: Link 2.
Puasa menulis bukan berarti puasa membaca. Sebaliknya, membiasakan menyimak konsep pemikiran orang lain lewat karya tulisnya dengan tanpa tergesa-gesa membantah atau menyetujui pemikiran dibalik sebuah pesan. Yah, kita sebaiknya membiasakan meresapi makna pesan yang ingin disampaikan orang lain agar tidak gampang terprovokasi baik melalui hujatan atau pujian.
Lantas, mengapa topik rokok menjadi bahan tulisan, edannya kembali kedunia tulis menulis mengangkat topik Valak, bukan yang lain seperti hiruk pikuk masalah Pilkada Jakarta yang tiap hari diulas ditelevisi. Maklum, televisinya kan milik swasta bukan televisi nasional kendati jangkauannya mencakup seluruh Indonesia.
Sederhana, Ahok itu masalah lokal masyarakat Jakarta bukan masalah nasional bagi “kami” yang hidup diluar pulau Jawa. Namun sedikit banyaknya menjadi perhatian, pasalnya Jakarta merupakan barometer politik nasional. Iya, PDI-P akan rela kalau Ahok memilih calon wakil gubernur Jakarta dari kader mereka. Soalnya saat opini publik menggiring Jokowi berpasangan dengan Ahok dalam bursa Pilpres, otomatis sosok kader PDI-P sebagai wakil gubernur menjadi gubernur. Anda pun tidak rela bukan jika menjadi Ibu Megawati.
Nah, saat ini karakter Valak kian bertambah banyak. Santun tapi dibelakang menyalak. Sementara rokok menyangkut hajat hidup orang banyak. Sama seperti halnya anda betah berlama-lama berkomunikasi melalui media sosial dan menempatkannya sebagai kebutuhan. Rokok juga kebutuhan pokok. Kedudukannya boleh dbilang sederajat dengan lipstick, parfum, deodorant, softek, cermin, sisir, pencukur bulu bagi perempuan.
Sama halnya seperti anda bicara bahaya radiasi pancaran cahaya handphone terhadap mata, pun demikian resiko merokok menyebabkan kanker paru-paru seperti penjelasan aktivis penggiat anti rokok. Namun satu hal yang membuat derajat rokok setingkat lebih tinggi sebagai kebutuhan dibanding kebutuhan harga gas nasional, rokok sudah menemani para patriot dinegeri ini melawan penjajah.
Menemani dinginnya malam serta serangan serangga dihutan belantara, juga nyamuk sungai saat bergerilya. Apa buktinya? Kakek saya seorang veteran juga perokok dan wafat pada usia seratus tahun lebih bahkan tidak pikun juga tidak karena penyakit akibat merokok. Bung Karno juga merokok. Soeharto merokok. Kiyai dikampung saya juga merokok. Selamat HUT Kemerdekaan RI ke-71.
Satu penyesalan saya, mengapa budaya masyarakat didaerah kami menanam karet, sawit, bukan tembakau, jika akhirnya harga rokok bakal meroket. Iya, sepanjang pemerintahan presiden Jokowi dan Yusuf Kalla, harga karet perkilo Cuma 5 ribu perak. Bagi warga setempat, harga segitu menghasilkan pendapatan 75 ribu perminggu dikaliman 4 minggu.
Miskin? Tidak, saudara-saudara. Indeks ekonomi kita menunjukkan penguatan. Begitulah jawaban pemerintah yang dibacakan para penyiar televisi. Dengan penghasilan segitu harus disisihkan buat uang jajan anak saat full day school (apabila diberlakukan). Mau bagaimana lagi? Mau teriak kemana? Berharap dukungan netizen? Mana ada zaman sekarang netizen mendukung suara-suara anti pemerintahan, maksudnya terhadap pemerintahan Jokowi. Ditempat kami, satu kelas sekolah dasar bisa diisi 1 orang siswa. Sendirian sampai sore. Siapa yang menemaninya?. Nyamuk!
Wah, ulasan soal rokok tampaknya melebar. Oke, kembali kerumusan masalah.
Diwarung pojok, perbincangan bersama teman-teman makin menjadi-jadi. Hingga salah satu teman nyeletuk, nanti katanya para aktivis angka perokok bakal turun, bro. anak-anak tidak sanggup beli rokok karena bapak-bapaknya berhemat. Tapi angka pemabuk dinegara tercinta ini bakal meningkat. Loh kok bisa?