Mohon tunggu...
dian equanti
dian equanti Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar Geografi

Menggemari isu Lingkungan, dan Kependudukan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cegah Konten Negatif Buku Teks, Bagaimana Jika Terlanjur Membaca?

27 Februari 2017   13:29 Diperbarui: 27 Februari 2017   13:38 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sangat sulit membayangkan sekolah tanpa buku, bahkan sekolah-sekolah nonformal sekali pun tetap memakai buku sebagai acuan materipembelajaran yang disampaikan. Buku teks merupakan sumber utama bagi guru dan pesertadidik dalam memperoleh materi sesuai dengan kurikulum pada masing-masingtingkat pendidikan, mulai dari SD hingga SMA. Namun bagaimana jika muatan dalambuku-buku teks pelajaran tersebut justru berisi hal-hal negatif? 

Bukan mengisi kognisi siswa dengan ilmu yang bermanfaat, danmenanamkan budi pekerti, malah memperkenalkan hal-hal yang belum mampu mereka cerna, misalnya muatan pornografi, kecurigaan pada pemeluk agama yang berbeda dan penyakit sosial masyarakat. Bagaimana penyusunan buku teks yang beredar di Indonesia? Bagaimana standar penyusunannya? Siapa yang bertanggungjawab hingga buku-buku tersebut sampai ke tangan siswa? Apakah sekolah kecolongan, luput mencermati terlebih dahulu isi buku sebelum dipakai oleh guru?

Berdasarkan UU No 32 Tahun 2013, Buku Teks Pelajaran merupakan sumber pembelajaran utama untuk mencapai Kompetensi Dasar dan Kompetensi Inti. Puskurbuk menyebutkan standar mutu buku teks yang dinilai pada empat kriteria, yaitu kelayakan isi/materi, kelayakan penyajian, kelayakan bahasa, dan kelayakan grafika. Jika buku teks dinilai wajib memenuhi standar layak, mengapa beberapatahun lalu dijumpai kasus konten pornografi dalam buku pelajaran SD? 

Sebelum terburu menyalahkan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap isi buku pelajaran, kita harus mengetahui bahwa buku teks pelajaran yang beredar di Indonesia berasal dari dua jalur, yakni pemerintah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan/Kemendikbud) dan penerbit swasta. Urusan buku teks pelajaran dilakukan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk).

Puskurbuk inilah yang melakukan peninjauan penyusunan buku teks, sejak dari seleksi kontributor naskah, hingga mencari tim penilai untuk verifikasi buku. Naskah yang telah disusun, selanjutnya dinilai oleh Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) bertindak sebagai administrator layak tidak buku tersebut digunakan. 

Penulis buku teks pelajaran dapat berasal dari berbagai kalangan. Artinya tidak hanya profesi pendidik (guru) yang bisa menulis buku teks, akademisi (dosen), atau penulis melalui penerbit swasta dapat menyerahkan naskahnya. Untuk penerbit swasta, verifikasi buku teks hanya dilakukan setahun sekali. Di tengah persaingan antarpenerbit, keterbatasan ini menjadi celah beredarnya buku-buku teks pelajaran yang tidak diverfikasi. 

Tidak dengan maksud mengatakan bahwa semua buku yang tidak melalui tahap standardisasi BNSP adalah tidak layak. Pengawasan mutu buku teks mesti menjadi perhatian semua pihak yang peduli dengan pendidikan. Sekolah wajib mencermati buku teks pelajaran sebelum digunakan, demikian pula orang tua yang turut memperhatikan apa yang dibaca anak-anak mereka. 

Penggunaan buku teks tidak bisa diseragamkan di seluruh sekolah. Mengingat konten buku masih bersifat top-down sehingga kurang kontekstual di berbagai kondisi sekolah. 

Selain itu pengarusutamaan pendidikan yang demokratis membuat ada sekolah yang menerapkan kebebasan siswa untuk memilih buku teks dari berbagai penerbit, meskipun tetap memakai satu buku utama. Di satu sisi perbedaan penyajian materi dari buku yang beragam akan memancing diskusi saat pembelajaran. Di sisi lain akan membuka peluang siswa memakai buku yang mengandung isi kurang layak. 

Jika anak terlanjur membaca sesuatu yang kurang pantas, menurut saya tidak bijaksana jika orang tua atau guru menunjukkan sikap panik dan menarik paksa buku tersebut. Ini justru menimbulkan rasa penasaran yang besar,sementara bertanya pada orang tua atau guru, mereka merasa segan karena takut ditolak, atau malah dimarahi.

Bagi Anda yang terbiasa membaca buku berbagai genre, sulit diterima jika suatu buku dilarang hanya karena konten buku tersebut tidak sesuai dengan norma yang berlaku di lingkungan sosial kita. Ibaratnya seperti ini, adalah generalisasi yang kasar jika mengatakan membaca novel thriller tentang pembunuhan berantai atau kisah kriminal dianggap memberi pengaruh buruk pada perilaku si pembaca. Oleh karena itu, menurut saya kedekatan orang tua-anak adalah hal yang penting. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun