"Tuhan menciptakan Timor untuk kayu cendana, Maluku untuk cengkeh dan Banda untuk Pala" (Tome Pires)
Nusantara sejak dulu termasyur sebagai daerah penghasil rempah-rempah. Jalur rempah-rempah ini dulu dianggap misterius oleh para pedagang Eropa karena disembunyikan oleh para pedagang China dan Arab dengan berbagai mitos. Hal ini dikarenakan rempah-rempah pada masa itu sangat berharga. Salah satu jenis rempah-rempah yang banyak diburu adalah pala. Segenggam pala masa itu lebih bernilai daripada segenggam emas. Inilah yang membuat berbagai negara Eropa berlomba-lomba meluncurkan ekspedisi penjelajahan samudera, untuk menguasai wilayah penghasil pala nomor satu di dunia, Kepulauan Banda.
Kepulauan Banda terdiri atas sebelas pulau, dengan Banda Besar sebagai pulau terbesarnya. Kawasan ini terkenal sebagai produsen pala, dimana kualitas palanya sulit ditandingi. Perpaduan tanah vulkanis dan iklim pesisir menjadi salah satu faktor pala Banda berkualitas tinggi dan memiliki rasa yang khas.
Pala Banda sudah lama dikenal oleh pedagang dari berbagai daerah di nusantara, kemudian popularitasnya menanjak ke tingkat mancanegara. Para pedagang Melayu, China, dan Arab pun memburunya. Komoditi rempah ini kemudian dijual dengan harga tinggi oleh pedagang Arab ke bangsa Eropa. Â Â
Mengapa pala demikian mahal? Pasalnya, tanaman ini begitu kaya manfaat. Daging buah, biji, dan lapisan selubung buahnya (fuli) bisa dimanfaatkan untuk manisan, sirup, penyedap makanan, aromaterapi, dan obat-obatan. Oleh karena pada masa itu belum ada lemari pendingin, maka pala laris-manis dimanfaatkan sebagai bahan pengawet makanan.
Namun sayangnya, kemasyhuran pala Banda juga membawa petaka. Kejayaan pala Banda selama berabad-abad kemudian digantikan babak yang penuh darah dan kepedihan. Para pedagang Eropa dari Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris saling berebut. Babak paling tragis ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ia melakukan genosida ke penduduk asli Banda pada tahun 1621 karena dendam masa lalunya. Kisah pembantaian masal belasan ribu penduduk itu menjadi salah satu episode kelam di sejarah Banda.
Jay Subyakto Mengingatkan Sejarah Banda Lewat Film Layar Lebar
Melupakan masa lalu sama dengan mematikan masa depan bangsa, ujar Jay Subyakto. Ketika Sheila Timothy menawarinya untuk menyutradarai film tentang Banda, maka ia pun menyanggupinya. Sejak dulu ia memang tertarik dengan pulau ini, termasuk dengan kisah-kisah yang membungkusnya, kisah-kisah masa lalu juga masa kini.
Berbekal riset, wawancara penduduk lokal, pengusaha pala, sejarahwan, dan sebagainya, maka Jay bersama tim produksinya siap membuat film panjang pertamanya. Naskah film ditulis oleh Irfan Ramli yang telah berpengalaman sebagai penulis Surat dari Praha, Filosofi Kopi 2, dan Cahaya dari Timur. Departemen kamera dipunggawai Ipung Rachmat Syaiful bersama Davy Linggar dan Oscar Motuloh. Departemen artistik dan skoring film dikomandani masing-masing oleh Antonius Boedy Santoso dan Indra Perkasa Lie.