Mohon tunggu...
Deliana Setia
Deliana Setia Mohon Tunggu... karyawan swasta -

I'm just an ordinary person, living this beautiful life that God gave me www.kitadankota.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jakarta Kota Metropolitan dengan Budaya Kampung

12 November 2013   07:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:17 2077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta merupakan Kota Metropolitan dengan beragam peran dan fungsi yang disandangnya. Selain sebagai ibukota provinsi, Jakarta juga memiliki peran dan fungsi sebagai ibukota negara. Kota Jakarta tidak dapat dipandang sebagai kota yang berdiri sendiri namun merupakan bagian dari sistem perkotaan global. Jakarta bersama dengan kota-kota di sekitarnya seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang telah menjadi sebuah kawasan megapolitan Jabodetabek. Hampir semua markas utama perusahaan besar nasional maupun multi-nasional berlokasi di Jakarta. Jakarta telah memposisikan dirinya sebagai pusat perdagangan dan jasa. Seiring dengan semakin berkembangnya Kota Jakarta, sebagai kota yang menyandang predikat Kota Metropolitan, ternyata Jakarta juga layak menyandang predikat sebagai Kampung Besar. Kota metropolitan yang masih memiliki budaya kampung. Kampung besar yang memerlukan perhatian serius dari para pemangku kepentingan maupun dari masyarakatnya sendiri. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan sebutan Kampung Besar.  Yang sedikit membuat miris adalah Jakarta sebagai Kota Metropolitan masih memiliki budaya kampung. Budaya kampung masih melekat erat dengan warga Jakarta. Tidak semua budaya kampung buruk. Banyak pula budaya kampung yang sangat bagus. Budaya gotong royong, kebersamaan, kekeluargaan, dan budaya kampung lainnya, layak diterapkan di Jakarta. Yang menjadi masalah adalah ketika budaya tersebut penerapannya tidak tepat. Pengaplikasiannya tidak sesuai dengan lingkungan yang ada, yaitu lingkungan perkotaan. Mulai menjurus tidak hanya budaya kampung, melainkan kampungan. Tidak perlu ada yang tersinggung. Tidak perlu apriori. Berikut beberapa contoh yang mempertegas Kota Jakarta sebagai Kota Metropolitan yang masih memiliki budaya kampung. 1.  Buang sampah sembarangan Jengkel rasanya melihat begitu banyaknya sampah berserakan di jalanan ibukota. Kebiasaan buang sampah sembarangan ternyata menjangkiti hampir semua lapisan masyarakat Jakarta. Masih banyak warga ibukota yang dengan wajah tanpa dosanya, membuang sampah seenak sendiri. Merasa tidak bersalah. Seakan itu adalah hal yang lumrah. Apa sulitnya berupaya mencari tempat sampah dan membuang sampah pada tempatnya? Miris melihat orang dengan seenaknya membuang sampah keluar dari jendela mobilnya. Apa susahnya jika mereka menyediakan tempat sampah di dalam mobil? Mungkin yang ada di benaknya, “Ah, nanti juga akan ada penyapu jalan yang akan membersihkannya”. [caption id="attachment_1436" align="aligncenter" width="300" caption="Buang sampah sembarangan"][/caption] Ini salah satu budaya kampung yang melanda Jakarta. Membuang sampah sembarangan di kampung belum terlalu menjadi masalah karena sampah yang dibuang terkadang hanya sampah organik seperti kulit jeruk, sisa makanan, dan sampah organik lainnya. Di buangnya pun ke tanah yang masih dapat secara alami terurai dengan sendirinya. Jangan coba terapkan di Jakarta. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar dan jenis sampah dan tempat pembuangan yang berbeda, hasilnya akan sangat berbeda. Jenis sampah yang dibuang ke jalanan oleh warga ibukota lebih banyak berupa sampah plastik, dan sampah anorganik lainnya yang tidak akan terurai secara alami. 2.  Sungai adalah tempat sampah besar Sungai masih dianggap sebagai halaman belakang rumah. Masih tertanam budaya kampung yang menganggap halaman belakang adalah “wilayah kotor”. Ini pula yang dibawa ke Jakarta dan penerapannya salah. Karena dianggap sebagai wilayah belakang, sampah dengan bebasnya dibuang ke halaman belakang. Sungai dianggap sebagai tempat sampah raksasa. Mungkin mereka beranggapan, dengan membuangnya ke sungai, akan mengalir terus dan terbawa ke laut. Memang laut tempat sampah? Pernah menonton satu tayangan di televisi, ketika ditanya alasan membuang sampah ke sungai, dengan polosnya, pelaku menjawab, “ Di lingkungan sini, semua juga seperti itu. Membuang sampah ke sungai”.  Ternyata masih diperlukan sosialisasi dari hal-hal kecil, hal-hal yang kita anggap sepele. [caption id="attachment_1438" align="aligncenter" width="300" caption="Anggapan bahwa sungai atau kali adalah tempat sampah besar"]

[/caption] 3.   Berkegiatan di sungai Jangan bawa budaya kampung yang satu ini ke Jakarta. Budaya mandi, mencuci, bahkan membuang hajat di sungai tidak dapat diterapkan di sungai-sungai yang ada di Jakarta. Kondisinya sangat berbeda. Dapat dipastikan, hasilnya pun akan berbeda. Sungai-sungai di Jakarta sudah sangat tercemar. Tapi masih saja terdapat sebagian warga yang dengan alasan keterpaksaan, masih berkegiatan di sungai. Masih banyak yang menggunakan sungai sebagai tempat mencuci dan buang hajat. [caption id="attachment_1440" align="aligncenter" width="300" caption="Berkegiatan di sungai yang telah tercemar"]
ciliwung
ciliwung
[/caption] 4.   Hidup dan berkehidupan dalam satu lokasi Dalam buku Jo Santoso,  “Kota Tanpa Warga”,  terdapat salah satu alasan mengapa Jakarta masih layak diberi label Kampung Besar. Menurut Jo Santoso, bagi masyarakat yang tinggal di kampung, bekerja dan bermukim (working and living) adalah dua hal yang terintegrasi. Ternyata itu berlaku di Jakarta. Masih terdapat sebagian warga marjinal yang tinggal di emperan, tidur di emperan. Seluruh kegiatan rumah tangga dilakukan di emperan. Bekerja pun di emperan. Atau, kalau pun tidak di emperan, di sekitar emperan. [caption id="attachment_1441" align="aligncenter" width="300" caption="Bekerja dan tinggal di emperan"]
IMG00133-20130615-1320
IMG00133-20130615-1320
[/caption] 5.   Merokok di tempat umum Ini juga salah satu yang menyebalkan. Merokok di tempat umum. Ingin rasanya meneriakkan, “Kalau mau meracuni diri sendiri, tidak usah ngajak-ngajak orang lain!”. Apalagi jika merokok seenaknya di ruangan yang ber-AC atau di kendaraan umum yang tengah disesaki penumpang. “Kok ya masih sempat-sempatnya merokok..”. Larangan merokok di tempat umum sepertinya hanya angin lalu. Budaya kampung yang tidak tepat jika diterapkan serta merta di Jakarta. Di kampung, mungkin dapat lebih leluasa merokok. Udara masih segar, asap buangan rokok masih dapat terserap oleh tanaman-tanaman sekitar atau hilang tertiup angin. Jangan terapkan di Jakarta, apalagi dalam ruangan yang penuh sesak. [caption id="attachment_1443" align="aligncenter" width="300" caption="Merokok di tempat umum"]
rokok2xd
rokok2xd
[/caption] 6.    Menempati lahan-lahan kosong Awalnya mendirikan bangunan sementara, bedeng-bedeng dari kayu dan triplek. Lama kelamaan berdirilah bangunan semi permanen. Akhirnya menjadi bangunan permanen. Menempati lahan-lahan kosong, milik pemerintah atau ruang publik lainnya. Bisa di bantaran sungai, pinggiran rel kereta api, bawah jembatan penyeberangan, maupun lahan-lahan kosong lainnya.  Sulit untuk dipindahkan. Merasa bahwa lahan tersebut adalah lahan mereka. Kalau sudah seperti ini, akan lebih sulit untuk mengatasinya. Jokowi-Ahok perlahan tapi pasti berusaha keras untuk memindahkannya. Terlihat ketidakberdayaan pemerintah dan warganya dalam menegakkan konsensus bersama atas “ruang publik”. Ketiadaan kesepakatan tentang yang boleh terbangun dan boleh dilakukan di ruang publik. Mungkin juga lebih pada ketidakberdayaan warga karena ketiadaan pilihan yang lebih baik. [caption id="attachment_1442" align="aligncenter" width="300" caption="Menempati lahan di bantaran sungai"]
SAMSUNG CSC
SAMSUNG CSC
[/caption] Inilah potret Jakarta kita. Sebuah Kota Metropolitan yang layak dijuluki Kampung Besar. Walaupun kota namun masih memiliki budaya kampung. Kota yang senantiasa menarik bagi orang-orang yang ingin mengadu nasib, mengais rejeki, serta mencoba meraih asa dan cita. Jakarta menjadi kota yang menjadi harapan ketika kota dan desa lain di pelosok tidak mampu memenuhinya. Yang diperlukan adalah penyadaran masyarakat. Sadar mulai dari hal-hal yang kecil, seperti yang dipaparkan di atas. Sadar bahwa kita hidup bersama di kota, Kota Metropolitan. Konon, kota merupakan pusat peradaban, mengajak kita semua untuk menjadi lebih beradab, lebih sadar akan perilaku yang dapat diterapkan di sebuah kota. Selamat pagi. Salam. (Del) Sumber Foto: 1. Buang sampah sembarangan 2. Buang sampah di sungai 3. Berkegiatan di sungai 4. Bekerja dan tinggal di emperan, dokumen pribadi 5. Merokok di tempat umum 6. Menempati bantaran sungai

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun