Mohon tunggu...
Irpanudin .
Irpanudin . Mohon Tunggu... Petani - suka menulis apa saja

Indonesianis :) private message : knight_riddler90@yahoo.com ----------------------------------------- a real writer is a samurai, his master is truth, his katana is words. -----------------------------------------

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Opini Liar Gas Elpiji dari Bincang Media Sosial

18 September 2014   18:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:19 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Setiap ada kenaikan harga kebutuhan pokok, topik itulah yang menjadi bintang utama di jejaring sosial dan perbincangan media chatting. Hari ini Liquified Petroleum Gas (LPG) atau Elpiji rupanya sudah masuk ke daftar kebutuhan pokok sehingga ramai menjadi bahan obrolan. Inti diskusinya, pengeluaran rutin rumah tangga bertambah karena kenaikan harga Elpiji.

Di salah satu grup chatting yang saya ikuti, seorang teman memberi tips. Seperti kebanyakan keluarga lain, ia menghabiskan 1 tabung gas 12 kg dalam waktu sekitar 1 bulan. Guna menyiasati pengeluaran, ia membeli 3 tabung gas 3 kg dan hanya menggunakan tabung 12 kg untuk cadangan kalau tabung 3 kg sedang langka.

Ia beralasan di mana pun juga membeli barang partai besar seperti membeli grosiran, seharusnya lebih murah. Kenapa gas 12 kg lebih mahal daripada gas 3 kg? Pemerintah dan Pertamina terlalu mengada-ada, sebab pada akhirnya hukum ekonomi yang berlaku. Konsumen akan membeli barang lebih murah dengan kualitas yang sama.

Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Entah bagaimana cara mengingatkan bahwa meskipun barang yang dibeli sama, peruntukan gas 3 kg berbeda dengan gas 12 kg. Tidak seperti gas 12 kg dan gas 50 kg, konsumen gas 3 kg adalah masyarakat yang dahulu menggunakan minyak tanah. Mereka adalah rumah tangga berpenghasilan rendah (kurang dari Rp 1.500.000,- per bulan) serta Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), tentu saja murah karena mendapat subsidi. Setahu saya kawan saya tadi bukan termasuk kalangan tidak mampu yang pantas mendapat subsidi.

Lagipula benarkah kenaikan harga gas membuat pengeluaran rumah tangga membengkak? Mari coba sedikit berhitung. Jika harga gas dinaikkan langsung Rp 6.000,-/kg untuk mengikuti nilai keekonomiannya, dan setiap bulan sebuah keluarga menghabiskan 1 tabung gas 12 kg, maka sebetulnya pengeluaran bulanan untuk membeli gas bertambah Rp. 72.000,-.

Bandingkan dengan smartphone middle end seharga 4 juta rupiah yang dipakai kawan saya. Katakanlah umur sebuah smartphone sekitar 4 tahun, meski pun saat ini bagi sebagian orang smartphone berumur 2 tahun sudah sangat usang dan ingin lekas diganti. Jika dirata-ratakan dana yang harus disisihkan setiap bulan untuk membeli smartphone berharga 4 juta rupiah tadi adalah Rp. 83.300. Masih lebih tinggi dari pengeluaran membeli gas. Padahal Pertamina dan pemerintah sudah mengambil kebijakan kenaikan secara bertahap untuk mengurangi gejolak ekonomi.

Ada juga yang bertanya: “Negara kita kan salah satu penghasil gas alam terbesar di dunia, kenapa gas alam kita malah diekspor? Bukankah gas alam lebih murah dan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat?”

Kebetulan pertanyaan itu juga terbersit dalam pikiran saya. Agak sulit menjawab itu karena saya bukan orang yang memiliki pengetahuan tentang gas, tapi saya mencoba mencari informasi dari berbagai sumber. Hingga satu ketika saya memperoleh pencerahan kenapa gas alam tidak bisa dengan mudah menjadi subtitusi bagi LPG.

Karena komponen penyusunnya berbeda, LPG dan gas alam berbeda karakteristik. LPG menghasilkan kalor sebesar 94 MJ/m3 ,sedangkan gas alam hanya menghasilkan kalor sebesar 38 MJ/m3. Untuk menghasilkan efek pembakaran dan panas yang sama dengan LPG, dibutuhkan lebih banyak gas alam dan kompor gas dengan spesifikasi yang berbeda dari kompor yang umum digunakan di pasaran. Artinya, LPG tidak dengan mudah bisa digantikan gas alam. Negara lain seperti Jepang dan negara Eropa menggunakan gas alam untuk rumah tangga karena sistem dan jaringan pipa gas di kota-kota besar mereka sudah sangat baik.

Sementara itu, ada juga opini yang menganggap kenaikan tersebut disebabkan Pertamina memonopoli perdagangan gas. Jika Pertamina tidak memonopoli, persaingan di pasar gas akan lebih sehat dan harga menjadi lebih kompetitif. Tapi benarkah Pertamina memonopoli perdagangan gas? Ternyata selain gas LPG Pertamina, produk industri gas perusahaan lain juga sudah ada di pasaran domestik, diantaranya : Bluegaz, Harigas dan Go-Gas.

Dibandingkan dengan produk domestik lain harga jual gas tabung 12 kg Pertamina adalah yang terrendah, karena produk lain dijual dengan harga mengikuti nilai keekonomian. Bahkan jika dibandingkan dengan harga di negara lain harga gas Pertamina juga menjadi yang terrendah. Sehingga seandainya memang terjadi “monopoli” oleh Pertamina, itu disebabkan harga yang diberikan Pertamina sangat rendah bukan karena kebijakan monopoli.

Menghadapi kondisi tersebut Pertamina, mau tidak mau harus menaikkan harga gas tabung 12 kg karena menanggung beban kerugian akibat rendahnya harga jual. Sejak tahun 2009-2013 kerugian yang diderita Pertamina akibat perdagangan gas mencapai 17 Trilyun Rupiah. Sebuah angka yang membuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan kenaikan harga Elpiji 12 kg untuk mencegah Pertamina terus menanggung kerugian. Apalagi di masa depan, diperkirakan pengguna gas tabung 12 kg akan meningkat pesat seiring pertumbuhan penduduk kelas menengah. Sehingga kenaikan harga gas adalah hal yang biasa dan semestinya tidak perlu mengundang reaksi berlebihan.

Banyaknya opini liar yang berkembang di masyarakat menyangkut harga suatu kebutuhan pokok hal yang sangat wajar. Terlepas dari benar dan kelirunya, sebetulnya bagi Pertamina opini tersebut merupakan bentuk perhatian dan kepedulian masyarakat. Karena itulah, menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi Pertamina untuk terus memperbaiki pelayanan serta distribusi, dan jika perlu memberi sanksi keras bagi distributor nakal. Sehingga setelah kenaikan harga tersebut kita tidak perlu lagi mendengar berita mengenai kelangkaan atau harga gas yang melambung tinggi di daerah tertentu.

Di sisi lain minimnya informasi, pengetahuan, dan terutama kesadaran masyarakat mengenai konsumsi gas juga perlu mendapat perhatian lebih. Informasi mengenai sistem harga gas, keamanan, distribusi, hingga alokasi pemanfaatan gas perlu disampaikan kepada publik. Itu bisa dilakukan melalui berbagai media, diantaranya melalui media massa, brosur yang disertakan dalam pembelian gas, hingga pemberdayaan blog.

Mudah-mudahan seiring peningkatan pengetahuan masyarakat tentang gas, akan juga meningkatkan budaya malu dan kesadaran masyarakat untuk menggunakan gas sesuai peruntukannya. Sehingga tidak ada lagi berita kalangan tidak mampu sulit mendapatkan gas 3 kg yang langka karena diborong orang berpunya. Tidak malukah, sudah kaya tapi masih memakan subsidi rakyat miskin?

Bogor, 18 September 2014

Ditulis untuk Pertamina Blog Competition

Sumber Rujukan Tulisan

1.https://docs.google.com/file/d/0B6tFwXUo6zhzVnFjeHNRLWcyMzQ/edit

2.https://docs.google.com/file/d/0B6tFwXUo6zhzRlZYNnRMRTVTZjQ/edit

3.https://docs.google.com/file/d/0B6tFwXUo6zhzMnJEc0xjZ2Q2aXc/edit

4.https://docs.google.com/file/d/0B6tFwXUo6zhzZkdXS2NvTldjUkk/edit

5.https://docs.google.com/file/d/0B6tFwXUo6zhzaDVXQUJwd3lwSWM/edit?pli=1

6.http://en.wikipedia.org/wiki/Liquefied_petroleum_gas


Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun