Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Geng G20 dan Tertinggalnya Indonesia

7 Juli 2017   12:40 Diperbarui: 29 Juli 2017   07:06 2232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minggu ini, perhelatan besar negara-negara G20 berlangsung di Hamburg, Jerman. Summit atau pertemuan ini merupakan pertemuan ke-12 bagi negara-negara yang berkontribusi pada 85% GDP global. Tema berulang yang biasanya dibahas adalah pertumbuhan ekonomi, perdagangan, juga pasar finansial; namun G20 Summit juga banyak membahas isu lain yang penting di ranah global.

Salah satunya adalah isu pemanasan global dan perubahan iklim.

Lupakan bahwa bumi itu diperdebatkan bulat atau datar, pada kenyataannya kegiatan manusia dalam berbagai sektor: energi, transportasi, dan produksi memberikan dampak yang luas pada lingkungan. Penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak dan batu bara menghasilkan emisi (keluaran) karbondioksida dan gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan peningkatan suhu global. Sudah sekian lama kita mendengar kutub utara yang mencair. Sudah cukup sering kita melihat foto beruang kutub yang kurus kering mati kelaparan. Dan barangkali sudah cukup lama pula kita sadar bahwa musim saat ini sungguh sulit diprediksi.

Ini tak hanya terjadi di luar sana, ini juga terjadi di Indonesia.

Cita-Cita Bersama
Negara-negara G20 yang jumlahnya 19 itu memang selain menyumbang porsi besar terhadap GDP global, tentu saja juga menyumbang porsi tidak kalah besar terhadap polusi udara. Ya iyalah ya, pertumbuhan ekonomi tentu selaras dengan naiknya produksi dan aktivitas manusia. Jika dihitung, negara-negara G20 ini totalnya menyumbang emisi GRK dari sektor energi sebesar 82% dari total negara-negara di seluruh dunia.

Berani berbuat, harus berani bertanggung jawab. Maka tak bisa dipungkiri juga bahwa G20 juga harus berkontribusi signifikan untuk mengurangi emisi GRK yang membahayakan ini.

Sementara Kesepakatan Paris sudah digulirkan (dan ditinggalkan oleh Donald Trump, eh, maksudnya Amerika Serikat), negara-negara G20 memang sudah mulai beralih ke energi hijau, yaitu energi terbarukan yang lebih bersih (kebalikan dari bahan bakar fosil). Peralihan ini disebut dengan peralihan "cokelat" ke "hijau" (brown menggambarkan energi kotor dari fosil, green adalah energi terbarukan). Langkah-langkah besar sudah banyak dilakukan negara-negara G20 untuk proses peralihan ini, misalnya Brazil yang sudah mencapai penggunaan energi terbarukan hingga 38% dari total penggunaan energi nasional. 

China, sebagai kekuatan ekonomi besar, muncul digdaya "memimpin" peralihan ke energi hijau dengan pembangunan infrastruktur energi hijau yang masif, mulai memensiunkan pembangkit listrik batu bara, dan memberikan subsidi besar untuk mobil listrik. Amerika Serikat yang awalnya digadang-gadang untuk semakin progresif dalam peralihan ini justru mundur. Penolakan yang disampaikan oleh Presiden Trump diperkirakan akan berdampak besar, terutama terkait pembiayaan.

Usaha penekanan emisi GRK ini perlu dilakukan terus menerus dengan skala besar, karena bila tren penggunaan energi kotor tidak berubah, target Kesepakatan Paris untuk menjaga kenaikan suhu global tak lebih dari 2 derajat C tidak akan tercapai. Berdasarkan laporan Climate Transparency, usaha negara-negara G20 ini bukan tanpa hasil. Selama periode 1990 -- 2014, GDP G20 naik 34%, namun pertumbuhan ekonominya jauh lebih tinggi: 117%. Ini adalah ilustrasi bahwa kita semakin efisien dalam menggunakan energi. Emisi GRK dan karbondioksida juga mulai "datar", angka dalam lima tahun terakhir tidak meningkat sepesat sebelumnya.

picture1-595f280fb1dab40ad538b545.jpg
picture1-595f280fb1dab40ad538b545.jpg
Bangga? Boleh. PR masih banyak. We are not moving fast enough.

Indonesia Tertinggal
Sementara anggota geng G20 lain mulai move on dari mantan, ehem salah kan, batu bara, Indonesia masih menggunakan batu bara untuk kelistrikan. Ini memang sebuah persoalan yang bermata dua: di satu sisi Indonesia masih berupaya melistriki 100% penduduknya, sementara itu kita juga harus mulai bergerak meninggalkan energi kotor. Harga energi terbarukan yang *masih* dianggap lebih mahal dibanding batu bara juga menjadi pertimbangan yang serius, meski diharapkan dengan cepatnya perkembangan teknologi energi terbarukan, harganya akan semakin turun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun