Kita tidak perlu bicara aspek hukum positif. Soal substansi hukum, para ahli hukum banyak jagoannya. Semuanya bisa ditarik keranah hukum. Kesadaran hukum yang tinggi, tetapi tidak diikuti moralitas hukum dan kepantasan, maka hukum itu hanya jadi instrumen yang kaku dan menghantam siapa saja yang masuk kategori melanggar hukum, tetapi bisa juga menjadi fleksibel jika berhadapan dengan mereka yang disebut "kebal hukum".
Sebagai ilustrasi, hukum itu ibarat jarum suntik yang tajam dan steril. Jika disuntikkan pada lapisan jaringan lemak yang lembut ( di paha atau di lengan) maka dengan cepat jarum itu menembus kulit yang penuh dengan lemak. Tetapi jarum yang tajam tersebut akan menjadi bengkok jika ketemu dengan bagian tulang dari tubuh.
Maka itu tenaga medis dalam menyuntik sering menghindar jarum suntik untuk tidak ketemu tulang. Jarumnya rusak/bengkok, dan yang punya tulang meringis kesakitan. Jadi jarum dan tulang saling menghindar.
Begitulah wajah hukum kita, menghindari yang "kebal hukum" dan mencari mereka yang takut dengan hukum, yang lebih mudah "ditakuti" dengan ancaman hukum.
Sering kita mendengar pejabat yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan pemerintah dalam negeri, jika ada Gubernur, Bupati atau Walikota terkena OTT oleh KPK, maka semantik yang keluar darimulut sang pejabat adalah, "silahkan diproses secara hukum". "Kita akan nonaktifkan yang bersangkutan".Â
Demikian juga Ketua Partai dimana sang Kepala Daerah ngumpet "di dalam sarung Ketua Partai" , langsung dikeluarkan dari sarung sang Ketua, dan dengan lantang meminta "silahkan diproses sesuai dengan hukum". "Kami tidak melindungi mereka yang bersalah".
Dalam persidangan, ternyata banyak Kepala Daerah yang jadi terdakwa mengakui menggunakan uang yang diambilnya secara tidak syah, untuk kepentingan partai. Tetapi semua berkelit, bersilat lidah, dan menampilkan argumentasi bahwa tidak ada bukti yang kuat semua tuduhan terdakwa tersebut. Padahal si terdakwa, baru saja keluar dari "sarung" sang Ketua Partai. Itulah namanya "bersembunyi di sehelai lalang", kata-kata tua yang sampai sekarang maknanya masih sama.
Moralitas Pemilu 2019
Terkait Pemilu baik Pileg dan Pilpres yang diselenggarakan serentak 17 April 2019, tentu secara regulasi sudah diatur dengan cermat oleh mereka yang diberi tanggungjawab sebagai penyelenggara dan pengawas. KPU sebagai Lembaga yang bertanggungjawab menyelenggarakan Pemilihan Umum sesuai dengan Undang-Undang sudah mempersiapkan aturan-aturan yang detail agar penyelenggaraan Pileg dan Pilpres 2019 berjalan dengan jujur, adil, dan langsung.
Untuk mengontrol kerja KPU apakah sesuai dengan standar aturan yang ditetapkan, maka ada Bawaslu, yang akan mengingatkan, menegor dan melakukan langkah2 yang diperlukan jika KPU melakukan penyimpangan, dan menerima pengaduan peserta Pemilu yang merasa dirugikan. Sistem, mekanisme kerja, tata cara dan sanksi juga sudah disiapkan.
Tetapi, ya tetapi ada ruang kosong dalam penyelenggaraan Pemilu kali ini, dan juga Pemilu-Pemilu sebelumnya. Semua aturan yang dibuat dan mengikat semua pihak, MISKIN MORALITAS. Akibat miskinnya moralitas, maka terjadilah apa yang disebut dengan MORAL HAZARD.