Mohon tunggu...
Charles Christian Mathaus
Charles Christian Mathaus Mohon Tunggu... Lainnya - akademisi

charles alumni S1 Fakultas Hukum UNPAD tahun 2008. dan alumni S2 fakultas Hukum Brawijaya 2013, alumni Post Graduate Diploma Commercial Law University Of Salford 2019

Selanjutnya

Tutup

Politik featured

Diaspora Indonesia dalam Perspektif Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian

23 Agustus 2013   16:51 Diperbarui: 18 Agustus 2016   14:06 4086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tanggal 18-19 Agustus 2013 tepatnya di JHCC senayan Jakarta telah berlangsung Kongres ke 2 Diaspora Indonesia yang sebelumnya diadakan di Amerika Serikat. Kongres ini dihadiri oleh ribuan delegasi Diaspora Indonesia dari seluruh Negara dan para petinggi / pejabat teras di Negeri ini. 

Kehadiran Presiden SBY, para anggota DPR, Duta besar, para menteri, Ketua Mahkamah Konstitusi dan para pakar / akademisi membuat  kongres ini menarik perhatian masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih awam / tidak mengetahui arti dari Diaspora itu sendiri. Para wartawan dibuat sibuk hilir mudik untuk melakukan wawancara dengan beberapa pejabat tinggi tersebut.

Dalam kongres yang diikuti oleh penulis, salah satu isu menarik dan menimbulkan perdebatan meriah adalah tentang keinginan para diaspora Indonesia mendapatkan kewarganegaraan ganda dan isu dibidang Keimigrasian yang selama ini di claim sebagai hal yang menghambat para diaspora untuk menumpahkan rasa cinta dan keinginan kuat dalam membangun Indonesia dari negeri lain/ tempat mereka bermukim. 

Sebelum kita membahas lebih jauh, tentu kita mesti mengetahui terlebih dahulu pengertian atau definisi dari diaspora itu sendiri. Banyak pendapat beragam tentang diaspora antara lain ada yang menyebutkan sebagai ex. WNI, ada yang mengatakan sebagai WNI diluar negeri, ataupun ada yang mengatakan sebagai Turunan kedua WNI serta mereka-mereka yang mempunyai rasa cinta terhadap Indonesia dapat dikategorikan sebagai anggota Diaspora Indonesia.

Dalam penjelasannya sebagai narasumber dalam kongres tersebut, DR. M. Iman Santoso menjelaskan bahwa berdasarkan dari referensi para ilmuwan barat, Diaspora berasal dari kata Yunani “diaspeiro” yang digunakan diabad ke 5 SM. Diabad ke 20 istilah diaspora semakin popular ketika digunakan oleh para Jewish Diaspora dan Black/African Diaspora dimana saat itu bangsa yahudi tersebar di berbagai negara lain begitu pun bangsa Afrika yang berada di Amerika serikat dan Inggris ingin kembali kenegara / tanah kelahiran mereka. 

Semakin tergambar bahwa istilah diaspora itu sendiri terkait dengan kelompok suatu bangsa yang bermukin dinegara lain. Gabriel Sheffer dalam bukunya tahun 1986 yang berjudul  “a New Field Of Study : Modern Diasporas in International Politics” memberikan definisi diaspora modern adalah kelompok etnis minoritas migrant asal yang bertempat tinggal dan bertindak di Negara tuan rumah, tetapi mempertahankan hubungan sentimental dan material yang kuat dengan tanah air / Negara asal mereka.

Dari berbagai pengertian diatas DR. M. Iman Santoso menyimpulkan 4 (empat) kategori Diaspora, Yaitu:(1) Orang Indonesia berpaspor Indonesia (2) orang Indonesia yang kemudian menjadi warga Negara lain (3) orang-orang yang menjadi keturunan Indonesia (4) para pecinta /simpatisan Indonesia. Didalam Kongres Diaspora ini, para Diaspora mengatakan bahwa mereka membawa banyak keuntungan untuk Indonesia salah satunya dari segi Remitansi sebesar 7 Miliar USD pada Tahun2011, oleh karenanya pemerintah harus melihat potensi ini dan merangkul para diaspora untuk berbuat lebih bagi Indonesia.

Wacana Dwikewarganegaraan dilihat dari Hukum Kewarganegaraan dan keimigrasian di Indonesia.

Lahirnya Undang-undang No. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan merupakan suatu lompatan besar dari dari undang-undang kewarganegaraan sebelumnya yaitu UU NO. 62 tahun 1958. 

Walaupun pada prinsipnya adalah sama yaitu kewarganegaraan Tunggal, tetapi dalam undang-undang ini diperkenalkanlah prinsip kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak-anak hasil perkawinan campuran sampai berusia 21 (dua puluh satu ) tahun untuk memilih salah satu kewarganegaraan orangtuanya. Undang-undang ini juga menghapus berbagai macam diskriminasi dan menjunjung persamaan gender serta Hak Asasi manusia. 

Walaupun demikian Politik Hukum kewarganegaraan yang ada saat ini tetap pada prinsipnya adalah kewarganegaraan tunggal. Pengaruh internasional dan globaliasasi tentu saja dapat merubah Politik hukum suatu Negara. Hal ini didasarkan pada kepentingan Negara yang dilihat dari berbagai segi IPOLEKSOSBUDHANKAM. Walaupun demikian apakah sudah tepat apabila saat ini diadakan perubahan politik hukum kewarganegaraan Indonesia dengan menerapkan Dwikewarganegaraan?tentu saja perlu dilihat kembali urgensi dan dasar filisofis perubahan tersebut.

Isu dwikewarganegaraan saat ini semakin hari semakin berkembang. Bagi mereka yang mendukung, memiliki pandangan bahwa Dwikewarganegaraan (DK), memiliki manfaat tersendiri . Menurut para anggota Diaspora Indonesia keuntungan dwikewarganegraan bagi pemerintah adalah:

Ø Dapat meningkatkan hubungan ekonomi antara dua Negara, memperluas basis ekonomi, mendorong perkembangan perdagangan,investasi yang membuka lapangan pekerjaan.

Ø Pemegang DK berpengaruh pada keputusan ekonomi dan politik di Negara dimana mereka berdomisili, sedemikian rupa sehingga keputusan yang dibuat dapat menguntungkan Negara RI

Ø DK akan menjadi pengikat dan menghindari kehilangan para tenaga Ahli yang berbakat,berintelektual dan berpendidikan tinggi.

Ø DK sangat baik dalam mendukung investasi di Indonesia

Ø DK dapat memperkenalkan budaya Indonesia ke LN.

Berdasarkan beberapa alasan diatas tentu saja terlihat sangat logis dan dapat memberikan keuntungan yang besar bagi bangsa Indonesia. Adapun beberapa alasan bagi mereka yang menolak konsep DK tersebut, antara lain meliputi:

Ø Permasalahan Loyalitas

Ø Kewajiban bela Negara

Ø Permasalahan nasionalisme

Ø Hak Politik

Ø Hak atas tanah dsb.

Ø Hak dan kewajiban warga Negara.

Dalam kongres diaspora ini juga hadir Ketua MK DR. Akil Mochtar yang menjelaskan Dwikewarganegaraan dari sisi konstitusi. Menurutnya ketika undang-undang dasar 1945 dibentuk, tidak ada satupun dari beberapa golongan yang ada di Indonesia mengakui adanya kebangsaan lain selain bangsa Indonesia. Prinsip kesetian, persatuan dan kebangsaan menjadi yang utama. 

Wacana dwikewarganegaraan saat ini belum menjadi isu utama karena yang terpenting adalah meningkatkan komitmen, keseriusan dan tanggung jawab Negara untuk melindungi dan menjamin Hak Asasi warga Negara Indonesia. Salah satu permasalahan yang mungkin dihadapi dengan diterapkannya dwikewarganegaraan adalah dalam pendekatan hukum perdata Internasional antara lain tekait dengan prinsip nasionalitas, karena status personal seseorang harus tunduk pada hukum negaranya.

Melihat masih sulitnya peluang mewujudkan dwikewarganegaraan di Indonesia, maka pendekatan keimigrasian dalam menjamin dan menjaga rasa cinta para diaspora Indonesia dapat menjadi alternative utama. Penulis melihat bahwa isu keimigrasian merupakan salah satu isu penting dalam kongres diaspora. 

Para diaspora merasa sering mengalami kesulitan dalam memperoleh fasilitas keimigrasian dan sering merasa tidak dihargainya rasa cinta mereka terhadap Indonesia. Hal ini bisa saja terjadi karena didasarkan pada penilaian yang subyektif, seperti penulis temukan ketika berkomunikasi dengan para delegasi diaspora. 

Mereka menganggap bahwa pemerintah Indonesia tidak serius dalam melihat potensi besar yang dimiliki oleh para Diaspora dalam membangun ekonomi dan budaya Indonesia di Luar Negeri. Oleh karenanya para diaspora menginginkan suatu keleluasaan ketika mereka yang eks. WNI untuk dapat hidup dan bertempat tinggal di Indonesia tanpa prosedur keimigrasian yang rumit. 

Tentu saja penulis dapat melihat dan menarik kesimpulan bahwa selama ini, cara pandang beberapa delegasi Diaspora Indonesia yang masih keliru dalam melihat persoalan. Beberapa anggota Diaspora masih melihat Aparatur Negara yang Korup, kotor dan tidak Profesional. Tentu saja hal ini tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Pelayanan keimigrasian saat ini jauh lebih bersih, transparan dan Profesional. 

Hal ini dapat dilihat dari berbagai layanan Imigrasi yang dapat diakses secara online seperti permohonan visa dan paspor. Disamping itu berbagai prosedur dan petunjuk tentang layanan Imigrasi secara jelas dapat ditemukan disetiap kantor Imigrasi disertai dengan nomor pengaduan yang langsung terhubung dengan wakil menteri Hukum dan HAM RI.

Istilah “dipersulit” selalu saja menggema ditelinga para Diaspora ketika berhadapan dengan persoalan Keimigrasian. Dapat penulis jelaskan bahwa Para Diaspora terkadang melihat dan membandingkan suatu sistem hukum yang ada dinegara lain dengan di Indonesia dan menjustifikasi seolah-olah “dipersulit”

Sebagai contoh di India, dengan konsep pemberian Overseas Citizenship of India (OCI)dimana pemegang OCI yang merupakan eks. Wn. India dapat melakukan perjalanan ke India tanpa keharusan memiliki Visa. Selain itu pemilik OCI  dapat bekerja tanpa disertai dengan izin kerja walalupun tetap ada batasan-batasan pekerjaan tertentu. 

Hal ini berbeda dengan di Indonesia bahwa WNA sekalipun eks. WNI tetap mendapatkan perlakuan sama yaitu keharusan memiliki Visa dan izin tinggal layaknya WNA. Perbedaan aturan ini kerap kali menimbulkan isitlah “dipersulit” oleh petugas Imigrasi, yang sebenarnya adalah menjalankan aturan yang berlaku di Indonesia.

Selain itu pemegang OCI memiliki kesempatan untuk langsung memeperoleh kewarganegaraan Indianya setelah yang bersangkutan melepaskan kewarganegaraan lainnya. Hal ini tentu saja tidak berlaku dan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan  di Indonesia.

Melihat potensi besar yang dimiliki oleh para Diaspora Indonesia, maka pembentukan aturan baru tentang fasilitas keimigrasian bagi para Diaspora Indonesia dapat menjadi penyejuk dan jalan tengah untuk menjembatani antara kepentingan Negara dengan tetap mempertahankan prinsip kewarganegaraan Tunggal dan keinginan para Diaspora Indonesia untuk memperoleh dwikewarganegaraan. 

Dalam hal ini pemerintah Indonesia  melalui kementerian Hukum dan HAM RI dapat mencontoh Negara India misalnya dalam pemeberian OCI, walaupun demikian penulis tetap berpendapat bahwa fasilitas keimigrasian yang mungkin diberikan pada para Diaspora Indonesia tidak perlu terburu-buru dan tetap harus didasarkan pada prinsipkehati-hatian,dan cost and benefit sebelum aturan tersebut dikeluarkan serta tidak menyimpang dari prinsip selective policy dan penghormatan terhadap HAM.  

Oleh kerenanya aturan pemberian Izin Tinggal terbatas  atau Izin tinggal tetap atau izin tinggal khusus kepada para Diaspora dapat menjadi suatu alternative yang tepat tentu didukung dengan kajian yang cermat  dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia .

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun