Mohon tunggu...
budi prakoso
budi prakoso Mohon Tunggu... Wiraswasta - mari jaga kesehatan

seorang yang gemar berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Melawan Terorisme Melalui Persaudaraan

7 Juli 2017   03:27 Diperbarui: 7 Juli 2017   04:34 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersaudara - http://neinvalid.ru

Anda mungkin tidak bisa menghindar dari perbedaan penafsiran, juga bila penafsiran itu telah membawa nada permusuhan. Di dalam zaman yang nyaris tak berbatas karena perkembangan dunia maya ini, konflik penafsiran semakin rentan dan terbuka.  Yang paling purba dalam konflik penafsiran itu adalah perbedaan penafsiran agama. Entah itu perbedaan penafsiran antar penganut agama yang sama, atau perbedaan antara penganut agama yang berbeda.

Kenyataan ekstrim dari perbedaan itu kini telah pula kita rasakan sebagai pengalaman. Mendengar kabar, atau melihat jenazah tewas di media massa dalam insiden yang dikait-kaitkan dengan teror atas nama agama, adalah kenyataan yang tak bisa kita hindari. Jika kita kembali kepada akal sebagai alat untuk mengontrol langkah dan tindakan, maka titik ekstrem ini sama sekali jauh dari nalar. Agama jelas melibatkan unsur di luar nalar, namun bukan berarti nalar diabaikan untuk hal yang sesungguhnya bisa dipahami dengan nalar.

Kematian adalah pemandangan yang bukan lagi ada dalam dongeng atau komik-komik bergambar tentang kehidupan surga-neraka yang pernah marak di era 1980-an dan 1990-an. Yang mengusik adalah kematian itu diklaim oleh manusia yang masih hidup dilakukan atas nama agama. Dengan kata lain, kematian adalah hal absolut yang bersifat universal. Tak peduli apa agama, suku, dan status sosialnya, setiap orang pasti mati. Dan terorisme atau ledakan bom atas nama agama hanya mengakhiri rangkaian dramanya dengan seseorang yang mati.

Yang tertinggal bagi kita adalah sanak-saudara yang harus menjenguk dan memastikan bahwa salah satu anggota keluarganya yang tewas -- entah karena bom bunuh diri atau terjangan peluru aparat -- adalah benar anggota keluarganya. Dan kesedihan yang tersisa tidak pula kita alamatkan sebagai konsekuensi dari martir yang melakukan tindakan teror. Bagaimanapun, sekali lagi, kematian adalah keniscayaan umat manusia. Dan kabar kematian selalu memberikan sentuhan manusiawi dalam bentuk apapun.

Dalam situasi ini, memahami tetangga, memperhatikan kehidupan dan perkembangan jiwa anak, dan mendekatkan diri dengan komunitas, adalah ikatan yang membuat keutuhan kita sebagai manusia tetap erat. "Untuk program deradikalisasi, sebagai contoh, pemerintah Indonesia melibatkan masyarakat dan keluarga, termasuk kerabat bekas terpidana teroris, juga organisasi kemasyarakatan," kata Presiden Joko Widodo di sela kerja sama dengan Filipina untuk mengantisipasi gerakan ISIS yang terjadi di Marawi, 13 Juni silam.

Jelaslah bahwa ongkos yang harus dikeluarkan untuk mengatasi terorisme dan radikalisme tak melulu soal anggaran negara, berapa banyak aparat dan peluru mereka. Dalam bingkai terbesarnya, terorisme hanya bisa dilunakkan dengan sesuatu yang non-materi seperti pergaulan, kehangatan antar sesama, dan kesadaran umum sebagai manusia biasa. Agaknya, kita perlu melihat kepada generasi yang akan datang. Karena para pelaku teror tidak jarang adalah mereka yang sedang tumbuh dalam fase kejiwaan dari periode remaja-muda menuju dewasa-muda.

Sebagai informasi, penelitian LIPI pada 2016 menyebutkan 21 persen siswa dan 21 persen guru mengatakan Pancasila tidak relevan karena 84 persen siswa dan 76,2 persen guru menerima syariah Islam. Ditambah lagi, 52,3 persen siswa setuju dengan penggunaan kekerasan atas nama solidaritas Islam dan 14,2 persen setuju dengan pengeboman radikal.  Angka-angka itu cukup mencemaskan memang. Tetapi kita juga tidak perlu panik karena semua itu hanya akan menjadi angka belaka jika sesuatu yang tidak bisa diukur secara numerik mendapatkan jalan alamiahnya.

Yang alami adalah kita hidup dalam perbedaan yang tak ada bandingnya di atas muka bumi ini. Dan yang alami adalah kita harus merangkul tetangga dan tak membiaskan pandangan mata dengan sinisme, sekali pun ada saudara di luar sana yang menaikkan bulu matanya. Yang perlu kita lakukan adalah melindungi diri sendiri untuk bisa melindungi orang lain. Selebihnya adalah takdir pertarungan perdamaian yang selalu kita usahakan.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun