Dalam risau aku beranjak perlahan menyusuri malam. Melangkah getir menikmati satu demi satu pernik lentera berwarna serupa. Lihatlah salah satu rumah itu, dibangun megah diantara kesederhanaan bangunan lainnya. Ironis sekali kesenjangan di sudut malam ini. Sunyinya kehidupan semakin menambah getir lalu lalang yang tak tersirat. Dan aku terdiam, di bawah temaram lampu jalanan. Sunyi, sepi, tak ada bedanya dengan kehampaan hati ini. Aku masih terdiam.
Angin menebar kedinginan merasuk meraba kulit menyisakan rasa. Dari sudut jalan ini aku bisa melihat jajaran kesenjangan yang sangat tidak simetris. Inilah potret kehidupan tanah air ini, penuh dengan kesenjangan yang seharusnya tak menjadi nyata. Ingin mata ini terpejam, menutup diri dari pemandangan yang begitu mengharukan. Tidak, bukan itu yang sebenarnya aku rasakan. Gejolak ini ingin menghindar, dari suatu masalah pelik yang tak kunjung sirna. Bukan, bukan itu yang aku rasa. Dan aku masih tak mengerti apa yang sebenarnya aku rasakan.Â
Aku hanya bisa melihat dalamnya sosok yang tak mau diam. Inilah aku, manusia tak bermoral yang hanya ingin selalu menghindar. Bukankah itu wajar, bagi para remaja labil yang selalu saja ingin menghindar. Aku tidak lagi remaja seperti dulu. Namun tetap saja takut untuk menantang masalah yang tak bisa dihindarkan. Bukankah itu termasuk manusia yang tak bermoral, mungkin juga tak beradab.
Masih saja aku terdiam. Terdiam dalam persimpangan yang membuatku bimbang. Lihatlah bintang itu, menari dalam gelap langit tak kunjung lelah. Adakah kehidupan disana? Adakah kesenjangan pahit yang terlintas disana? Bagaimana Tuhan memelihara bintang itu sebagaimana Tuhan memelihara kehidupan di tanah ini? Adakah bintang yang juga menyembah Tuhan? Tak adakah ketuhanan bagi bintang itu?
Meracau bosan aku tak kunjung henti, semakin menambah kerisauan hati di sudut jalan ini. Kacau sungguh aku yang terdiam tak tentu arah, tak seperti dedaunan yang tertidur pulas bersama kawan-kawannya. Tidak seperti aku yang seakan merasa ditinggalkan. Sendiri menatap langit malam dengan bertanya. Bahkan aku pun tahu tak ada jawaban yang bisa mencerahkan. Â Â Â Â
Kembali melangkah aku diantara senyap dunia malam. Kali ini aku berjalan menyusuri lorong-lorong pertokoan yang berdiri megah diantara bangunan diantaranya. Lihatlah pemandangan ini, ironi yang semakin tak kumengerti. Keluarga kecil sedang tertidur pulas di lorong-lorong pertokoan. Dengan ekspresi tenang yang semakin tak aku mengerti.Â
Sulitnya hidup seakan sama sekali tak terpancar dari raut wajah mereka. Dan aku tahu kehidupan mereka pastilah lebih sulit dari yang aku kira. Di samping mereka juga terlihat jajaran para tunawisma. Jika dilihat secara keseluruhan, mereka bukan hanya keluarga kecil. Namun sebuah keluarga besar yang dengan tenangnya tidur berselimut kain kumal dalam satu kompleks pertokoan. Andai saja pertokoan itu bisa aku sulap menjadi rumah megah bagi mereka, bertambah satu lagi kebahagiaan di tanah ini. Â Â Â Â
Sekilas pemandangan itu berarti banyak bagi perjalanan malam kali ini. Seharusnya dengan itu aku bisa sadar bahwa semua yang menjadikanku risau tak seharusnya aku nikmati dalam kebimbangan. Tapi yang seharusnya terjadi masih saja tak bisa terjadi. Masih saja aku meracau, mengeluh akan semua yang ada di kehidupan ini. Â Â Â Â Â Â
Ingin aku menjerit memecah kesunyian larutnya malam. Ingin aku berteriak marah pada sesuatu yang mencipatakan segalanya. Ingin aku melampiasakan semua penat yang selalu menghantui keseharianku. Jika diperkenankan, semua itu akan aku lakukan. Saat ini pun akan aku lakukan. Dimanakah keadilan yang selalu mereka koarkan? Tidak kah mereka tahu betapa sakitnya ditinggalkan orang-orang yang tak pernah ingin meninggalkan.