Mohon tunggu...
Budi Santoso
Budi Santoso Mohon Tunggu... karyawan swasta -

zonafiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Murti

11 Maret 2011   05:38 Diperbarui: 4 April 2017   18:09 99143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

I

Hitam Masa Lalu

Gosip tentang gatot semakin tersebar luas. Dari mulut ke mulut, gosip itu hinggap ke gang demi gang, lalu mampir ke desa desa sampai akhirnya seisi komplek tahu kalau gatot di jemput polisi pas tengah malam tadi. Orang orangpun berkata, gatot, seorang pemuda pengangguran telah mengangkat kembali pamor komplek sebagai tempat judi nomor wahid di kota. Dulu komplek ini memang dikenal sebagai tempat lahirnya para penjudi kelas kakap. Tapi sejak beberapa tahun belakangan cerita itu tak pernah terdengar lagi. Entah karena tobat atau karena takut, orang orang seakan sepakat untuk menghapus cerita itu.Dan di depan komplek kini sudah di bangun polsek. Beberapa polisi juga tinggal di sini. Tiap malam ada ronda bergilir dari warga komplek. Pak camat juga punya rumah disini, tepat di belakang rumah gatot. Anak anak komplek hampir semuanya sekolah di madrasah yang berdampingan dengan polsek. Setiap ada kesempatan entah itu pengajian ataupun arisan, pak camat selalu berceramah yang intinya meminta warga agar terus menjaga ketertiban dan keamanan komplek serta menjaga nama baik komplek. Tapi tetap saja gatot dan judi merajalela. Tiap malam gatot berangkat ke pasar lama yang sudah jadi arena perjudian. Dan dia pulang ketika orang sibuk berangkat kerja. Dia selalu naik motor yang entah darimana dia dapatkan.

Sebenarnya sudah beberapa kali gatot di datangi polisi. Dia pernah di datangi ketua RT dan memberinya nasihat. Konon setiap ada yang datang ke rumahnya dan memberinya nasehat agar sadar dan tobat, gatot selalu mengangguk sopan kemudian masuk ke dalam. Pas keluar di pinggangnya sudah terselip golok. Konon juga pak RT langsung diam dan pergi begitu di beri hidangan golok. Maka tidak ada lagi yang berani datang ke rumahnya, takut kalau golok itu melayang sesuka hati. Semakin menjadi jadilah gatot sang penjudi. Tidak ada lagi yang berniat menghentikannya.

Satu satunya orang yang merasa sangat sedih adalah murti, yang kini sudah jadi istri pak camat. Gatot dan murti sudah berkawan akrab sejak kecil. Bahkan sampai sekarang mereka tinggal berdekatan, hanya dibatasi tembok setinggi setengah meter yang memisahkan dapur rumah gatot dengan dapur rumah pak camat. Selain menjadi istri pak camat, murti juga menjadi guru agama di madrasah. Tentu gosip tentang gatot membuat murti serasa di tohok dari belakang. Sama seperti yang lainnya maka murti juga tak kuasa menghentikan gatot.

Karena tak kuat membayar listrik maka pak camat memberi sambungan dari rumahnya ke rumah gatot dan itu gratis. Pun demikian dengan air, gatot setiap sore selalu mengambil bertimba timba air dari mesin pompa milik pak camat. Bahkan gatot juga menumpang jemuran di samping rumah pak camat. Murti sering dengan terpaksanya mendatangi rumah gatot untuk mencari pakaian suaminya yang terbawa bersama pakaian gatot. Entah gatot tidak sengaja atau memang sengaja mengambil pakaian suaminya murti tidak berani berprasangka. Dia takut menuduh gatot sebagai pencuri.

Gatot memang nakal, itu yang di ingat murti. Seketika murti teringat pada masa masa kecilnya bersama gatot. Ketika masih ingusan, gatot hanyalah bocah kurus kerempeng tapi punya wajah ganteng. Dia sering mendorong dorong gatot sampai terjatuh, membuat bocah itu menangis. Dulu gatot sangat cengeng, lebih suka bermain sama anak perempuan karena takut pada sesama bocah lelaki. Semasa kecil gatot dapat julukan bencong. Murti juga sering merasa malu kalau mengingat betapa ia dulu setiap hari mandi bersama gatot, ia sering menarik narik si manis milik gatot. Dan gatot selalu membalas dengan memukuli bukit kecilnya. Sampai kelas empat sekolah dasar ia masih sering mandi bareng gatot. Gatot juga sering belajar dan nonton tv di rumah murti sambil menunggu ayah murti pulang. Keluarga murti sudah menganggap gatot sebagai anak sendiri. Jadi setiap pulang kerja, ayah murti selalu membawakan gatot cemilan. Dulu gatot adalah anak yang baik dan penurut. Banyak sekali kenangan bersama gatot yang tak mudah dilupakan oleh murti.

Tapi gatot dulu lain dengan gatot sekarang. Ada yang bilang buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Gatot yang cuma sempat sekolah sampai kelas dua smp seakan mewarisi perilaku ayahnya. Siapa di seantero komplek yang tidak kenal ayah gatot. Para orang orang tua pasti tahu persis kelakuan cak karso, ayahnya si gatot. Kalau pagi cak karso memang bekerja normal sebagai sopir truck. Tapi begitu malam tiba cak karso beralih profesi, membuka warung kopi di pintu masuk komplek. Tentu bukan semata kopi yang dijual. Mulai dari air putih biasa sampai minuman anggur beralkohol luar biasa semuanya bisa didapat dan dinikmati dengan bebas, menemani permainan kartu dengan taruhan tak kalah luar biasa. Cak karso adalah pelopor judi yang membuat komplek ini begitu tersohor hingga keluar kota. Gatot kecil sering menemani ayahnya dan mengaku senang karena orang orang sering memberinya uang jajan. Gatot juga mengaku suka kalau di ajak minum minuman yang katanya berasa nikmat. Sejak itulah gatot kecil mulai menampakkan perubahan total. Dan semakin menjadi jadi ketika ibunya meninggal dengan tragis. Lek sumiah, ibunya gatot meninggal tak lama setelah tiga hari tiga malam di perkosa secara bergiliran oleh para begundal. Cak karso dengan kejamnya menjadikan istrinya sendiri sebagai tumbal permainan judi. Lek sumiah yang merupakan bunga desa akhirnya lebih memilih mengakhiri hidup daripada menanggung aib dan malu. Sedangkan cak karso tiba tiba raib, menghilang entah kemana meninggalkan gatot seorang diri.

Jadilah gatot anak sebatangkara, putus sekolah, hidup dari belas kasihan orang. Salah satu alasan yang jadi penyebab kuat dia menjadi penjudi kawakan. Toh sampai sejauh itu murti masih bisa menahan rasa sedihnya. Murti tetap memberikan listrik dan air gratis, juga masih membolehkan gatot menumpang jemuran. Seburuk apapun kelakuan gatot, dia adalah teman dekatnya. Gatot memang kurang ajar. Dia pernah mengintip murti mandi, juga sering menggoda murti kalau pulang dari mengajar. Murti merinding bila mengingat suatu ketika gatot datang ke rumahnya dalam keadaan mabuk berat, lalu masuk kamarnya dan menggerayanginya yang lagi tidur. Murti mengira itu adalah pak camat suaminya maka iapun diam saja. Ketika murti berbalik terkejutlah ia karena yang sedang menciumi punggungnya adalah gatot. Sejak kejadian itu murti selalu mengunci semua pintu dan jendela bila sendirian di rumah. Dia takut gatot akan masuk sesuka hati.

Sampai tersiar berita yang masih dari bisik bisik warga komplek. Gatot tidak hanya berjudi di pasar lama. Gatot diam diam sering mengajak teman temannya untuk berjudi dan minum sampai teler di rumahnya. Jelas itu adalah hal yang mencemaskan murti. Bahkan sering juga ada perempuan yang menginap di rumah gatot sampai berhari hari. Yang jelas perempuan itu bukan istri gatot karena sampai umur tigapuluhdua tahun ini gatot masih seorang duda. Bisik bisik tetangga itulah yang membuat murti perlu berdialog dengan pak camat.

"mas joko, pepatah bilang nila setitik akan merusak susu sebelanga".

"artinya?", joko sang pak camat bertanya.

"masa sih mas joko nggak tahu. Artinya sebanyak apapun kebaikan yang kita lakukan akan rusak oleh keburukan", murti menjawab sambil memperbaiki posisi berbaringnya.

"apa hubungannya dengan kita murti?".

"bukan kita mas. Tapi komplek kita ini".

"maksudmu tentang gatot?".

Murti mengangguk. Pak camat menarik napas panjang. Murti menunggu pak camat bicara tapi suaminya itu cuma tersenyum. Murti terpaksa ikut tersenyum. Senyum yang kecut dan kelu. Setelah itu mereka tak bicara lagi karena lebih memilih untuk meneruskan keintiman yang tertunda. Murti ingin berkata sesuatu tapi kemudian sadar kalau apa yang ada dipikirannya bisa saja membuat pak camat kecewa. Sambil membiarkan pak camat menjelajahi tubuhnya murti juga membiarkan angannya terbang menjelajahi masa lalunya bersama gatot kecil.

Bagi kebanyakan warga komplek, gatot muda dan murti muda bagaikan rama dan sinta. Gatot yang ketampanannya mewarisi kecantikan lek sumiah sangat cocok dan serasi bila sudah berjalan berdua dengan murti yang memang sudah cantik sejak bayi. Setiap ada acara agustusan di komplek, gatot dan murti selalu berpasangan bila tampil di panggung. Gatot yang masih lugu dan pemalu sering membuat warga tertawa bila sudah di jahili murti diatas panggung. Pokoknya dimana saja dan mau kemana saja keduanya selalu bersama.Murti ingat ketika baru masuk sma ayahnya sering meminta tolong pada gatot agar mengantarnya ke sekolah. Gatot yang pengangguran senang saja mengantar murti ke sekolah karena kalau sudah berdua dalam mobil murti sering lupa diri kalau sudah bukan anak kecil lagi. Tingkah murti masih seperti bocah dan menganggap gatot masih bocah juga. Gatot senang karena murti cuma mengikik geli tiap kali dia meremas buah dada yang lagi ranum ranumnya. Gatot senang karena murti cuma merem melek kalau dia mengelus dan menjilati paha yang sedang mulus mulusnya. Itu setiap hari gatot lakukan kalau mengantar murti sekolah. Sampai akhirnya murti sadar bahwa itu terlarang. Sejak sadar itulah murti tidak mau lagi diantar gatot. Terakhir murti diantar gatot dan dalam mobil gatot berusaha memelorotkan celana dalamnya. Murti yang sudah sadar berusaha mempertahankan diri namun karena kalah kuat diapun cuma bisa menangis. Ajaib, tangisannya itulah yang membuat gatot menghentikan niat busuknya. Padahal rok dan celana dalam murti sudah teronggok di jok belakang. Tuhan memang maha besar dan murti masih tetap perawan. Sejak saat itu gatot tak pernah lagi mengantar murti. Dan murti kemudian mengganti seragam sekolah dengan seragam muslimah dan berkerudung. Sejak gagal memperkosanya, murti tidak pernah lagi melihat gatot berkeliaran di komplek.

Kemudian murti tahu kalau ternyata gatot menyewakan rumah peninggalan orang tuanya dan menggunakan uang hasil sewa rumah itu untuk pergi merantau ke luar pulau. Orang orangpun senang dan berpikir kalau gatot tidak seperti ayahnya yang pemabuk dan penjudi. Umur delapan belas tahun gatot sudah meninggalkan komplek. Enam tahun sejak meninggalkan komplek, terdengar kabar yang makin membuat warga memanjatkan puji syukur. Gatot telah menikah dengan gadis anak ulama terkenal di perantauannya. Mau tidak mau gatot harus menyesuaikan dengan kehidupan istrinya. Setiap hari gatot memakai baju gamis dan menjadi tukang azan di masjid. Ketika gatot dipercaya oleh mertuanya untuk mengelola pondok pesantren, semakin besyukurlah warga komplek karena gatot benar benar berbeda dengan ayahnya.

Namun dua tahun kemudian gatot berubah. Kabar yang berhembus mengatakan kalau gatot mulai menyalah gunakan fungsi pondok. Dia mulai meniru perilaku ayahnya. Gatot mengganti musik qasidah dengan musik rock. Persatuan hadrah dia tambahi dengan konsep lagu mancanegara. Para santri tidak diwajibkan untuk sholat lima waktu. Santri pria tidak lagi dibatasi untuk bertemu santri wanita. Pengajian rutin berubah menjadi acara makan makan dan minum. Tentu saja mertuanya marah besar. Dan istrinya menanggung malu besar. Tidak sampai tiga tahun perkawinan itu kandas tanpa dikaruniai seorang anak. Tuhan pasti tidak meridhoi gatot menjadi seorang ayah karena takut akan menjadi seperti ayahnya. Gatot cerai dan mendapat harta bagi warisan dari istrinya berupa mobil dan uang tunai beberapa puluh juta.

Orang orang mulai yakin kalau gatot memang tak lebih baik dari ayahnya. Ketika gatot kembali pulang ke komplek maka ketika itulah perlahan tapi pasti dia merubah komplek menjadi seperti dulu. Harta yang di dapat dari hasil perceraiannya ludes dalam sekejap termasuk mobil. Awalnya gatot berjudi kecil kecilan bersama tukang tukang ojek tapi kemudian beralih ke judi yang lebih besar di pusatnya judi, yakni pasar lama. Toh semakin hari gatot bukannya semakin kaya, tetapi justru semakin hidup susah dengan tumpukan hutang disana sini. Sampai tersiar kabar kalau pas tengah malam tadi gatot di gelandang ke kantor polisi.

Murti menarik napas dan melemaskan urat urat setelah beberapa lama berada dalam himpitan pak camat. Tubuhnya yang masih terlihat segar dan montok telentang penuh keringat. murti mendehem ketika pak camat mau meminta lagi. Pak camat paham artinya itu. Murti membiarkan pak camat keluar kamar. Dia sendiri kemudian menyusul keluar untuk membersihkan diri dan sholat ashar. Sehabis sholat murti berjalan menuju dapur namun belum sampai disana dia mendengar bel rumah berbunyi diiringi ketukan pintu dan ucapan salam. Murti mengurungkan niat memasak dan berjalan menuju pintu. Begitu pintu terbuka, murti kaget setengah mati. Dhadapannya telah berdiri gatot dengan keadaan babak belur. Gatot berdiri menyandar pada kusen pintu seakan untuk menopang tubuhnya agar tak jatuh. Antara takut dan kasihan, murti mempersilahkan masuk namun gatot menolak dan tetap berusaha untuk berdiri tegak.

"murti, suamimu ada?", kata gatot dengan suaranya yang parau. Dulu suara gatot sangat bening dan jernih karena sering dipakai untuk mengaji dan qiro.

"ada. Untuk apa kamu cari suamiku?", murti agak khawatir juga kalau kalau gatot nantinya akan menyakiti suaminya.

"tak usah takut murti. Aku tidak akan menyakiti siapapun. Tolong panggilkan saja pak camat".

Murti masuk ke dalam dan tak lama kemudian keluar menemui gatot bersama suaminya. Melihat keadaan gatot, pak camat yang tadinya agak takut menjadi kasihan. "ada apa gatot? Masuk saja ke dalam", pak camat menuntun gatot dan mendudukkannya di kursi ruang tamu. Murti bergegas kebelakang untuk membuat minuman lalu muncul lagi dan duduk di samping suaminya.

"saya sangat memohon bantuan pak camat", kata gatot tanpa berani menatap murti. Gatot cuma berani mengangkat wajahnya sesekali untuk memandang pak camat lalu menunduk.

"kalau itu masih di dalam kemampuan saya, pasti kamu akan saya bantu gatot".

"saya ingin meminjam uang pada pak camat".

"berapa?".

"sepuluh juta pak. Untuk bayar hutang. Kalau sampai besok saya tidak bisa melunasi, polisi akan menahan saya".

Murti dan pak camat saling berpandangan dalam berjuta makna. Sepuluh juta adalah jumlah yang besar apalagi yang meminjam adalah gatot, seorang penjudi. Mereka bimbang. Sejujurnya mereka dan semua warga komplek senang kalau gatot di penjara agar kehidupan warga tenang tapi di sisi lain naluri kemanusiaan mereka bicara. Alangkah kasihan kalau gatot harus mendekam di penjara cuma gara gara hutang. Apalagi ketika kemudian gatot menyodorkan sertifikat tanah dan bpkb motor diatas meja, semakin bimbanglah mereka. "untuk apa semua ini gatot".

"itu adalah jaminan yang bisa bapak simpan. Saya sangat memohon pak", pinta gatot melas.

Murti menangis dalam hati. Gatot yang kini di hadapannya tak ubahnya dengan gatot semasa masih bocah yang menangis bila menginginkan sesuatu. Gatot kini memang tidak menangis tetapi murti tahu pria itu berjuang agar tidak menjatuhkan airmata. Pak camat mengajak murti kedalam dan berbisik bisik. Intinya mereka berdiskusi antara memberi atau tidak. Sejurus kemudian mereka mengangguk angguk dan keluar lagi menemui gatot.

"saya akan bantu kamu gatot. Untuk sementara biar semua ini kami simpan".

"silahkan pak camat. Saya sangat berterima kasih".

"ini juga sedikit buat pengobatanmu. Pergilah ke puskesmas".

"sekali lagi terima kasih murti. Pak camat, saya mohon diri".

"nanti malam saya antar uangnya ke rumahmu gatot".

"baik pak camat. Assalamualaikum".

"waalaikumsalam".

Pergilah gatot. Tinggal murti dan pak camat yang memandang kepergiannya dengan nanar. Gatot, pria paling ditakuti di komplek kini seperti kehilangan kegarangannya. Tubuhnya sempoyongan berjalan pulang. Pak camat dan murti menghela napas lalu menutup pintu. Dalam lubuk hati terdalam murti berharap semoga do'a yang selama ini dia panjatkan demi memohon kebaikan gatot terkabul. Dia dan semua warga komplek ingin menyaksikan gatot bertobat yang sebenar benarnya tobat. Murti bahkan ikhlas seandainya gatot tidak mampu membayar hutang padanya asalkan pria itu menunjukkan perubahan yang nyata.

"mas joko ada ide?".

"ada. Aku bahkan akan mempekerjakan dia sebagai sopir kita".

"apa mas joko tidak malu menanggung beban seorang penjudi dan pemabukseperti gatot? Ingat nama baik mas sebagai camat".

"setiap orang bisa bertobat murti. Semoga hari ini adalah hari pertobatan bagi gatot".

Murti mengannguk membenarkan perkataan pak camat. Tuhan memberi kesempatan pada umatnya untuk bertobat. Semoga gatot tidak menyia nyiakan kesempatan itu. Murti ingin melihat gatot sholat dan mengaji seperti dulu. Murti ingin mendengar suara gatot mengumandangkan azan di musholla komplek seperti dulu. Yang terpenting lagi murti ingin gatot berhenti judi dan mabuk.

Itu adalah awal kisah murti dan gatot, dua insan yang seperti di takdirkan untuk saling bersama. Kini gatot telah kembali dalam lingkaran kehidupan murti. Gatot menjadi sopir pak camat dan keluarganya. Gatot kembali mengantarkan murti kemana saja meski tidak seperti dulu lagi. Murti tidak lagi mengumbar kemolekan tubuhnya. Dia selalu keluar berbusana muslimah untuk menjaga image sebagai istri seorang camat, juga sebagai guru madrasah yang digugu dan ditiru para muridnya.

Setiap pagi gatot mengantar murti terlebih dahulu ke madrasah, baru kemudian mengantar pak camat ke kantor dan siap siaga di kantor kecamatan menanti perintah pak camat. Jam satu siang gatot meninggalkan kantor sebentar untuk menjemput murti dan mengantar murti pulang lalu balik lagi ke kecamatan sampai jam lima sore, waktu bagi pak camat pulang ke rumah. Tak terasa rutinitas seperti itu sudah berjalan selama dua bulan. Seperempat gaji yang diterima gatot dipotong oleh pak camat sebagai cicilan hutang yang sebesar enam juta tanpa bunga. Hari minggu gatot diberi libur tapi gatot tak pernah mengambil jatah libur dan tetap bekerja di hari minggu karena pak camat menghitung sebagai lembur. Jadi kalau hari minggu gatot siap siaga di teras rumah pak camat, menunggu siapa saja yang minta di antar.

"gatot, mau ikut bapak mancing?", ajak pak camat suatu ketika di hari mingguyang cerah.

"mancing kemana pak?".

"kolam pakuan. Ikannya besar besar di situ".

"baik pak. Saya pulang dulu ambil pancing".

"tidak usah. Ada pancing nganggur di dapur. Kamu pakai itu saja".

Gatot mengangguk dan bergegas menuju dapur. Sampai di dapur gatot bertemu dengan murti yang sedang masak. Murti agak kaget dengan kemunculan gatot karena kalau memasak dia tidak pakai baju muslimah. Kalau memasak murti berpakaian biasa, pakai daster yang kainnya tipis, kalau tertiup angin kain itu berkibar kesana kemari. Untung saat itu tidak ada angin. Melihat gatot berjalan sambil menunduk, murti semakin tenang saja dan melanjutkan memasak.

"maaf murti, dimana pak camat menyimpan pancingnya?".

"itu di sudut dapur. Kamu mau ikut mancing?".

"iya. Pak camat yang ngajak".

"semoga dapat ikan banyak. Bisa buat makan nanti malam".

Gatot memandang murti yang kebetulan juga memandangnya dengan senyum yang sulit diartikan. Tak mau pak camat menunggu lama dan tak mau masakan murti gosong maka gatotpun meninggalkan dapur. Sejurus kemudian terdengar mobil meninggalkan halaman rumah.

Dalam kesendiriannya murti menghela napas,mengusir pikiran pikiran aneh yang tiba tiba datang. Hatinya terasa nyeri saat bertatapan dengan gatot tadi. Entah kenapa dia harus tersenyum sedemikian rupa pada gatot. Murti sadar kalau senyumannya tadi telah membuat gatot terpana. Tapi murti melihat gatot telah mengalami perubahan nyata. Tatap mata gatot tidak liar penuh nafsu. Gatot juga lebih sering menunduk bila bertemu atau bersamanya. Murti mulai merasa aman dengan keberadaan gatot, tidak takut lagi seperti saat hari pertama gatot menjadi sopir.

Dalam kesendiriannya itu juga murti memikirkan perjalanan rumah tangganya. Selama tujuh tahun menjalani mahligai suci bernama perkawinan, hingga kini belum ada tanda tanda akan hadirnya seorang anak. Murti kerap bertanya tanya dalam hati apa gerangan penyebabnya. Dia dan pak camat sudah puluhan kali memeriksakan diri ke sejumlah dokter dan semuanya menyatakan kedua pihak subur. Setiap kali berhubungan intim, murti selalu berharap itu bukan hubungan rutin biasa antara suami istri, tetapi juga hubungan yang bisa menghasilkan buah hati. Dia selalu bedo'a semoga setiap sperma yang masuk ke rahimnya bisa menemukan sel telur. Tapi hingga kini semuanya seakan terbuang sia sia. Tenaga dan keringat yang setiap malam selalu dia korbankan rasanya tiada arti. Rahimnya tetap kosong, seiring dengan hampanya suasana hidup tanpa tangisan seorang bayi. Dan di hari minggu ini pak camat suaminya malah pergi memancing, padahal dia sudah merasa siap dan dalam keadaan paling memungkinkan untuk menghasilkan telur yang bisa di buahi. Murti merasakan hormonnya sedang dalam masa masa paling subur. Dan dia berpakaian daster setipis ini juga demi memunculkan rangsangan pada suaminya. Tapi semua yang dia harapkan tidak terjadi dan murti harus kembali pada kenyataan bahwa dia memang belum di percaya memiliki anak.

Murti menata masakan yang sudah matang di meja makan, menarik kursi lalu duduk seorang diri sambil menyuapkan nasi ke mulut. Tidak ada selera sama sekali. Murti mengakhiri makannya dan merenung dalam kamar. Tidak banyak yang bisa dilakukannya selain bergelimpangan kesana kemari dengan gelisah. Tak lama kemudian murti tertidur dengan pintu kamar terbuka, dengan daster yang tersingkap sampai batas paha. Murti tidur dengan lelah hati memikirkan berjuta juta problema.

Sayup sayup murti mendengar pintu depan diketuk berkali kali disertai salam dan teriakan seseorang memanggil namanya. Murti menganggap itu adalah mimpi di siang bolong yang menghiasi tidurnya. Semakin keras saja ketukan pintu sampai murti sadar itu bukan mimpi. Terlebih ketika pintu itu berderit terbuka dan terdengar derap langkah halus mendekati kamar. Murti sudah yakin itu adalah pak camat suaminya karena yang memegang kunci serep cuma suaminya. Cuma murti heran tidak biasanya pak camat pulang secepat ini bila memancing. Pas orang itu berdiri diambang pintu kamar yang masih terbuka, barulah murti sadar bahwa yang datang memang bukan pak camat.

"gatot!".

"iya murti. Pak camat menyuruhku jemput kamu".

"jemput kemana?".

"pak camat bilang kamu harus pergi ke arisan darma wanita".

Astaga, murti menepuk keningnya penuh sesal. Dia lupa kalau hari minggu ini harus hadir untuk membuka arisan. Untung masih belum terlambat. Arisan dimulai jam empat sore sedangkan ini baru setengah tiga. Berarti cukup lama juga dia tidur. "baiklah gatot. Tunggu sampai saya selesai ganti baju".

"saya tunggu diluar".

"tunggu saja disini, tapi jangan menghadap ke arahku".

Murti sudah merasa kepalang tanggung. Dia sedari tadi bicara dengan berbaring, dengan daster tersingkap sana sini, dengan rasa malu yang hilang entah kemana. Keberadaan gatot tidak menjadi masalah baginya untuk mengganti daster dengan gaun lain. Selama masa pergantian baju itu, selama itu juga waktu bagi gatot untuk menahan mati matian semua hasrat. Gatot berjuang membunuh birahi. Meskipun murti memintanya membelakangi, namun tetap saja wujud bahenol itu terlihat nyata bagi gatot yang berdiri menghadap cermin besar.

"gatot, tolong pasangkan bagian belakang gaunku".

"itu tidak boleh murti".

"aku membolehkan. Kamu cuma akan melihat punggungku saja gatot. Tolong agak cepat".

Gatot merasakan hal yang pernah dirasakannya puluhan tahun silam begitu menyaksikan punggung murti. Ketika jemarinya memasang satu persatu kancing gaun murti, maka satu persatu setan laknat coba menggoyahkan iman. Gatot sudah kebal berhadapan dengan setan jenis apapun tapi untuk setan manis seperti ini, hati dan birahi siapa yang tahan.

"aku pernah coba memperkosamu murti. Tidakkah kamu takut hari ini itu terjadi?".

"aku tidak pernah merasa kamu perkosa gatot. Kejadian itu karena kita sama sama tidak tahu. Sekarang kita sama sama mengerti".

Gatot menelan ludahnya yang terasa kecut. Sepanjang perjalanan gatot dan murti tidak bicara sepatah katapun. Bayang bayang masa kecil membuat keduanya cuma bisa berbagi senyuman. Tidak ada kelanjutan dari senyum yang mengambang di udara sore itu, sampai tiba di kantor kecamatan tempat murti arisan.

"bilang ke pak camat agar menjemput jam setengah enam".

"baik murti. Selamat tinggal".

Murti melangkah ke pendopo dimana para ibu ibu sudah berkumpul. Bisik bisik diantara para ibu langsung berhenti begitu murti lewat. Murti bukannya tidak tahu dan tidak mendengar apa isi gunjingan para ibu. Telinganya cukup sehat untuk menyimak namanya di sebut sebut dalam gunjingan itu. Sudah kebiasaan para ibu untuk bergosip disetiap kesempatan. Apalagi bu marni istri pak sekcam juga hadir. Murti seratus persen yakin gosip itu berawal dari mulut usil bu marni.

"apa arisan sudah bisa dimulai ibu ibu?".

"silahkan dibuka saja bu murti".

Seperti biasa murti memimpin para ibu menyanyikan lagu mars darma wanita. Setelah itu dia memberi beberapa sambutan dan pengumuman yang berhubungan dengan kegiatan darma wanita. Murti merasakan pandangan bu marni seperti menelanjangi dirinya. Tahu apa si marni tentang diriku, bisik hati murti sebal. Dia sudah merasa jemu dan kesal namun sebagai pembina darma wanita tingkat kecamatan dia harus mengikuti acara arisan sampai akhir.

"bu murti, bagaimana kalau pertemuan berikutnya kita bahas masalah poligami dan poliandri?", usul dari bu fatimah.

"jeng fatimah ada ada saja. Kita kan sudah tahu kalau itu dilarang", jawab bu marni menimpali.

"ada baiknya juga usul bu fatimah itu. Biar kita para ibu ini lebih jelas dan paham gitu", kata bu yati yang membuat bu marni merengut.

"baiklah. Pertemuan bulan depan kita bahas itu. Nanti saya koordinasikan dengan ibu bupati", kata murti memutuskan sekaligus menutup acara.

Arisanpun bubarbarbar tetapi bisik bisik para ibu tetap berlanjut. Murti segera meninggalkan pendopo karena melihat mobil dinas suaminya sudah menunggu di luar. Lagi lagi cuma gatot seorang diri yang ada dalam mobil.

"mana pak camat tot?".

"masih di kolam pancing. Bapak minta saya jemput kamu".

"langsung pulang saja".

Murti masuk ke mobil diikuti tatapan mata para ibu yang sedari tadi memang terus terusan menggunjingnya. Hari minggu yang benar benar menyebalkan bagi murti. Tidak ada satu halpun yang berpihak padanya di hari ini. Semua menyudutkannya.

"ada apa murti?".

"tidak ada apa apa".

"kita ini bersama dari kecil murti. Aku tahu sesuatu telah membuatmu gelisah".

"dulu satu satunya hal yang membuatku gelisah adalah ulah dan perbuatanmu. Sekarang ada banyak hal yang membuatku gelisah".

"terima kasih kamu masih mau memikirkan teman kecilmu yang sontoloyo ini".

"gatot, kuharap kamu tidak kembali ke jalan menyesatkan itu".

"aku akan berusaha murti".

"berusahalah demi pertemanan kita".

Murti dan gatot berpisah di jalan depan rumah. Gatot sekali lagi harus bolak balik antara rumah dan kolam pancing untuk memenuhi perintah majikannya. Sedangkan murti sekali lagi harus kembali masuk ke dalam kamar sambil menunggu pak camat pulang. Dulu dimasa kecil, kamar ini menjadi tempatnya bermain bersama gatot, dari permainan biasa seperti halma, dakon, main monopoli, sampai permainan luar biasa seperti saling kejar, saling bergulingan, saling piting sana sini, dan saling tarik menarik inainu. Semua terjadi tanpa aturan, tanpa ada batas. Dan kini kamar ini menjadi tempat permainan luar biasa antara dirinya dan pak camat. Nah, itu dia pak camat pulang. Suara derap kakinya sudah di hapal oleh murti.

"murti, lihat yang kubawa pulang".

"banyak sekali mas. Jangan jangan beli di pasar".

"ya ampun murti, ini hasil pancinganku dan pancingan si gatot. Dia memberikan pada kita".

"lalu mana gatot?".

"langsung pulang. Kamu masak yang enak ya. Jangan lupa anterin sebagian ke rumah gatot".

"mas joko sajalah yang ngantar ke sana. Nggak enak di lihat tetangga".

"ya antar lewat belakang dong. Ternyata gatot itu luar biasa murti, nyambung kalo diajak ngomong".

"ya sudah mas joko mandi dulu. Baunya bikin eneg".

Murti membawa ikan hasil tangkapan ke dapur. Butuh waktu hampir dua jam mengolah ikan ikan itu sampai menjadi masakan yang lezat. Murti berusaha membuat masakannya senikmat mungkin karena bukan hanya akan dimakan keluarganya saja, tetapi juga akan dimakan oleh gatot. Ada rasa ragu antara ya dan tidak untuk mengantar masakannya ke rumah gatot. Murti putuskan untuk mengantar. Dibalik keremangan malam, dia mengendap endap lewat belakang rumah lalu melintasi tembok dan dalam sekejap sampai di dapurnya gatot.

Hati murti terkesiap. Dari ruangan tengah terdengar suara merdu gatot mengaji, melantunkan ayat suci. Murti seketika tunduk menitikkan airmata, memanjatkan puji pada Tuhan. Gatot benar benar insaf. Benar benar ingin mengakhiri kebobrokannya. Murti meletakkan masakan di atas meja lalu merayap halus mendekati asal suara. Matanya nanar melihat gatot khusyuk dihadapan alquran. Murti tak mau mengganggu dan kembali merayap ke belakang, melintasi pagar dan sampai di dapurnya sendiri.

"sudah kamu antar?".

"sudah mas. Gatot lagi sholat jadi kutaruh saja diatas mejanya".

"bagaimana dengan arisan darma wanitanya murti?".

"seperti itulah mas. Ibu ibu berkumpul cuma untuk menggosip".

"membicarakan tentang kita kan?".

"kok mas joko tahu?".

"telingaku ini masih bolong semua murti. Ke kamar yuk".

"masih juga jam segini. Nonton tv dulu ya mas".

"tapi nonton tv sambil anu ya".

Murti mesem dan pak camat langsung kesengsem. Tak ada rotan akarpun jadi. Tak ada tempat tidur, karpetpun jadi. Murti asyik menonton sex and the city sementara pak camat sibuk sex bersama istri. Murti ngiler melihat tubuh seksi para artis luar negeri sedangkan pak camat airliurnya sudah mengalir disekujur tubuh seksi si murti. Ketika film di tv sudah the end maka pak camat masih pengen. Tv sudah mati tapi barang pak camat masih tegak berdiri. Sampai keduanya sama sama menegang lalu terkulai lemas.

"kita sudah berjuang sekeras ini tapi belum ada hasilnya juga ya murti".

"sabar mas. Semuanya Tuhan yang menentukan".

"yang penting kita sudah berusaha kan murti".

Murti tersenyum mencoba untuk berbesar hati. Semua memang butuh kesabaran karena orang sabar akan dapat imbalan yang setimpal. Seperti orang orang komplek yang sabar menanti gatot bertobat dan kini kesabaran itu membuahkan hasil.

***

Gatot semakin betah bekerja di rumah pak camat. Pak camat juga semakin menaruh kepercayaan pada gatot. Jika sebelumnya gatot cuma di beri jabatan sopir, sekarang jabatannya bertambah satu yakni sebagai penjaga malam di rumah pak camat, otomatis juga gajinya meningkat. Jadi sekarang gatot jarang menempati rumahnya karena lebih sering berkeliaran di sekitar rumah pak camat. Meskipun sudah tobat, tapi orang orang tetap menaruh segan dan takut pada kegarangan gatot. Atas dasar itulah pak camat mempercayai gatot banyak hal. Memberi gatot kebebasan keluar masuk rumah. Para tamu pak camat juga merasa nyaman dan tenang tanpa perlu takut kehilangan motor. Dulu memang pernah ada kejadian motor salah satu tamu pak camat hilang saat di parkir di depan pagar. Ketika itu secara tidak langsung orang orang mengarahkan tuduhan pada gatot. Untung tuduhan itu tak terbukti. Lebih untung lagi gatot tidak tahu kalau dirinya di tuduh mencuri. Seandainya gatot tahu entah apa yang terjadi pada komplek. Bisa jadi ada beberapa orang mati tersambar golok maut si gatot. Sekarang gatot tidak pernah lagi membawa golok itu. Cuma pak camat dan murti saja yang tahu bahwa gatot selalu menyelipkan celurit kecil dibalik jaketnya kemanapun pergi. Celurit kecil yang bisa membawa bencana besar jika ada mencoba macam macam.

"rokok tot", pak camat menawari gatot rokok saat duduk duduk santai di teras depan.

"terima kasih pak", gatot mengambil sebatang lalu menyulut menggunakan korek zippo milik pak camat dan mengebulkan asap rokok itu sampai ke dalam rumah, tercium oleh murti yang menonton sinetron.

"ada pegawai kantor yang sering menanyakan kamu", kata pak camat.

"siapalah saya ini kok sampai ada yang menanyakan", jawab gatot merendah. Murti mulai tidak serius nonton sinetron mendengar obrolan itu. Murti lalu beringsut sedikit agar bisa mendengar lebih jelas.

"bapak serius tot. Si dewi itu yang sering nanyakan kamu".

"saya yakin mbak dewi itu cuma bercanda pak camat".

"gatot, kalau bercanda itu tidak mungkin tiap hari nanya terus. Dewi perempuan yang baik kok".

"justru karena itu pak. Seorang duda yang bergelimang dosa sangat tidak pantas buat perempuan manapun".

"kamu terlalu pesimis. Padahal bukan cuma dewi yang tanya seputar kamu. Banyak lho gadis komplek ini yang naksir kamu".

"saya belum ada niat untuk memulai lagi pak".

"ya sudah. Sebelumnya bapak mohon kamu tidak tersinggung dengan pertanyaan bapak ini".

"pak camat mau menanyakan apa?".

"tentang ayahmu. Bapak dengar dari cerita murti ayahmu menghilang dan sampai sekarang tak ada kabar".

Gatot mengangguk. Seumur umur belum pernah ia memikirkan tentang ayah kandungnya namun pertanyaan pak camat membuat bayang bayang ayahnya kembali muncul. Gatot ingat hari hari terakhir dia bersama ayah ibunya. Saat itu malam sangat buta. Dia duduk di warung ayahnya, menonton ayahnya mengadu untung dengan berjudi besar besaran. Betapa dia melihat uang taruhan ayahnya sedikit demi sedikit beralih tangan sampai uang itu ludes sama sekali. Tapi ayahnya tidak berhenti berjudi, bahkan kemudian berunding dengan musuhnya. Perundingan yang tampaknya disetujui karena kemudian judi berlanjut. Ayahnya sempat menang beberapa kali tapi kemudian lebih banyak kalahnya. Dan ayahnya yang kalah total lalu membawa tiga musuhnya ke rumah. Gatot ingat betul teriakan minta tolong ibunya yang ditelanjangi kemudian diperkosa ketiga lelaki itu. Gatot mendengar tangisan ibunya yang menyayat hati sementara ia tidak melihat ayahnya sama sekali. Tiga hari tiga malam gatot mendengar berbagai ratapan, tangisan, sumpah serapah ibunya. Selama tiga malam pula tiga lelaki itu tidak keluar sama sekali dari kamar ibunya. Pada malam keempat tiga lelaki itu keluar dan pergi begitu saja. Gatot yang masuk kamar ibunya terkejut melihat sebilah pisau menancap tepat dijantung ibunya yang telanjang bulat. Ibunya mati. Orang orangpun berduyun duyun datang dan bilang kalau ibunya mati bunuh diri. Tetapi gatot yakin ibunya mati dibunuh tiga begundal itu. Wajah tiga orang itu masih diingat gatot sampai sekarang, sama dengan ingatannya tentang wajah sang ayah. Semua telah menjadi musuh dalam hatinya.

"saya tidak ingin orang menanyakan ayah saya. Siapapun", kata gatot dengan suara bergetar menahan marah. Beruntung murti muncul dan dengan gerakan yang anggun menyuguhkan kendi berisi air dingin. Seketika jiwa gatot yang sempat membara jadi dingin tersiram gerakan itu, juga tersiram oleh air yang mengalir ke tubuh. "maafkan kalau saya agak kasar pak camat".

"seharusnya bapak yang minta maaf. Lanjutkan saja tugasmu ya".

"ya pak. Kalau butuh sesuatu panggil saja saya".

Pak camat masuk meninggalkan gatot. Sampai di dalam rumah lengannya di tarik menuju kamar oleh murti. Pak camat sampai hampir jatuh saking kerasnya seretan itu. "apa apaan sih kamu murti", tegur pak camat agak marah. Mereka sudah ada di kamar dan murti mengunci pintu, juga menutup tirai kamar.

"mas joko gimana sih? Saya kan sudah bilang jangan pernah tanyakan hal itu ke gatot".

"jadi kamu nguping ya?", kata pak camat mulai lunak.

"bukannya nguping mas. Tapi aku khawatir mas nanya yang macam macam ke gatot. Nyatanya terbukti kan?".

"aku cuma ingin tahu saja murti. Siapatahu gatot mau berbagi masalah pribadinya pada kita".

"tapi gatot itu sangat sensitif kalau ditanya keluarganya. Untung tadi gatot cuma gusar".

"maaf deh. Aku janji nggak bakal nanya nanya itu lagi".

"aku nggak mau kehilangan mas joko".

"kalau aku mati kamu kan bisa kawin lagi. Kamu masih terlihat muda, masih seksi dan bahenol, masih...........

Pak camat tak meneruskan kata kata karena murti menghujaninya dengan cubitan. Dari sekedar cubit mencubit kemudian berkembang jadi jepit menjepit. Tapi keduanya memang lagi tidak berselera. Pak camat menjauhkan wajahnya dari buah dada murti yang masih ranum dan montok.

"aku mau pergi menemui pak hasan. Kamu di rumah saja ya".

"tapi jangan pulang terlalu malam ya".

"tidak usah takut. Ada gatot yang berjaga di depan", pak camat mencium bibir murti sebelum keluar kamar. Kemudian murti mendengar deru mobil menjauh dan hilang di keramaian jalan.

Murti melangkah keluar kamar menuju teras, duduk menemani gatot yang juga masih ada diteras. Keduanya duduk bersebelahan, dibatasi meja kecil yang memisahkan kursi mereka. Seperti biasa, keduanya saling diam terlebih dulu sampai bermenit menit, lalu saling tersenyum, dan kemudian tawa merekapun pecah.

"apa yang kamu tertawakan murti?".

"tidak ada tot. Aku cuma menertawakan diriku sendiri".

"bohong. Kemana pak camat pergi?".

"ke rumah pak hasan. Ada urusan kantor bilangnya. Kuambil cemilan dulu ya", murti berkelebat kedalam, tak sampai satu menit keluar lagi dengan mendekap toples berisi keripik singkong. Diletakkan toples itu dimeja. Angin malam berhembus agak kencang, juga agak nakal karena membuat murti sibuk menahan roknya agar tidak tersingkap.

"kamu sudah bersuami murti. Tidak baik duduk duduk seperti ini".

"semua orang dikomplek ini tahu kalau kamu temanku sejak kecil".

"tapi tetap saja ada yang berpikiran lain".

"sudahlah. Jangan bahas itu lagi. Bahas yang lain saja".

"aku cuma mau jujur di usia setua ini kamu masih cantik murti".

"gombal. Aku malah kagum denganmu tot. Sampai sekarang kamu masih bisa menarik minat gadis gadis muda".

"pasti pak camat yang cerita kan?".

"aku yakin cerita itu benar. Tinggal kamunya saja mau atau tidak".

"aku belum ada niat. Aku ini sudah gagal sekali murti".

"bagiku itu bukan masalah besar. Kamu bisa melupakan kegagalan itu dan memulai sesuatu yang baru".

"bagiku yang itu tidak mudah murti. Aku ingin orang yang benar benar mengerti tentang aku".

"satu satunya orang yang mengerti tentang kamu ya cuma aku".

"tapi kamu sudah jadi istri orang".

"kalau aku masih bujang gimana?".

"tetap saja aku tidak akan bisa kawin denganmu. Mana mau orangtuamu menerimaku".

"gatot, aku jujur pernah jatuh cinta padamu".

"ada ada saja kamu ini. Sudah malam, masuk saja sana".

Gatot meninggalkan teras, meninggalkan murti yang masgul dengan ucapannya sendiri. Pantas kalau gatot pergi, mungkin dia tidak nyaman dengan pembicaraan ini, bisik hati murti. Tapi murti yakin bukan semata kata katanya tadi yang membuat gatot pergi. Pasti ada hal lain yang mengganggu pikiran gatot. Itu bisa terlihat dari tingkah laku gatot yang berjalan hilir mudik dari halaman depan sampai halaman belakang. Begitu terus sampai bolak balik, sampai murti hilang kesabaran.

"apa sih yang kamu cari tot?", teriak murti dari teras.

"namanya berjaga ya begini ini murti", gatot balas teriak dari ujung halaman depan.

"ya sudah. Tunggu sampai pak camat pulang setelah itu kamu boleh istirahat".

Murti meninggalkan teras. Sepeninggal murti, gatot malah kembali duduk di tempatnya yang tadi, bersiul siul kecil sambil menghabiskan sisa keripik singkong dalam toples. Ketika dilihatnya handphone murti tertinggal di meja, dia memanggil murti. Terdengar suara murti menjawab dan menyuruhnya agar mengantar handphone itu ke dalam. Gatot masuk sampai ke ruang tengah, mendapati murti tengkurap menonton berita malam. Berita tentang ditemukannya buronan paling dicari polisi. Buronan yang telah bertahun tahun lamanya malang melintang di dunia hitam, yang sudah menghabisi berpuluh puluh nyawa, pembunuh bayaran paling mahal di seantero jagad bumi. Buronan yang akan di dakwa dengan pasal berlapis lapis, dengan hukuman penjara minimal seumur hidup dan maksimal hukuman mati. Buronan itu bernama sukarso, sebuah nama yang seketika memaku gatot ditempatnya berdiri, juga nama yang mengejutkan murti. Murti yang masih tengkurap dengan cepat berdiri di samping gatot, mencengkram lengan gatot kuat kuat, mencegah gatot agar tidak limbung setelah melihat dengan pasti wajah buronan itu. Tidak salah lagi. "itu cak karso, ayahmu tot".

"benar murti. Itu memang ayahku".

"istighfar gatot, kuatkan hatimu", murti hendak mengubah saluran tapi gatot melarang. Wajah karso berkali kali ditayangkan secara langsung disertai riwayat kejahatannya yang membuat gatot serasa ingin membanting tv. Murti buru buru mengantar gatot pulang lewat pintu belakang. "kamu dirumah saja tot. Biar nanti aku bilang ke pak camat kalau kamu sakit".

"terima kasih murti. Aku akan baik baik saja".

Maka pecahlah suasana malam itu di komplek. Berita tertangkapnya cak karso menyebar dari mulut ke mulut, dari pintu ke pintu, dari pintu masuk sampai ujung komplek semuanya pada ribut dengan berita itu. Di jalan jalan orang berkerumun cuma untuk membicarakan tentang cak karso. Para bapak sampai rela meninggalkan istri masing masing. Ada yang keluar cuma pakai sarung, ada yang masih tertempel lipstick istrinya, ada juga yang berpakaian ala manusia purba saking semangatnya berkumpul untuk membicarakan satu nama putra asli kelahiran komplek, cak karso. Kantor polsek menjadi pusat para pencari berita. Pokoknya malam ini suasana komplek dan sekitarnya persis pasar malam. Lampu lampu jalan yang jam segini biasanya sudah mati khusus malam ini terang benderang, warung warung dan toko memperpanjang masa buka. Semakin malam, kerumunan orang di depan rumah gatot semakin banyak serta makin berisik, mengganggu pikiran gatot yang jiwanya sedang terguncang. Gatot merasa perlu untuk keluar rumah dan mengusir para manusia di depan rumahnya.

"pergi kalian semua dari sini. Pergi!!", teriakan gatot membahana sampai ke segala penjuru. Maka semburatlah orang orang itu berlarian tunggang langgang demi melihat gatot mengacung acungkan golok mautnya dengan kemarahan yang meluap luap. Pak camat dan murti yang juga mendengar teriakan gatot sampai harus melompat dari tidurnya. Sejenak keduanya saling pandang lalu menghambur ke belakang rumah, melompati tembok dan dalam sekejap sudah berada di tempat gatot mengacungkan golok. Tidak ada lagi orang selain mereka bertiga. Semuanya dilanda takut. Para tetangga yang dekat dengan rumah gatot kini menutup pintu rapat rapat, mengintip dari dalam rumah masing masing.

"tenang tot", pak camat menurunkan lengan gatot dan murti mengambil perlahan golok dari genggaman jari kekar itu. Gatot tidak melawan. "masuklah ke dalam tot. Biar bapak yang memberitahu warga komplek".

"saya cuma tidak senang mereka mengganggu ketenangan saya pak".

Tengah malam itu juga lagi lagi gatot didatangi oleh dua anggota polsek berseragam lengkap. Pak camat berbincang serius dengan dua polisi itu lalu mengangguk anggukkan kepala kemudian memandang gatot. "bapak bapak ini ingin bicara denganmu di kantor polisi tot".

"baik. Kalau tidak sibuk, pak camat boleh ikut".

Maka pergilah keempat orang itu ke kantor polisi. Pak camat menyuruh murti pulang. Murti mengangguk tapi masih tetap berada di dalam rumah gatot. Murti melangkah ke kamar gatot, berdiri tercenung sambil menahan jatuhnya airmata manakala ingat ini adalah kamar lek sumiah mengalami penyiksaan lahir batin sampai akhir hayat. Dia membayangkan lek sumiah berbaring di kasur itu, berbaring dengan senyum keibuan. Murti duduk di kasur, merasakan betapa kasur itu telah mengeras, tak layak untuk ditiduri. Murti lalu mendekati almari yang berpintu dua. Satu pintu tidak terkunci, pintu yang satunya dikunci dan digembok. Saking lamanya tak pernah dibuka, kunci dan gembok itu sampai berkarat. Murti membuka almari yang tidak terkunci dan tercekat. Matanya berkunang kunang menatap potret besar di lemari bagian atas. Potret dirinya sendiri ketika masih sma. Itu adalah potret dirinya yang diambil gatot di dalam mobil. Ada satu lagi potret tentang pernikahan terdahulu gatot. Murti menutup almari dan keluar kamar. Pintu pintu dia kunci dari dalam agar aman lalu dia menyelinap lewat pintu belakang, melompati tembok sebelum akhirnya sampai di dapurnya sendiri. Murti menarik napas yang terasa berat dan melangkah menuju kamar, mengucapkan beberapa lafal do'a sebelum memejamkan mata. Di sisa waktu malam, murti tertidur dan merajut mimpinya sendiri, tanpa ada pak camat yang biasa menemani.

Tahu tahu hari sudah pagi. Murti menggeliat, bengong sebentar kayak kera ompong, menoleh kesana kemari seperti orang bego, mengucek ucek mata yang masih separuh terbuka, lalu menoleh ke samping. Dia mengguncang guncang tubuh camat. Entah jam berapa semalam suaminya itu datang murti tidak tahu dan tidak merasa sama sekali. Tidurnya terlalu nyenyak.

"mas joko, bangun mas. Sudah siang nih".

"aku ngantuk murti. Lagian ini kan hari sabtu".

"ya sudah, aku mandi dulu".

Pak camat merapatkan selimut dan meringkuk melanjutkan tidur. Murti melempar selimut, melepas baju tidur, lalu berjalan keluar kamar menuju kamar mandi cuma pakai kutang dan cawet saja. Kutangnya adalah kutang mini yang cuma menutupi pentilnya saja, sedangkan buah dadanya yang lancip bergoyang mengikuti irama langkah kaki. Cawetnya juga cawet model luar negeri. Pas di ruang tengah murti melihat sesosok tubuh terbujur diam di depan tv. Tubuh milik gatot. Murti langsung melesat secepat kilat lari dari situ sebelum gatot terbangun. Mandinya juga terbilang cepat karena tidak sampai sepuluh menit dia sudah keluar dengan tubuh dibungkus handuk. Dia berjalan cepat menuju kamar, melewati ruang tengah dimana gatot masih tertidur pulas. Sampai di dalam kamar, pak camat suaminya tak kalah pulas. Dengkurannya membuat telinga murti terngiang ngiang.

Kini murti sudah bebusana muslimah lengkap dengan kerudung. Maklum karena dia akan berangkat ke madrasah untuk menjalankan tugas mengajar. Dan dia berangkat tanpa diantar gatot seperti biasanya. Murti memilih naik sepeda motor daripada harus membangunkan gatot ataupun pak camat suaminya. Biarlah dua pria penting dalam hidupnya itu beristirahat setelah semalam suntuk begadang di kantor polisi. Madrasah tempat murti mengajar adalah madrasah setingkat sma. Siswanya tidak telalu banyak, cuma delapan puluh murid yang sebagian besar anak anak komplek. Ada enam kelas yang tiap kelas berisi maksimal limabelas siswa. Gurunya berjumlah tigabelas dan semuanya bukanlah pegawai negeri sipil, termasuk murti. Statusnya adalah guru swasta yang dibayar oleh yayasan. Jangan heran kalau gajinya juga gaji standar yayasan, tidak sebesar gaji guru negeri. Satu satunya yang membanggakan adalah siswa siswi madarasah sanggup bersaing dengan sma negeri, sanggup meraih juara pertama beberapa lomba antar sekolah.

"assalamu'alaikum bu murti", tegur aisyah, salah satu rekan sesama guru.

"waalaikumsalam ais".

"kok bu murti naik motor? Mana sopir ibu itu?".

"sibuk membantu bapak. Kenapa nanya nanya gatot?".

"jadi namanya gatot ya bu?", kata aisyah tersenyum malu malu.

Murti tertawa dalam hati melihat wajah aisyah bersemu merah. Murti tahu ada udang dibalik batu atas pertanyaan aisyah itu. Ada maksud tertentu di balik wajah ayu bersemu merah jambu. Murti berjalan beriringan dengan aisyah menuju kantor untuk memulai aktivitas masing masing. Murti cuma mengajar paling banter tiga jam dalam sehari, dan khusus hari sabtu begini dia hanya satu setengah jam karena sekolah juga bubar lebih awal.

Sambil menunggu waktu pulang, murti sibuk memikirkan begitu banyak sosok sosok wanita cantik yang menanyakan diri gatot. Ada yang bertanya terang terangan ada juga yang malu malu tapi semua bertujuan sama, ingin mengenal lebih jauh tentang sopir pak camat bernama gatot. Murti heran kenapa gatot yang punya masa lalu sangat kelam masih saja diminati wanita. Kebanyakan wanita menghindari lelaki jenis ini. Mulai dari pegawai kantor kecamatan yang bermasa depan cerah sampai tukang sayur keliling yang biasa berkeliling di komplek. Mulai dari gadis remaja sampai para janda janda muda. Gatot telah menjadi virus yang sanggup menjangkiti hati puluhan wanita. Padahal murti tahu persis gatot tak punya apa apa selain wajah yang memang diakuinya ganteng. Itu saja yang dipunyai gatot. Harta tidak ada. Justru hutang yang menumpuk setinggi pagoda.

Murti menghitung usia gatot yang sama dengan usianya sendiri, tigapuluh dua tahun. Ibunya gatot dan ibunya murti melahirkan bersamaan di rumah mbah surti, dukun beranak yang sekarang sudah almarhum. Konon mbah surti adalah dukun beranak yang hebat karena bisa menangani dua wanita secara bersamaan. Konon juga tangan kanan mbah surti untuk ibunya murti sedangkan tangan kirinya untuk ibu gatot. Dan dua bayi mungilpun lahir bersama sama, tanpa dipisahkan waktu. Tapi takdir berkata lain. Jika lek sumiah bisa melihat anak lelakinya tumbuh besar maka ibunya murti cuma bisa mendengar tangisan bayi cantiknya sebelum menghembuskan napas sesaat setelah melahirkan. Sejak bayi, murti sudah kehilangan ibu dan ayahnya tidak mau kawin lagi. Konon itu adalah persalinan terakhir yang dilakukan mbah surti sebelum berhenti jadi dukun beranak sampai meninggal. Semua anak seangkatan murti lahir berkat tangan dingin mbah surti. Demikian kisah lahirnya muda mudi yang bagaikan sepasang dewa dewi, gatot dan murti.

Sudah jam dua belas siang. Lonceng tanda sekolah berakhir berdentang berkali kali. Murti mengemasi tasnya lalu melangkah mendekati motor. Pulang. Sampai di rumah keadaan sangat sepi dan pintu pintu terkunci. Mobil dinas pak camat tidak ada di garasi. Tapi murti heran karena di jemuran sudah berjejer pakaian dengan rapi padahal tadi dia belum sempat mencuci, malah rencananya sepulang kerja ini dia akan mencuci pakaian. Tumben mas joko mau bersih bersih, pikir murti. Dengan menggunakan kunci serep murti masuk, lebih terkejut lagi melihat keadaan dalam rumah. Lantai keramik yang dipijaknya sangat bersih dan jernih, kinclong bagai lantai kaca dimana dia bisa melihat dirinya sendiri di lantai itu. Semakin ke dalam rumah keadaan semakin bersih dan rapi tanpa ada satupun benda yang berserakan disana sini. Begitu juga dengan keadaan dapur yang licin dan wangi. Piring dan gelas kotor yang semalam masih menumpuk kini sudah nangkring dengan manis di rak. Kerja baktikah pak camat hari ini, tanya hati murti gembira. Satu satunya tempat yang tidak berubah hanyalah kamar tidur. Biarlah karena ini juga bukan untuk umum.

"darimana mas joko?", tanya murti pada pak camat yang baru pulang.

"mengantar gatot ke kantor polisi. Kamu sudah tadi pulang?".

"baru juga. Saya senang mas joko mau beres beres rumah".

"enak saja. Buat apa aku capek capek? Itu semua inisiatif gatot".

"jadi semua ini kerjaan gatot?".

"iya sayang. Dia bilangkasihan ke kamu".

"yang mencucikan baju juga?".

"heeh. Pokoknya semua berkat gatot".

"lalu mas joko mau kemana lagi?", murti bertanya karena melihat suaminya berpakaian rapi.

"balik ke kantor polisi. Setelah itu aku ada undangan ke desa sukamaju. Mungkin pulangnya agak malam".

Murti mengantar pak camat sampai pagar. Semakin sibuk saja suaminya akhir akhir ini. Bahkan di hari libur yang seharusnya menjadi hari berkumpul bersama keluarga, pak camat masih saja di sibukkan dengan tetek bengek urusan kantor, menghadiri undangan kesana kemari dan kerap pulang saat dia sudah terlelap dalam mimpi. Rumah seolah hanyalah tempat persinggahan sementara sebelum kembali pada rutinitas yang tiada pernah ada akhir. Curiga. Ya, murti mulai curiga. Dia takut bisik bisik para ibu darma wanita benar dan terbukti. Dia takut pandangan mata bu marni benar benar pisau bermata dua yang setiap saat bisa membuka banyak rahasia. Dia takut selentingan yang berkembang di kalangan warga komplek bukanlah selentingan palsu. Dan dia teramat sangat takut jika semuanya memang kenyataan. Pak camat punya istri simpanan, begitu gosip yang beredar. Pak camat punya anak dari istri mudanya, kata gosip lain lebih kencang. Pak camat begini begitu, lagi ini itu, sambung gosip yang seolah tiada putusnya. Ya tuhan, jangan biarkan hal itu sampai terjadi, batin murti dalam kegelisahannya seorang diri. Jam dua siang gatot pulang seorang diri tanpa pak camat. Juga pulang tanpa membawa mobil dinas pak camat. Murti melangkah lesu membukakan pintu.

"kamu nggak menunggu bapak tot?".

"tidak murti. Pak camat menyuruh saya pulang bareng mbak dewi".

"kenapa tidak sekalian kamu ajak dewi kesini?".

"saya cuma minta diantar sampai depan komplek. Ini titipan pak camat buatmu murti".

"kita makan bareng bareng saja tot. Masuklah ke dalam".

"apakah tidak mengganggu istirahatmu?".

"aku tidak bisa tidur dengan panas seperti ini. AC dalam kamar rusak. Masuk saja".

Murti menghela gatot masuk dan menutup pintu. "terima kasih kamu sudah membersihkan rumah".

"aku ingin sedikit membantumu".

Murti menata sate kambing yang dibawa gatot di karpet ruang tengah. Gatot menunggu murti selesai sambil menonton tv. Setelah semua siap saji, mereka duduk berdekatan menghadap ke tv yang sedang menayangkan telenovela. Mereka duduk bersila seperti orang kondangan. Sesekali murti tertawa seraya menambahkan nasi ke piring gatot. Sate kambing yang dibumbui sangat pedas membuat keringat murni menetes deras ditambah lagi udara yang memang sudah panas.

"tolong ambilkan air minum tot".

"sudah tahu pedas masih saja kamu lahap".

"daripada terbuang sia sia. Eh tot, apa benar pak camat ke desa sukamaju?".

"benar. Aku sendiri yang ngantar kesana".

"tidak ke tempat lain kan?".

"tidak murti. Masa aku bohong padamu".

"bisa saja kamu memang bohong. Kamu sama tidak jelasnya dengan pak camat".

"jadi kamu curiga?".

"wajar kalau seorang istri mencurigai suaminya".

"kalau suami mencurigai istri bagaimana?".

Murti mencubit pinggang gatot kuat kuat dan tak melepaskan cubitan itu sampai gatot meringis kesakitan minta ampun. Barulah murti melepaskan cubitan berbisanya. Untuk ukuran wanita murti termasuk tinggi, sama tingginya dengan gatot yang seratusdelapanpuluh centimeter. Ketika diselonjorkan, kakinya sama panjang dengan kaki gatot. Cuma beda bentuk dan warna saja. Kaki murti berwarna lebih cerah dan lebih putih dari kaki gatot yang kecoklatan. Juga tidak berbulu lebat seperti bulu kaki gatot. Kalaupun ada itu adalah bulu halus dan samar sehingga tak mengganggu pandangan mata. "pijetin kakiku tot, rasanya pegal".

"itu tidak baik murti".

"kamu selalu bilang begitu. Ingat, hari ini kamu tidak mengantarku kemana mana".

"tapi kaki bagian bawah saja ya".

"yang namanya kaki itu ya dari pangkal sampai ujung. Pijat saja semua".

"semoga tuhan mengampuniku murti".

Murti membiarkan jari jari kekar gatot meremas dan memijit mijit betisnya. Kadang dia tertawa geli kalau gatot memijit bagian bagian yang membuatnya serasa di gelitik. Kadang juga merentak dan meringis kalau dorasakannya pijitan terlalu kuat. Kadang merem melek kalau elusan elusan kecil mampir di betis. "terus ke atas", murti menuntun jari jari gatot menelusuri kehalusan pahanya. Sambil memijit seluruh badan gatot gemetar menahan dahsyatnya gempuran para setan yang gencar menyerang dari segala penjuru, merasuki otaknya dengan berbagai tipu daya yang manis. Sejauh ini gatot bisa menghadapi godaan itu dengan gagah. Tapi semakin lama pertahanannya semakin melemah. Pijatannya tak lagi teratur sampai suatu waktu jari jarinya sudah membuat cawet murti turun ke dengkul. Segumpal daging nikmat namun penuh laknat mengintip dari rimbunnya bulu bulu yang tumbuh subur. Inilah saat saat kemenangan bagi setan. Murti mendesah, meracau lirih ketika gatot yang gelap mata menindih, menghimpitnya dengan seluruh raga terbuka. Ketika itulah azan ashar berkumandang dengan lantang, mengingatkan gatot yang secepat kilat menjauh dari tubuh murti, menerjang pintu dapur rumah pak camat, melompat tembok, dan berkelebat masuk ke rumahnya sendiri.

Tinggallah murti teronggok seorang diri, menangisi semua yang telah membuatnya lupa diri. Dia menyesali diri karena hampir membuat gatot kembali menyusuri jalan gelap. Padahal baru saja gatot bertobat. Ia nyaris membuat gatot jatuh untuk kedua kalinya. Murti mengumpulkan kekuatan hatinya untuk memungut satu persatu pelindung tubuhnya lalu melangkah ke kamar. Entah siapa yang salah dengan peristiwa yang terjadi menjelang ashar hari ini.Sampai maghrib pak camat belum pulang juga. Murti mengeluh berat. Wajahnya yang masih cantik apalagi setelah tersiram air menjadi makin cantik dan bersinar seperti bulan purnama, tapi wajah itu sekarang tertekuk kecut. Murti memandang masakan yang tersaji di meja, terus bertopang dagu menunggu suaminya yang tak jua pulang. Satu jam berlalu. Dua jam murti masih sabar menunggu. Tiga jam barulah murti menunduk lesu. Pak camat tidak juga datang. Murti meninggalkan meja makan. Bayang bayang kejadian tadi siang tidak membekas sama sekali. Bahkan dia malah membawa masakannya ke rumah gatot, yang kebetulan juga gatot sedang makan malam. Murti duduk dengan tersenyum manis, mungkin kopi yang baru saja diteguk gatot kalah manis oleh senyuman itu. Gatot mau tak mau membalas senyum itu meski dia masih terbayang bayang apa yang terjadi tadi. Murti duduk menatap gatot yang sibuk dengan makanannya.

"maafkan aku tot".

"kamu memang harus minta maaf murti. Tapi bukan padaku".

"aku mengerti dan itu sudah kulakukan. Bagaimana rasa masakanku?".

"lebih enak daripada ikan asin dan kecap ini".

Murti tersenyum tapi tak malu melahap nasi jagung dan ikan asin plus kecap. Rasanya murti ingin duri duri ikan asin itu masuk ke tenggorokan dan menancap di jantungnya biar semua gelisah yang membuat jantungnya berdebar jadi berhenti. Tapi debaran jantungnya malah kian kencang mengguncang sampai membuatnya tersedak. Gatot menepuk nepuk tengkuk murti agar makanan yang mengganjal bisa dimuntahkan.

"jangan dimakan kalau kamu tidak biasa murti. Ini makanan khusus orang orang melarat".

"ada ada saja kamu tot. Kita ini sama sama melarat lho".

"kamu tidak makan bareng suamimu?".

"pak camat belum pulang. Makanya kubawa masakannya kesini. Daripada basi".

"jadi sampai sekarang bapak belum pulang?".

Murti mengangguk. "jujurlah tot, apa yang kamu ketahui tentang pak camat?".

"sungguh aku tidak tahu apa apa murti?".

"bersumpahlah kalau memang kamu jujur tidak tahu apapun".

"murti, sumpah hanya akan membuatku terancam dosa".

"berarti tidak salah kalau aku curiga. Termasuk curiga padamu gatot".

"kenapa kamu harus mencurigaiku murti?".

"karena kamu masih menyimpan fotoku yang itu. Aku tak mau suamiku melihat foto itu tot".

"biar nanti kusimpan lebih aman. Atau kalau kamu tidak suka biar ku bakar saja".

"jangan. Membakar foto itu sama saja kamu membakar diriku, simpan saja".

"murti, saya benar benar mohon maaf atas ulahKu dulu yang sering melecehkanmu".

"kamu tidak bersalah tot. Kita hanyalah korban dari keadaan. Kamu sering menjamahku itu juga karena aku memang memberimu kesempatan".

"semoga yang tadi siang itu adalah terakhir kali aku menyentuhmu murti".

"suamiku sepertinya sudah datang. Aku pulang dulu".

Murti meninggalkan rumah gatot. Pak camat memang sudah pulang, celingukan kesana kemari mencari istri cantiknya. Tahulah pak camat kalau murti ada di rumah gatot karena melihat pintu dapur tebuka. Pak camat sudah akan menyusul tapi murti keburu muncul dari ruang tamu.

"darimana saja murti?".

"dari tokonya si odah. Pulsaku habis".

"aku ada kabar bagus murti".

"kabar apa itu mas? Ngomong di kamar saja yuk".

Pak camat terpaksa menggendong istrinya yang sedari tadi menggelayut manja. Murti terpaksa berbohong pada pak camat. Dia tidak bilang kalau baru saja dari rumah gatot. Dia takut suaminya akan cemburu. Di luar rumah terdengar derap derap kaki. Rupanya gatot telah memulai tugasnya sebagai penjaga malam. "sekarang katakan kabar apa itu", bisik murti pas nyampe di kamar.

"kamu akan segera jadi pns murti. Semua guru di madrasah juga".

"benarkah? Darimana mas joko tahu?".

"suamimu ini seorang camat murti. Aku bertemu kepala diknas di desa sukamaju. Dia memastikan begitu".

"syukurlah mas. Kasihan orang orang yang selama ini cuma bisa berharap".

"harapan itu akan terkabul murti. Semoga harapan kita juga terkabul malam ini".

Murti memperbaiki posisi tidurnya. Perlahan tapi pasti malam mulai sunyi senyap, yang terdengar hanya suara suara jangkrik. Dalam sunyi, sepasang suami istri bercinta sepenuh hati demi terwujudnya harapan memiliki seorang bayi. Di luar rumah, tepatnya dibangku teras, seseorang juga mempunyai harapan yang belum terwujud. Ya, gatot berharap sahabat kecilnya diberi kesabaran dan kekuatan hati dalam mengayuh biduk rumah tangga. Gatotpun punya cinta untuk murti dan gatot bahagia pernah memiliki masa masa emas bersama murti. Malam ini gatot berharap masa emas itu menular ke kehidupan murti dan pak camat.

Hari telah berganti. Malam yang hening berlalu diusir oleh sang pagi yang hangat. Murti seperti biasa bangun lebih awal untuk menyiapkan kebutuhan suaminya. Pak camat juga sudah bangun tapi seperti biasa langsung menyeruput kopi hangat sebelum mandi. Murti masih repot di dapur guna memasak sarapan pagi. Pak camat memandangi istrinya yang semakin hari bukannya bertambah tua, malah semakin muda dan berisi. Tidak terlihat tanda tanda ketuaan pada istrinya. Semua masih halus mulus dan kencang. Sedangkan pak camat merasa mulai tua.

Memang antara pak camat dan murti terpaut perbedaan umur yang cukup jauh. Ketika menyunting murti, pak camat sudah berumur tigaapuluhlima tahun sedangkan murti baru lulus kuliah. Sepuluh tahun selisih umur mereka. Memasuki usia perkawinan yang sudah tujuh tahun berjalan, pak camat kerap merasa kewalahan dengan semangat dan gairah murti yang masih menggebu gebu.

"murti, cobalah belajar mengemudi. Biar kemana mana gak melulu diantar gatot".

"gak mau mas, bisa bahaya".

"bahaya apanya? Lha wong cuma duduk di belakang setir kok".

"memangnya mas joko mau istri cantikmu ini keluyuran kemana mana kalau bisa naik mobil sendiri?".

"kalau keluyuran untuk tujuan yang jelas buat apa takut? Sejauh ini dan sampai kapanpun aku percaya kamu murti".

"aku juga percaya mas joko".

Pak camat membantu murti memasang baju muslimah kebesarannya. Setelah itu ganti murti yang membantu. Di luar terdengar deru mesin mobil yang di panasi. Murti mempercepat riasan wajahnya karena sudah hampir jam tujuh, jangan sampai ia terlambat ke madrasah. Pak camat juga terburu buru karena ini adalah hari senin, hari pertama yang biasanya banyak kegiatan menumpuk. Mereka kemudian keluar beriringan menghampiri gatot yang sudah siaga.

"kalau ada waktu luang, ajari murti nyopir tot".

"baik pak. Kapan saja saya siap".

"oh ya tot, nanti siang kamu gak usah nunggu saya".

"ya pak".

"memangnya mau kemana mas? Tumben gak minta diantar?", cetus murti dengan nada curiga.

"urusan kantor. Sudah sampai tuh", pak camat mencium kening murti sebelum istrinya itu turun. Murti melirik gatot dan melempar sedikit senyum sebelum melangkah masuk gerbang madrasah. Tinggal pak camat dan gatot di dalam mobil. Pak camat menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya lalu bicara pelan pada gatot. "murti mulai mencurigaiku tot". Gatot cuma tersenyum kecut sambil mendengarkan pak camat melanjutkan keluhannya. "rupanya murti mulai termakan gosip gosip itu".

"itu wajar pak camat. Kita hidup ini kan cuma punya dua pilihan. memakan gosip atau dimakan".

"bisa saja kamu. Yang penting kamu jangan bilang apapun ke murti ya".

"saya janji menyimpan rahasia itu pak".

Ada kesepakatan rahasia antara pak camat dan gatot. Mereka meneruskan ke kantor kecamatan. Seperti biasa, begitu pak camatmasuk ke dalam kantor maka gatot langsung meluruskan jok mobil dan tiduran sambil membaca koran. Gatot kaget karena di halaman depan ia melihat foto ayahnya terpampang besar dengan judul AKHIR SANG JAGAL. Kalimat demi kalimat dibacanya sampai tamat kemudian ia lemparkan koran itu ke belakang. Wajahnya mengeras.

Gatot terpukul dengan adanya berita di koran yang mengabarkan kalau ayahnya telah di jatuhi hukuman mati oleh pengadilan tinggi setelah upaya banding di tolak. Menurut berita, ayahnya menolak meminta grasi ke presiden. Masih kata berita ayahnya cuma mengajukan permintaan terakhir yakni bertemu sang anak bernama gatot, dirinya sendiri. Ayahnya tak akan di eksekusi sebelum permintaan terakhir terpenuhi. Jadi sampai sekarang cak karso masih ada di penjara paling top, nusakambangan.

Gatot menghantam jok mobil pelan. Ia sudah bersumpah untuk tidak mau lagi ketemu ayahnya. Ia tidak bisa memaafkan sang ayah yang tega menghancurkan keluarga. Ia sakit hati pada ayahnya yang telah menjual ibunda tersayang. Ibunda yang mati mengenaskan di depan mata kepalanya. Biar saja ayahnya dihukum mati. Sebenarnya gatot sudah berkali kali diminta oleh polisi agar mau datang ke nusakambangan. Tapi gatot tak mau karena di nusakambangan banyak kawan kawannya yang di bui. Ia tidak mau ketemu kawan kawan begundalnya agar bayang bayang masa suram itu tidak muncul. Biarlah yang terhukum menjalani hukumannya.

"mas gatot nganggur?".

Gatot terkaget kaget oleh suara halus yang menegurnya. "mbak dewi butuh bantuan saya?".

"iya. Pak camat yang nyuruh".

"kemana mbak?".

"ke cemorosewu. Saya masuk ya?".

Gatot menghidupkan mesin sambil menunggu dewi duduk dengan nyaman. Lalu berangkat. Dewi, gadis cantik berparas menarik sesekali berusaha memancing selera bicara gatot. Tapi gatot memang sedang tidak mood untuk bicara. Gatot cuma mengemudikan mobil dan mengawasi jalan raya menuju cemorosewu. Dewipun tak lagi bicara meski dalam hati kecewa karena gatot seperti batu arca yang ada di pintu masuk desa cemorosewu. Sampai suatu ketika gatot akhirnya buka suara untuk pertama kalinya.

"jalan aspalnya cuma sampe sini mbak?".

"iya. Dari sini sampai cemorosewu jalannya masih tanah".

"tidak ada jalan lain?".

"tidak ada. Kenapa? Takut mogok?".

"iya mbak. Saya juga takut dimarahi pak camat kalau sampai rusak. Ini kan mobil dinas".

"ya ampun gatot. Ini mobil pemerintah. Kalo rusak ya urusan pemerintah. Kamu cuma perlu bilang ke pak camat, tidak bakal dipotong gajimu".

"mbak dewi bisa saja. Ada perlu apa ke cemorosewu?".

"mengantar tumpukan berkas ini". Dewi menunjuk setumpuk kertas yang ada di pangkuannya. Gatot cuma melirik sekilas karena tidak mau tergoda maksiat. Kalau dia memandang lama lama tumpukan itu, sama saja dengan memandang lama lama bonggol paha dewI. Cemorosewu masih tiga kilo lagi. Semakin mendekati tujuan, jalan semakin tidak karuan, membuat penumpang dalam mobil juga bergerak kesana sini mengikuti goyangan mobil. "tahu jalannya begini, aku nggak bakal mau disuruh pak camat".

"iya mbak. Entah jalannya yang memang rusak atau pejabatnya yang rusak".

Dewi tertawa terbahak bahak mendengar kata kata gatot. "semua pejabat di negeri kita ini sudah rusak tot", kata dewi sambil berusaha menyeimbangkan tubuhnya tapi gagal. Dewi terlempar ketika mobil menghindari lubang besar, tepat mendarat di dada gatot. "maaf ya tot".

"nggak apa mbak. Saya juga minta maaf".

Permintaan maaf yang tak lebih dari sekedar basa basi, pemanis suasana hati yang penuh warna warni. Bukan hatinya gatot tapi hatinya dewi. Warna hati itu mungkin sama dengan warna paras ayu yang merah delima. Sayangnya gatot menyia nyiakan manisnya delima yang duduk di sampingnya. "bolehkah aku main ke rumahmu tot?".

"boleh saja mbak. Tapi setiap hari dari pagi sampai ketemu pagi saya selalu di rumah pak camat".

"masa sih kamu kerja nggak ada liburnya?".

"libur ada mbak, tapi saya selalu lembur. Maklum banyak tanggungan".

"semua punya tanggungan tot. Saya juga punya banyak tanggungan. Hutang di bank menumpuk".

Cemorosewu sudah di depan mata. Dewi memberi petunjuk ke gatot agar langsung menuju ke balai desa. Dewi menemui kepala desa sedangkan gatot seperti merasa tidak asing dengan wajah kepala desa itu. Ia teringat sesuatu yang membuatnya berdiri dengan tegang. Ia teringat salah satu wajah orang orang yang berjudi besar besaran dengan ayahnya puluhan tahun silam. Ia juga ingat wajah salah satu begundal yang memperkosa ibundanya dan ia yakin wajah pak kepala desa sama dengan wajah itu. Ia perlahan mendekat, semakin dekat dan akhirnya bisa melihat ciri yang memperkuat keyakinannya. Tato macan pak kepala desa sama dengan tato macan milik ayahnya. Perlahan gatot meraba sesuatu di balik jaketnya dan ketika ia hendak mencabut sesuatu, ketika itu pula dewi menepuk pundaknya. "sudah selesai tot. Kita kembali ke kecamatan".

"oh ya. Mbak dewi jalan saja dulu". Maka dewipun berlalu dan gatot memandang tajam pak kepala desa, membuat kepala desa tak nyaman dan grogi. Tapi gatot tidak ingin membuat masalah. Ia cuma menunjukkan celurit kecil yang dulu membunuh ibunya pada kepala desa, membuat kepala desa berdiri gemetaran dan memandang takut pada gatot. "dimana dua temanmu yang memperkosa ibuku?", bisik gatot dengan suara bergetar menahan amarah. Ia tidak melepaskan jabat tangannya sehingga pak kepala desa tidak bisa lari kemana mana.

"saya tidak paham maksudmu", kata pak kepala desa semakin ketakutan.

Gatot melepaskan tangannya dan mengembalikan celurit kecilnya ke balik jaket. "aku telah menemukan pemerkosa dan pembunuh ibuku", katanya sebelum meninggalkan balai desa, meninggalkan pak kepala desa yang pucat pasi setelah sadar siapa pria yang baru berhadapan dengannya. Pria dengan sorot mata penuh amarah dan dendam, pria dengan nafsu membunuh yang besar. Pak kepala desa terduduk lesu di kursi kerjanya.

Gatot sudah kembali bersama dewi dan mulai meninggalkan desa cemorosewu di sertai hujan yang turun dengan lebat, membuat jalanan tanah semakin becek, memperlambat laju mobil. "sabar ya mbak. Jalannya hancur".

"tidak apa. Aku sudah telepon pak camat dan bilang kalau mobilnya mogok".

"terima kasih mbak".

"kamu kenal dengan kepala desa itu?".

"tidak mbak. Kebetulan saja tadi ngobrol lama. Maaf kalo membuat mbak dewi menunggu".

Butuh perjuangan keras untuk menaklukkan jalan yang lebih cocok buat arena off road. Kaca mobil belakang dan samping di penuhi tanah sehingga menyulitkan pandangan. Terlanjur basah mandi saja sekalian, itulah pemikiran gatot. Ia meminta dewi mengencangkan sabuk pengaman setelah itu pedal gas di injak kuat kuat sampai mobil melesat menembus derasnya hujan. Dewi sampai harus berpegangan pada apa saja agar tidak terlempar kesana kemari. Dewi ingin marah tapi tak bisa, hanya bisa pasrah pada penderitaan yang membuat jantungnya seakan berhenti berdetak. Sampai akhirnya tiba juga di jalan aspal. Gatot mengurangi kecepatan dan memandang kasihan pada dewi yang terduduk lemas.

"berhenti dulu tot. Kita makan di warung itu".

"baik mbak. Kebetulan saya lapar".

Gatot memarkir mobil di depan warung. Sudah jam satu siang. Gatot teringat murti. Siapa yang menjemput murti hari ini sedangkan ia masih berada lumayan jauh dari kecamatan. Iapun meminjam handphone pada dewi buat menelpon murti dan bilang tidak bisa menjemput. Gatot menarik napas lega karena murti sudah ada di rumah. Ia mengembalikan handphone. "terima kasih mbak".

"mau makan apa?".

"sama dengan mbak dewi saja".

merekapun makan dengan lahap. Dewi memperhatikan gatot tak putus putus sementara gatot sendiri sudah tidak peduli pada apapun selain pada makanan di hadapannya. Selesai makan barulah ia sadar kalau di perhatikan. Sayang seribu kali sayang karena mereka harus cepat cepat agar bisa sampai di kantor kecamatan dengan tepat. Senyum yang dewi berikan jadi melayang sia sia.

Setelah mengantar dewi ke kantor, gatot di panggil pak camat di ruangannya. Pkiran gatot mulai macam macam karena tidak biasanya pak camat memanggilnya. Pas di depan pak camat ia tambah bingung karena pak camat tampak sangat gembira, tidak marah seperti yang ia bayangkan.

"pak camat memanggil saya?".

"benar tot. Ada dua kabar gembira yang ingin saya sampaikan ke kamu".

"kabar apa itu pak?".

"yang pertama, murti telah resmi jadi pns. Tadi pagi sk pengangkatannya turun".

"syukurlah. Saya ikut senang pak".

"kamu tidak ingin tahu yang kedua?".

"kalau pak camat tidak keberatan memberitahu saya".

"ini tentangmu tot. Mulai hari ini kamu adalah calon pns".

"maksud pak camat?".

"kamu jadi pegawai honorer kecamatan. Tapi itu hanya sementara. Nanti kamu akan jadi pns".

"alhamdulillah. Saya tidak bermimpi sampai kesana pak".

"aku membantumu tot. Anggap saja sebagai imbalan karena kamu juga banyak membantuku".

"terima kasih pak camat. Saya tidak akan menyia nyiakan kesempatan".

"sekarang pulanglah. Bilang ke murti kalau aku ada kunjungan kerja sampai malam".

Gatot bergegas meninggalkan kantor kecamatan sekaligus meninggalkan pak camat. Ia sangat paham kunjungan kerja macam apa yang akan di lakukan pak camat, kemana pak camat melakukan kunjungan, menemui siapa, semuanya ia pahami betul sebagai sesama lelaki. Ia hanya merasa kasihan pada teman semasa kecilnya yang bernama murti. Itulah alasan ia selalu ingin berada di dekat murti untuk sekedar berbagi cerita kehidupan. Begitu menginjak teras rumah pak camat, ia sudah di sambut senyuman murti.

"mana pak camat?".

"pak camat ada kunjungan kerja sampai malam".

Seketika senyum murti buyar, berganti dengan wajah kecewa. "masuklah tot", murti menarik lengan gatot sampai ke dalam rumah. Setelah pintu tertutup gatot di buat kalang kabut karena murti tiba tiba memeluknya sambil menangis sesenggukan. Gatot tak tahu harus berbuat apa selain membawa murti ke ruang tengah. Di sana gatot melihat betapa segala sesuatunya sudah di persiapkan. Gatot menghela napas memahami kekecewaan dan kesedihan yang di rasakan murti. Ia tak sadar telah membalas pelukan murti secara lebih erat, membuat murti berada lekat di dekapannya. "aku siapkan pesta ini buat suamiku tot", lirih suara murti diiringi isakan kecil.

"itulah resiko menjadi istri pejabat murti. Sabar saja ya", gatot tak kuasa menahan keinginannya untuk sekedar mengelus kepala murti yang masih bersandar di dadanya. Keinginan yang lebih dari itu berusaha gatot redam.

murti menyeka airmata dengan ujung dasternya.Gatot menyumpahi dalam hati betapa pak camat telah begitu tega menyia nyiakan seorang istri yang cantik bagai bidadari. Siapa yang tahan melihat murti. Seluruh komplek juga sudah mengakui sang bunga desa. Apalagi jika sudah bermuram durja seperti sekarang ini, yang sering lupa diri bahwa ia adalah wanita bersuami. Sungguh kurang ajar suami yang tega membiarkan istrinya menderita dalam sedih.

"kuucapkan selamat murti. Kamu telah jadi pns".

"aku ingin dengar ucapan itu pertama kali dari suamiku".

"pak camat sangat sibuk. Oh ya, maaf aku tadi tidak menjemputmu".

"tidak apa. Aku di antar aisyah. Sekarang makan saja bareng aku".

"semakin sering bersamamu, aku semakin merasa itu tak baik murti".

"karena aku wanita bersuami? Tidak masalah tot. Suami atau bukan bagiku sama saja".

Murti memang nekad bila berada di dalam rumah bersama gatot. Tidak punya malu bila duduk berdua dengan gatot. Tidak risih sama sekali menampakkan hal hal yang seharusnya di sembunyikan sebagai wanita. Beruntung gatot sudah terbiasa dengan segala bentuk tubuh murti. Gatot tidak ngiler pada sepasang paha murti yang sengaja di ongkang ongkang. Gatot tidak keblinger pada dada montoknya murti yang terus di goyang goyang. Baginya murti tak lebih teman kecil yang ingin menggoda si adik kecil.

"sudah berapa tahun kamu menduda?".

"aku tidak pernah menghitungnya murti".

"rasanya aku juga ingin menjanda saja tot. Biar bebas".

"menjanda justru tidak baik murti. Omongan orang selalu usil".

"peduli setan omongan orang. Selama ini aku sudah kebal berbagai gosip, termasuk gosip tentang suamiku yang punya istri muda".

"yakinlah pak camat tidak seperti. Aku selalu bersama suamimu dan aku tahu dia suami yang baik".

Gatot mengangguk meski dalam hati menggeleng. Pak camat memang bukan suami yang baik. Pak camat juga bukan pria yang alim. Pak camat sama seperti dirinya. Hanya saja pak camat punya cara tersendiri untuk berbuat nakal. Dirinya seorang yang tahu seperti apa kenakalan pak camat. Dirinya jugalah satu satunya orang yang tahu kenakalan istri pak camat.

"kamu bukan anak kecil lagi murti".

"memang bukan. Tapi aku ingin mengulangi masa masa kecil yang kita jalani bersama".

"itu tak mungkin".

"siapa bilang tak mungkin?", murti mencubit perut gatot kuat kuat. Awalnya gatot masih bisa menahan tapi karena cubitan murti terasa makin menggigit iapun tak punya pilihan selain balas mencubit perut murti. Berawal dari cubit mencubit kemudian berkembang jadi saling kejar dan saling menjatuhkan."jangan memancingku murti".

"aku akan menangkapmu tot".

Mereka berkejaran sampai ke dalam kamar. Di situlah murti dan gatot seperti anak kecil yang bodoh. Saling raba sana sini dan cium ini itu. Murti sendiri yang melepas daster dan dalamannya lalu merenggut paksa gatot dalam kekuasaannya. Ia menuntun gatot untuk melakukan yang tak seharusnya di lakukan. Itulah momen kejatuhan gatot. Kesempurnaan yang dimiliki murti di telannya bulat bulat tanpa ada yang tersisa. Desah dan rintih mengalir bersama cucuran keringat yang meminyaki tubuh, melicinkan jalan bagi setan untuk menancapkan kuku maksiat. Murti dan gatot telah benar benar terjatuh bersama sama ke dalam perzinahan. Tidak ada lagi yang menghalangi kemaksiatan mereka, sekalipun itu suara azan. Telinga mereka telah terkunci oleh orgasme yang memuncak. Dan mencapai klimaks ketika muntahan muntahannya tercecer di mana mana. Sebagian dari muntahan itu pasti telah bersarang di rahim murti. Murti dan gatot menggelepar kelelahan, baik fisik maupun batin. "aku memang ditakdirkan menjadi pendosa murti", bisik gatot terngiang ngiang di gendang telinga murti. "kita tanggung dosa ini bersama tot". Murti memeluk gatot dan menitikkan airmata. Dosa telah terlanjur dibuat. Biarpun menangis sehari semalam takkan bisa menghapus dosa itu. Gatot balas memeluk murti, merengkuh murti erat erat. Murti mencoba untuk tersenyum. "aku tak pernah sehebat ini bila bersama pak camat". Murti masih punya gairah untuk sekedar memberi suguhan terakhir pada gatot. Tidak sedahsyat yang pertama tapi sudah cukup sebagai penutup segala kemaksiatan yang tercatat di tangan tuhan sebagai perbuatan laknat.

Murti meraih handphone karena ada pesan singkat singkat yang masuk. Dari pak camat sang suami yang memberitahukan kalau terpaksa menginap di luar kota. Tidak di jelaskan kenapa harus menginap. Murti melemparkan handphone itu. Ia sudah tidak butuh penjelasan. "mas joko nginep tot. Dia nggak pulang malam ini".

"aku harus pulang murti".

"nginep sajalah disini. Itu lebih aman tot".

"maaf murti. Aku ingin cari berita ke kantor polisi".

"ya sudah. Kalau mau balik ke sini, pintu belakang nggak ku kunci".

Gatot pun pergi dengan sejuta rasa di dalam hati. Jalan terang yang baru saja datang telah kembali berubah dengan begitu cepat menuntunnya menyusuri kegelapan. Dosa telah kembali tercipta dan itu pasti membawanya ke jurang neraka. Gatot cuma sebentar saja masuk ke rumahnya lalu keluar lagi dengan jaket hitam gelap, celana hitam, helm hitam, dan tak lupa menyelipkan sesuatu di balik jaket. Ia memanasi motornya sejenak lalu melesat menembus rinai gerimis hujan. Malam benar benar hitam pekat. Sesekali petir menyambar berkilat kilat. Gatot tidak pergi ke kantor polisi sebagaimana yang ia katakan ke murti. Ia berbohong ke murti. Sebenarnya adalah ia menuju ke desa cemorosewu. Ada tugas maha penting yang harus secepatnya ia rampungkan demi ketenangan hati.

Setelah ngebut menembus hujan lebat selama dua jam, gatot sampai di jalanan tanah menuju desa cemorosewu. Ia berhenti dan turun dari motor, menuntun motor itu menuju semak semak, menutupi motor dengan tanah lempung dan daun daun lalu meninggalkan semak semak. Langit yang menghitam sama dengan bayangan tubuhnya yang serba hitam, berkelebat cepat di sepanjang tepian desa cemorosewu, dalam sepi sunyi yang teramat senyap. Dalam sekejap ia sudah berdiri di depan sebuah rumah. Mata elangnya menatap nyalang mengamati rumah itu dari atas pohon mangga. Ia lalu melompat ringan dan hinggap di genteng rumah. Seluruh panca indranya bekerja dan senyumnya mengembang dari balik topeng hitam. Dengan penuh tenaga, ia jejakkan kaki menjebol genteng dan dalam hitungan detik ia sudah ada di dalam sebuah kamar. Gerakannya teramat sangat cepat menghunus golok dan mengayunkan ke arah sesosok tubuh yang masih berbaring. Tidak ada teriakan dan sosok itu mati seketika. Setelah itu ia menyelinap dalam gelap dan berkelebat cepat hingga sampai di tempat ia menyembunyikan motor. Kemudian ia pergi bagai hantu.

****

Di pagi yang masih diselimuti mendung, desa cemorosewu geger. Kentongan berbunyi bertalu talu memanggil penduduk untuk berduyun duyun mendatangi rumah kepala desa. Pengumuman di sebar luaskan melalui mulut ke mulut, dari surau ke surau, dari satu dusun ke dusun yang lain. Bendera hitam berkibar di sepanjang jalan menuju desa. "TELAH TUTUP USIA BAPAK ASNAWI, PEMIMPIN DAN SESEPUH DESA CEMOROSEWU". Begitulah inti dari kegegeran itu. Dalam sekejap rumah kepala desa di penuhi ratusan orang. Di jalan jalan masyarakat ramai membicarakan penyebab tewasnya pak kepala desa. Ada yang bilang kepala desa mati di bacok. Yang lain berkata kepala desa di bunuh selingkuhan istrinya. Banyak juga yang yakin kepala desa mereka korban balas dendam. Semuanya masih simpang siur.

Murti terbangun dari tidurnya oleh dering handphone. Semalaman ia tidur sendiri karena pak camat suaminya belum pulang. Ia sangat malas untuk bangun. Tapi dering handphone tak kunjung berhenti, memaksanya menyingkirkan selimut dan sempoyongan mendekati meja rias, meraih HP untuk mencari tahu siapa yang berani mengusik tidurnya di pagi buta begini.

"hallo".

"hallo, selamat pagi bu. Saya cuma mau sampaikan kabar kalau pagi ini madrasah libur. Ayahnya bu aisyah meninggal".

"pak asnawi meninggal? Kapan terjadinya bu minah?".

"tadi malam. Kalau bu murti mau ikut melayat bisa ikut rombongan guru guru".

"baiklah bu minah. Biar saya berangkat sendiri saja. Terima kasih informasinya bu".

Murti tidak bisa tidur lagi. Kabar yang di sampaikan oleh bu minah membuatnya terkejut. Tidak ada angin tiba tiba ada kabar buruk bahwa pak asnawi, salah satu pendiri madrasah, ayah kandung dari aisyah, kepala desa cemorosewu meninggal dunia. Iapun segera keluar kamar dan menuju halaman belakang. Terlihat olehnya gatot sedang mengambil air.

"tot, cepat mandi. Antar aku ke rumah aisyah".

"di mana itu murti?".

"cemorosewu. Kutunggu dirumah ya".

Wajah gatot berubah mendengar kata cemorosewu. Entah kenapa hatinya berdebar debar tak nyaman. Tapi perintah murti harus di laksanakan karena murti adalah istri majikannya yakni pak camat. Menolak perintah murti sama saja dengan menolak perintah pak camat. Ia tidak meneruskan pekerjaannya mengambil air. Ia langsung masuk dan tidak sampai sepuluh menit sudah ada di ruang tamu rumah pak camat. Gatot heran karena suasana rumah pak camat masih sangat sepi padahal ini masih teramat pagi. Lagipula tidak mungkin pak camat pergi ke kantor tanpa bersamanya.

"pak camat sudah berangkat ya murti?".

"suamiku malah belum pulang sejak kemarin. Entah dimana dia".

Gatotpun manggut manggut sambil matanya ribut memandangi murti yang masih belum berpakaian lengkap, belum memasang kerudung, bahkan belum juga mengenakan pelindung. Tubuh yang masih setengah basah, memancing hasrat penuh gairah.

Gatot berpaling dari hadapan murti. Ia kembali memikirkan pak camat yang menurut murti belum pulang sejak kemarin. Berarti pak camat masih ada di sana, pikir gatot dalam hati. Ia sangat tahu persis dimana pak camat berada saat ini tapi ia tidak mau memberitahukan pada murti. Semua ia lakukan demi sebuah janji. Ia cuma menyayangkan kenapa murti harus menikahi pria semacam pak camat yang kurang lebih sama bejatnya dengan dirinya sendiri. Pak camat lebih suka bersenang senang dengan daun muda, meninggalkan istri merana seorang diri. Istri pak camat yang kemarin ia gauli dengan sepenuh hati.

"ayo berangkat tot".

"baik. Betulkan kerah bajumu murti".

Murti mesem tapi tetap membiarkan kerah bajunya longgar. Murti juga tidak memakai kerudung yang sengaja di simpan dalam tas kecil. Ia merasa aman di dalam mobil yang baru sebulan dibeli pak camat. Inilah mobil pribadi yang dibeli pak camat khusus untuknya. Selama ini mobil baru itu nongkrong di garasi karena pak camat lebih suka mobil dinas sementara ia sendiri belum bisa nyetir.

"sebaiknya kamu turuti suamimu murti. Sayang kan kalau mobil sebagus ini cuma diam saja di garasi".

"kamu serius mau ngajari aku nyetir?".

"tentu. Apalagi pak camat sudah memberi ijin".

"aku tidak mau".

"kenapa? Kan malah enak. Kemana mana kamu bisa pergi sendiri".

"aku tidak suka pergi sendiri".

"ada keperluan apa kamu minta diantar ke cemorosewu?".

"nanti kamu juga tahu sendiri".

Gatot diam tidak bertanya tanya lagi. Murti memang seperti tidak ingin di ganggu. Jadilah dua insan itu diam dalam sepi. Larut dalam irama hati masing masing. Murti lalu rebah, menyandarkan kepalanya ke dada gatot sementara tangannya menyusup ke balik kemeja gatot dan mengusap bulu bulu dada pria kekar itu. "aku sangat menyesali diriku tot", bisik murti lirih. Gatot menghela napas dan mengurangi kecepatan mobil untuk mengimbangi konsentrasinya yang terpecah. "apa yang membuatmu menyesal?", gatot membelai rambut panjang murti dengan tangan kirinya.

"aku menyesal kenapa harus menikah dengan mas joko".

"itulah jodohmu murti. Pak camat sangat mencintaimu dan aku yakin kamu juga cinta dia".

"salah. Aku tidak mencintai mas joko. Aku menikah dengannya demi menyenangkan hati ayahku tot. Abah yang memilih jodoh untukku".

"semua orangtua ingin yang terbaik buat anaknya murti. Pun demikian dengan ayahmu. Nyatanya pak camat memang baik".

"tapi aku tidak mencintainya".

"cinta sudah tidak penting buat orang seusia kita murti. Apalagi kamu sudah bertahun tahun berumah tangga".

"tapi cintaku hanya buat satu orang saja tot".

"siapa itu?".

"belum saatnya kamu tahu. Yang jelas orang itu membuatku ingin mengakhiri saja kehidupan rumah tanggaku".

"janganlah terbawa perasaan. Belum tentu setelah cerai nanti kehidupanmu jadi lebih baik".

"jadi kamu mendoakan aku sengsara seumur hidup?".

"aku hanya mengatakan hal hal yang pernah kualami murti. Aku adalah potret dari manusia yang gagal dalam perkawinan".

Murti mencubit perut gatot dan tersenyum ketika merasakan sesuatu tersentuh oleh jemarinya. Wajahnya bersemu merah, semerah bibir yang basah dan merekah bagai mawar menanti hisapan sang kumbang. Sayang sekali sang kumbang enggan menghisap sisa madu yang tentu masih terasa manis semanis gula. Murti mendesah, melenguh ketika tangan gatot semakin turun dan terus turun, hinggap di atas pusarnya. Cuma sampai situ dan gerbang desa cemorosewu sudah siap menyambut. Murti memperbaiki posisi duduknya, memasang kerudung hitam, membenahi kancing kancing baju muslimnya, dan menyapu wajahnya dengan sedikit make up. Sekarang ia telah menjelma kembali menjadi ibu guru madrasah.

"kamu tahu arti umbul umbul hitam itu tot?".

"hitam identik dengan duka dan kematian. Benar kan?".

"benar. Hari ini desa cemorosewu berkabung. Pak asnawi, kepala desa ini meninggal semalam".

"kamu mau melayat?".

"iya. Untuk menghormati aisyah tot. Dia pasti sangat terpukul oleh kematian ayahnya".

Gatot merasakan ulu hatinya bagai di tusuk ribuan jarum. Jantungnya serasa berhenti berdetak mendengar perkataan murti. Mulutnya terkunci dan wajahnya pias. Ia ingin bicara tapi tak bisa. Ocehan murti sudah tidak di dengarnya sama sekali. Ia lebih sibuk mendengarkan kata hatinya sendiri.

"kita sudah sampai tot. Ayo ikut ke dalam".

Gatot melangkah ragu memasuki rumah duka. Semakin masuk ke dalam rumah, hati dan perasaannya semakin gundah dan gelisah. Terlebih setelah ia dan murti sampai di kamar tempat sesosok tubuh terbujur kaku, di bungkus kain jarik dan di kelilingi beberapa orang. Tubuh pak kepala desa. Gatot tak menyangka sama sekali. Terlebih ketika seorang wanita menoleh, wanita yang seketika menyiksa batinnya. Wanita itu adalah aisyah, wanita jelita yang kini bersimbah airmata.

"assalamualaikum aisyah".

"waalaikumsalam bu murti. Silahkan duduk. Silahkan mas".

"terima kasih. Biar saya di luar saja".

Gatot menyampaikan beberapa patah kata sebagai tanda bela sungkawa lalu ia melangkah keluar, menuju kerumunan polisi yang masih berjaga jaga di sekitar rumah kepala desa. Begitu ia muncul, para polisi langsung mengajaknya ngobrol. Maklum sebagian besar polisi telah mengenalnya. Ia juga sudah di kenal karena seringnya mendatangi kantor polisi.

"selamat pagi pak".

"selamat pagi gatot. Kamu melayat?".

"iya pak. Saya ngantar bu murti, istrinya pak camat", gatot terdiam sejenak sambil memperhatikan sekitar rumah. "kok banyak anggota bapak disini?".

"kami sedang melakukan olah tkp tot. Ini kan pembunuhan".

"pembunuhan?".

"benar. Semalam kepala desa di bacok orang. Kepalanya hampir putus".

"sudah dapat pelakunya pak?".

"sampai saat ini belum. Kami masih menanyai beberapa saksi dan berusaha mencari barang bukti".

"kan biasanya ada petunjuk pak?".

"pembunuh itu mahir tot. Dia tidak meninggalkan jejak sama sekali. Hujan deras semalam juga menyulitkan kami".

"semoga cepat terungkap pak".

"oh ya tot. Ada kabar kalau ayahmu mendapat pengampunan. Dia cuma di hukum seumur hidup".

"apapun yang terjadi pada ayah saya, biar saja. Bapak sudah tahu keputusan saya".

"bapak mengerti. Tuh bu murti manggil kamu".

"baik pak. Saya permisi dulu".

Gatot meninggalkan sang komandan polisi dan menghampiri murti. Kini ia telah berada kembali di hadapan aisyah, yang tengah menatapnya dengan sorot mata sayu. Gatot tidak berani berlama lama menantang sorot mata itu. Ia memilih untuk menatap murti. "jam berapa pemakamannya?", ia bertanya.

"sepuluh menit lagi mas. Saya harap mas gatot ikut mendoakan ayah saya".

"saya akan berdoa aisyah. Semoga kamu tabah".

"saya menerima ini dengan ikhlas mas. Semoga pembunuh ayah saya mendapat rahmat dari Allah untuk kembali ke jalan benar. Semoga dia juga ikhlas menyerahkan diri".

"Allah mendengar doa orang orang yang ikhlas aisyah".

"terima kasih mas. Pemakaman sudah siap. Saya mohon bu murti dan mas gatot mau mendampingi saya".

Permohonan aisyah yang membuat gatot semakin gelisah. Terlebih saat jemari halus gadis itu menggandengnya menuju pemakaman umum yang cuma beberapa langkah saja dari rumah duka. Ia sungguh tak mampu berkata kata. Ia kini berada di sisi sebelah kanan aisyah, sementara murti ada di sebelah kiri. Ia tak kuasa menolak cengkraman jemari yang semakin kuat menggenggam lengannya, ikut merasakan isak tangis yang tak tertahan saat jenasah di turunkan ke liang lahat dan tanah tanah mulai menimbun. Belum selesai makam di timbun, sosok mungil aisyah limbung, tepat di rengkuhan gatot. Aisyah pingsan dan wajah ayunya pucat kelelahan. Gatot di bantu beberapa orang segera membopong aisyah dan membawa kembali ke dalam rumah.

"tolong di jaga ya mas", kata seorang warga memintanya menjaga aisyah.

"baik pak".

Kini ia berada berdua saja dengan aisyah, gadis berhati mulia yang tiba tiba mengingatkannya pada sang ibunda. Ia melihat sosok aisyah yang terbujur sama seperti ia melihat sosok ibunya saat tidur. Sangat damai. Matanya terasa panas, menahan airmata agar tidak jatuh. Tapi usahanya gagal dan setitik airmatanya jatuh ke wajah aisyah, tepat di saat gadis itu perlahan membuka mata.

"abaaah", lirih suara aisyah, terucap dengan getar yang menghantam seluruh sendi gatot. Ia terpaku, diam membatu menatap aisyah tanpa menyadari ia telah menggenggam jemari aisyah dengan kuat.

"saya bisa merasakan kesedihanmu aisyah".

"saya tidak sedih dengan kematian abah mas. Tapi sedih dengan dosa pembunuh abah".

"tuhan akan membalas setiap perbuatan umatnya".

"semoga dosa orang itu terampuni mas. Aisyah ikhlas lahir batin".

"keikhlasanmu akan mendapat ganjaran berlipat lipat aisyah. Maafkan saya", gatot melepaskan cengkramannya.

Ia meninggalkan aisyah dan pergi ke mobil. Sambil menunggu murti, ia tercenung sendiri, merenungi betapa kejahatan yang telah ia lakukan semalam telah membuat begitu banyak orang berduka, membuat beberapa hati terluka. Ia sungguh tidak tahu siapa sebenarnya orang yang semalam mati di ujung golok mautnya. Yang ia tahu tentang kepala desa cemorosewu adalah bahwa lelaki itu adalah salah satu begundal bejat yang mencabut nyawa ibunya. Ia sama sekali tidak tahu tentang pak asnawi yang kata orang orang adalah sosok dermawan, berjiwa sosial, ulama terkenal, pendiri madrasah tempat murti mengajar. Yang paling menyakitkan dan menyiksa batinnya ialah kenyataan bahwa kepala desa cemorosewu tak lain tak bukan adalah ayah kandung aisyah. Berarti lantunan ayat ayat suci yang ia dengar semalam adalah suara aisyah, sosok manusia bermukena yang sempat ia intai adalah gadis mulia berwajah jelita. Sekarang gadis itu di rundung duka akibat perbuatan jahat yang ia lakukan. Untung semalam ia tidak meneruskan niat menghabisi seluruh keluarga kepala desa. Untung aisyah terlalu khusyuk mengaji sehingga tidak mendengar tragedi semalam. Untung ia urung untuk menelanjangi sosok bermukena itu. Lebih untung lagi aisyah sama sekali tidak tahu bahwa pembunuh itu adalah dirinya. Pun demikian dengan polisi yang tidak curiga padanya. Ia menyandarkan kepala ke jok mobil, memejamkan mata untuk beberapa saat hingga ia merasa seseorang mencubit pahanya. Ia membuka mata dan melihat murti sudah ada.

"ayo kembali ke kota tot".

Merekapun meninggalkan desa cemorosewu diiringi lambaian umbul umbul hitam yang tertiup angin. Hitam yang membuat seluruh jiwa jadi muram. Gatot dan murti sama sama diam. Hanya desah napas dan detak jantung mereka saja yang terdengar. Cuaca siang ikut murung dan berduka. Langit diselimuti mendung dan titik titik kecil air menetes di kaca mobil. Gerimis yang membuat hati miris.

*****

II

Wanita Pembelenggu

Hari masih teramat pagi tapi murti sudah sangat rapi. Dengan baju muslimah warna biru, ia terlihat lebih anggun dan ayu. Sementara pak camat suaminya masih tidur mendengkur kayak lembu. Murti tidak berniat membangunkan. Suaminya pasti kelelahan dari bepergian. Ia tidak tahu jam berapa suaminya itu datang. Yang pasti ketika ia bangun jam dua dinihari suaminya sudah ada. "besok aku libur murti. Kamu pergi saja ke pendopo dengan gatot", kata suaminya tadi malam.

"baik. Mas joko istirahat saja. Mas pasti capek setelah dua hari keluyuran".

"kamu kok gitu sih? Aku kan ada tugas luar kota".

"bukannya apa apa mas. Aku cuma sedikit rindu".

"Rindu tapi benci kan?".

Biarpun rindu tapi benci namun tadi malam terjadi juga keintiman suami istri. Tapi murti tahu suaminya tidak bersungguh sungguh. Keintiman tadi malam di bayangi ragu. Pelukan dan cumbuan tadi malam terjadi dengan setengah hati. Terasa hambar dan kaku. Keintiman yang tidak berlangsung lama, bahkan sangat singkat bagi murti. Belum setengah ronde, suaminya sudah loyo. Murti tersenyum kecut.

"baik mas, saya berangkat".

Hari ini murti memang hendak ke pendopo untuk menghadiri acara pelantikan dirinya sebagai sebagai pegawai negeri sipil. Sebenarnya ia sangat ingin di dampingi suami seperti para undangan yang lain. Murti kecewa karena hanya dialah satu satunya tamu undangan yang datang seorang diri. Yang lainnya datang bersama istri dan suami masing masing. Ia melangkah gontai menuju kursi yang telah di beri nomor. Sementara gatot yang mengantarnya lebih suka menunggu di luar pendopo, ngobrol bersama petugas pamong praja. Ternyata bukan hanya polisi yang mengenal gatot, tetapi pamong praja juga kenal baik dengannya. Boleh dibilang kalau semua aparat di kota mengenal sejarah gatot dari masa ke masa. Biarpun cuma lulusan SD, gatot masih ingat wajah teman teman mainnya dulu.

"hei, kamu gatot kan?".

"iya, kamu pasti si bejo".

"betul. Makin subur saja kamu tot".

"jangan memuji. Kamu sudah mapan jo, jadi pegawai negeri".

"ini sih sudah nasib. Mainlah ke rumah".

"pasti. Aku sibuk jo, maklum cuma babunya pak camat".

"kakakku pasti senang kalau ketemu kamu tot".

"si ningsih? Dimana kakakmu itu sekarang? Sudah punya suami?".

"kak ningsih ada kok. Dia sering menanyakan kamu. Makanya main ke rumah".

Gatot tertawa kecil. Perbincangannya dengan bejo telah membuatnya teringat pada ningsih. Dulu ia, bejo, ningsih, dan juga murti adalah teman bermain dan bersekolah. Mereka sering bersama kemana mana, belajar kelompok bersama, bermain di sungai sampai puas. Sampai kemudian bejo dan keluarganya keluar dari kompleks dan pindah ke jalan lain. Gatot ingat ningsih sama nakalnya dengan murti, sama sama suka mempermainkannya ketika kecil dulu, sering membuatnya menangis. Murti dan ningsih juga sama cantiknya ketika masih bocah. Cuma sekarang ia tidak tahu seperti apa bentuk dan rupa ningsih. Tentu tidak sama dengan puluhan tahun silam.

"sampaikan saja salamku pada ningsih jo".

"kak ningsih berharap ketemu kamu tot. Main saja ke rumah. Nanti kukenalkan ke istri dan anakku".

"baiklah. Tapi aku tidak janji ya?".

Sementara murti duduk dengan gelisah di bangkunya. Acara pelantikan masih setengah jam lagi tapi murti sudah sangat ingin keluar dari pendopo. Ia tahu semua mata tengah memandanginya dengan sorot mata dan ekspresi wajah bermacam macam. Sekelompok orang yang ada di baris paling belakang kasak kusuk dan sayup terdengar oleh murti, membuatnya makin ingin angkat kaki. Untung ia duduk di sebelah aisyah, membuatnya sedikit tenang dan terhibur.

"bu murti sepertinya tidak semangat".

"iya aisyah. Semalam saya begadang".

"pantas bu murti kelihatan loyo. Kok tidak bersama pak camat?".

"bapak lagi libur ais. Beliau istirahat di rumah".

"jadi ibu diantar mas gatot?".

"benar. Nanti kamu bisa pulang bersama kami".

"terima kasih bu. Tapi saya malu".

"malu sama siapa? Anggap saja aku ini kakakmu ais".

"saya malu sama mas gatot bu".

"ibu ngerti. Nggak usah malu. Gatot senang kok berkenalan denganmu".

"ah, bu murti bisa saja".

Murti tertawa melihat aisyah malu malu kucing. Ia ingin bicara tapi acara pelantikan mulai di buka. Saat saat membosankan telah berlalu, berganti dengan wajah wajah penuh harapan baru. Ada sekitar seratus orang yang semuanya adalah guru yang mengikuti pelantikan. Murti tidak begitu mendengarkan sambutan dari bupati dan kepala diknas. Ia lebih suka menunggu dan berharap acara segera berakhir. Memang kata sambutan itu yang paling lama. Sementara acara acara lain berlangsung cepat, begitupun dengan penyerahan SK yang sengaja di kebut. Murti merasa bahagia sekaligus kecewa. Ketika membuka SK, wajahnya berubah. Ia memang resmi jadi pegawai negeri tapi juga di pindah tugaskan ke sekolah negeri, bukan lagi di madrasah.

"kamu juga di mutasi aisyah?".

"benar bu. Mulai besok saya mengajar di SMA 3".

"syukurlah kita masih satu tempat. Rasanya berat sekali meninggalkan madrasah".

"saya juga begitu bu. Sedih meninggalkan sekolah rintisan abah. Tapi memang harus ada regenerasi".

"kamu benar. Semoga tempat baru memberi kita rejeki baru".

"semoga. Kita berdoa saja bu".

Mereka menunggu dengan sabar sampai acara pelantikan bubar. Setelah berjabat tangan memberi ucapan selamat pada semua orang, murti dan aisyah segera keluar dari aula pendopo dan menghampiri gatot yang setia menunggu di bawah pohon. Bertiga mereka menuju mobil.

"sudah selesai acaranya?".

"sudah tot. Aku dan aisyah mau ke madrasah. Antar kesana ya?".

Gatot menatap aisyah yang masih dibayangi duka. Ingin rasanya ia menghapus wajah duka itu agar terlihat ceria seperti sedia kala. Kematian memang menimbulkan duka mendalam bagi orang orang yang ditinggalkan. Dan gatot menghitung kematian pak asnawi, ayahnya aisyah telah memasuki hari ketujuh. Ia dibayangi ketakutan bahwa suatu saat nanti kejahatan itu terbongkar. Ia takut berhadapan dengan aisyah bila saat itu tiba.

"nanti malam terakhir tahlilan ya aisyah?".

"benar. Saya akan senang bila mas gatot mau hadir mendoakan abah saya".

"saya ingin sekali datang. Tapi semua tergantung ijin pak camat".

"oh ya bu murti, saya berniat tinggal di komplek. Adakah di sekitar situ rumah kontrakan?".

"komplek sudah penuh. Coba kamu bicara ke gatot. Siapa tahu dia mau menyewakan rumahnya", kata murti.

Gatot menoleh dan memandang murti. "apa maksudmu?".

"maksudku rumahmu kan sering kosong. Bagaimana kalau kamu sewakan saja?".

"lalu saya mau tinggal dimana murti?".

"ya tinggal di rumahku. Mas joko sudah lama ingin kamu tinggal bersama kami tot".

"saya tinggal di rumah saja".

"bagaimana kalau saya saja yang tinggal dirumah bu murti?".

"bukannya ibu menolak niat baikmu aisyah. Kami sudah sepakat untuk tidak menerima wanita di rumah kami".

"saya bisa pahami sikap keluarga ibu. Bagaimana kalau saya kos di rumah mas gatot saja?".

Ganti gatot yang terkejut mendengar permintaan aisyah. Ia melihat kesungguhan dibalik kata kata aisyah. Mungkin ada baiknya tetapi gatot merasa akan lebih banyak buruknya bila sampai aisyah tinggal serumah dengannya. Ia tidak keberatan seandainya aisyah memang mau tinggal bersamanya tapi bagaimana tanggapan warga yang lain? Pasti akan ada pergunjingan. "sebenarnya apa yang membuat aisyah ingin pindah?".

"capek mas tiap hari bolak balik ke cemorosewu. Kalau kos kan bisa irit waktu dan tenaga. Bagaimana? Mas gatot setuju?".

"saya belum bisa putuskan aisyah. Saya harus diskusikan dulu dengan pak camat dan pak RT".

"secepatnya ya mas. Saya tunggu keputusan mas gatot".

Setelah mengantar murti dan aisyah ke madrasah, gatot pulang ke rumah pak camat. Murti yang menyuruhnya pulang karena ada sms yang intinya pak camat sangat butuh bantuan gatot. Sampai di rumah pak camat, ia sudah ditunggu majikannya itu di teras. Pak camat tampak sangat rapi, membuat gatot bertanya tanya dalam hati hendak pergi kemana beliau. Ia segera menghampiri pak camat.

"bapak mau kemana?".

"tempat biasa. Tapi kalau murti tanya bilang saja aku rapat".

"baik pak".

Merekapun pergi. Gatot tahu tempat biasa yang dimaksud pak camat. Tidak begitu jauh dari komplek, tepatnya di sebuah kawasan perumahan mewah yang tidak sembarang orang bisa masuk. Ke situlah gatot mengantar pak camat. Di depan sebuah rumah tingkat yang terletak paling ujung, gatot menghentikan mobil, membunyikan klakson dan masuk ke halaman rumah begitu pagar terbuka. Dengan cepat pula pagar itu kembali tertutup. Seorang wanita muncul dan tersenyum pada gatot lalu wanita itu menggelayut manja di pelukan pak camat. "gatot, terserah kamu mau kemana. Tapi jemput nanti jam lima sore ya".

"baik pak. Saya pergi dulu".

Gatot meninggalkan rumah itu, meninggalkan pak camat yang sudah sibuk dengan wanita simpanannya. Ia bingung mau kemana tapi akhirnya ia putuskan pulang ke rumah pak camat. Sepi. Murti belum pulang dan pintu masih terkunci. Untung pak camat memberikan kunci serep sehingga ia bisa masuk sesuka hati bagai di rumah sendiri. Dalam sendiri, gatot teringat semua kejadian yang menimpanya dalam kurun enam bulan terakhir ini. Sejak bercerai dari istrinya, gatot merasa hidupnya berputar bagai yoyo. Pahit manis kehidupan telah ia jalani dengan beragam perasaan suka duka, senang sedih, rindu benci, dan segudang perasaan lain. Ia teringat pada mantan istrinya yang berada nun jauh disana, di seberang pulau. Ingin sekali ia kembali ke pulau itu, pulau yang telah memberinya banyak harapan dan kenangan.

Gatot duduk di teras rumah pak camat. Matanya menatap lurus ke depan, ke jalanan yang ramai oleh anak anak komplek. Tapi ia tidak merasakan keramaian itu. Ia terasing di alamnya sendiri. Gatot memandang foto yang ada di dompetnya. Itu adalah foto zulaikha, mantan istrinya. Tidak secantik murti tetapi gatot mencintainya sepenuh hati. Dua tahun lamanya membina rumah tangga bersama zulaikha, ia belum pernah melihat istrinya itu marah. Istrinya adalah wanita yang sabar dan rendah hati, pintar menjaga perasaan dan emosi. Gatot menyesal kenapa ia harus meninggalkan istri sebaik zulaikha. Ia berpikir rasanya tak mungkin lagi bisa menemukan wanita sebaik zulaikha. Sayang semua itu kini hanya menjadi memori yang membelenggu jiwa. Ia ingin mendapat kabar tentang zulaikha tetapi ada rasa ketidakpantasan untuk menelepon mantan istrinya itu. Gatot menghela napas dan mengusap wajahnya, mengembalikan foto zulaikha ke dalam dompet.

Tepat tengah hari murti pulang. Gatot merasa bersalah. Gara gara tertidur di teras, ia sampai lupa menjemput istri majikannya itu. Untung murti tidak marah dan memang tidak pernah bisa memarahi gatot. Murti cuma bisa tersenyum masam sambil menyeka keringat. "maaf murti, aku tertidur".

"tidak apa. Tapi kenapa tidur di teras? Mana mas joko? Kamu sendirian di rumah?".

"tadinya aku berniat cari angin, eh malah ketiduran. Pak camat rapat. Tadi aku nganter beliau ke gedung dewan".

"bukannya bapak libur? Ayo masuk ke dalam".

"aku disini saja murti".

"masuk saja. Ada yang mau kubicarakan".Murti sama sekali tidak mau tahu berbagai alasan gatot yang menolak untuk masuk. Ia dengan agak kasar menyeret gatot dan menutup pintu saat mereka sudah ada di dalam. Murti terus menyeret gatot hingga kamar. Di situlah ia membebaskan gatot tapi gatot sudah tak bisa apa apa. Pintu kamar telah terkunci dan kuncinya di simpan murti. Murti mengganti baju muslimahnya dengan baju rumahan. "benarkah pak camat rapat tot?".

Gatot mendesah. Ia tidak bisa menjawab dengan jelas pertanyaan murti. Semakin hari pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan murti semakin datang bertubi tubi, semua bernada ketidak percayaan dan kecurigaan.

"begitulah murti".

"bohong".

"terserah kamu murti. Tapi memang begitulah kenyataannya".

"kenyataan atau kebohongan? Katakan dimana suamiku sekarang".

"saya tidak bisa katakan".

"kenapa? Berapa mas joko menyuapmu sampai kamu tega membohongiku tot? Mana belas kasihanmu padaku?".

"maafkan aku murti. Aku mengasihimu. Tapi aku juga harus menjaga semua yang diamanatkan pak camat".

"jujurlah demi aku tot".

Gatot menggeleng lesu. Murti menangis tersedu sedu. Keduanya segera larut dalam pelukan bisu. Keduanya hanyut dalam gelombang ragu. Gatot ragu untuk berkata sejujurnya mengenai sepak terjang pak camat sementara murti mulai ragu pada kesetiaan suaminya yang dirasa makin luntur. Keduanya juga ragu untuk memulai sesuatu. Gatot ikut berbaring di samping murti, menatap langit langit kamar sebentar kemudian beralih menatap murti. "sampai kapan jiwa kita terbelenggu seperti ini murti", bisik gatot lirih. "mungkin sampai detak jantung kita berhenti tot", murti balas berbisik dan berbalik telentang dengan hanya memakai kutang. Tapi tak lama juga kutang itu sudah melayang, membuatnya benar benar telanjang.

Gatot tidak pernah menang bila sudah berhadapan dengan murti yang seperti itu. Ia menyerah dan kalah dalam perdebatan dengan setan. Hati nuraninya bilang ini tak boleh dan sangat di laknat tetapi setan lebih berani berkata bahwa keintiman yang dijalaninya bersama murti adalah sesuatu yang sah dan wajar. Gatot tak tahu siapa yang benar. Ia cuma tahu dahaga batin murti harus terpenuhi. Toh murti sama sekali tidak merasa tersakiti. Maka jadilah dua insan itu berkubang dalam jeratan ilusi. Mendaki ke puncak berkali kali dan menghabiskan seluruh mimpi dalam lumuran keringat dan daki. Sampai tenaga tak tersisa sama sekali.

"adakah cara yang lebih baik dari semua ini murti?".

"bagaimana kalau kamu menikahiku dibawah tangan?".

"itu takkan menghapus dosa murti".

"kalau begitu biarlah gelimang dosa ini kutanggung sendiri".

Murti menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Ia meneliti setiap inci tubuhnya dan tertawa sendiri. "bukankah aku masih segar?", katanya di sela tawa yang tak kunjung berhenti. "adakah yang lebih segar hingga mas joko tak lagi ingat aku?", katanya lagi.

"tidak ada siapapun di hati pak camat murti. Dia hanya sibuk dengan tugasnya".

Murti tertawa semakin keras, sampai tubuhnya terguncang guncang, begitu pula dengan pembaringan yang bergoyang. gatot hanya bisa memeluk dan mendekap murti. Mereka menyatu sekali lagi dalam kobaran naluri.

Jam setengah lima sore, gatot pergi lagi. Ia sengaja tidak membangunkan murti yang tidur pulas. Ia juga sangat hati hati mengambil kunci pintu kamar dari sela paha murti. Lalu melangkah perlahan lahan tanpa suara. Aman. Ia kembali menutup pintu kamar dan langsung ke garasi. Ia tidak menghidupkan mobil dan mendorong mobil itu sampai ke jalan raya. Barulah ia menyalakan mesin. Ia sudah akan melaju tapi ada yang menghalangi mobilnya. Persis di depannya tiba tiba ada sebuah motor melintang di jalan. Motor itu tidak juga menyingkir meski sudah di klakson berkali kali. Gatot hilang kesabaran. Ia keluar dari mobil dan melangkah cepat menghampiri motor itu. Belum sempat ia menegur, pengendara motor itu mendahului membuka helm dan mengurai rambut panjangnya lalu berbalik memandang gatot dengan senyuman yang menghanguskan kemarahan gatot. Emosi gatot yang siap meledak jadi jinak. Sekarang pengendara motor itu menepi.

"masih ingat aku?", kata pengendara motor.

"ya Tuhan. Ningsih?", seru gatot senang.

"benar tot. Lama sekali kita tidak jumpa".

"iya. Malah kupikir kamu sudah punya anak banyak".

"boro boro beranak, nikah aja belum. Kamu mau kemana?".

"jemput majikanku. Kamu sendiri?".

"mau jalan jalan ke komplek. Aku kan juga lahir di sini tot. Gimana si murti?".

"ke rumahnya murti saja. Maaf ya ningsih, aku buru buru".

"baiklah. Sampai ketemu lagi tot".

Gatot dan ningsih berjabat tangan sebelum berpisah. Sayang sekali waktu yang tidak mengijinkan padahal gatot sangat ingin ngobrol lama dengan ningsih. Iapun tancap gas dan ngebut karena sudah jam lima sore lewat sedikit. Berarti ia sudah terlambat menjemput pak camat. Semoga pak camat tidak marah, batinnya.

Sesampainya di tujuan, gatot di sambut senyum ramah sang pemilik rumah. Pak camat belum menampakkan batang hidungnya, yang nampak hanya hidung mancung wanita pemilik rumah. Gatot mengedarkan mata dan berharap pak camat segera muncul tapi harapannya sia sia. Daripada menunggu lama, tidak ada salahnya bertanya.

"pak joko ada mbak?".

"masuk saja dulu. Ayo", ajak wanita itu.

Gatot ikut masuk sampai ruang tamu, duduk di kursi yang empuk dan berhadapan dengan si wajah ayu. Inilah wajah wanita idaman lain pak camat. Gatot mulai dilanda gelisah karena yang ia tunggu tak juga muncul. Ia tidak mau bertanya dua kali. Sesekali ia memandang sebentar ke tuan rumah. Ia memandang hanya bagian wajah saja karena kalau memandang lebih ke bawah ia takut imannya goyah. Wanita itu duduk serampangan, begitu juga pakaiannya yang melekat sembarangan. Gatot ingin secepatnya keluar dari ruang tamu itu, tapi si wanita malah menyuguhkan segelas susu hangat. Keinginan gatotpun tertahan.

"mana pak joko mbak?".

"sudah pulang", kata wanita itu dengan gaya centil dan suara mendayu.

"sudah pulang? Kok mbak ayu tidak bilang dari tadi? Naik apa pak joko pulang?".

Rentetan pertanyaan gatot dijawab oleh mbak ayu dengan kerling mata merayu. Gatot serba salah, serba tak tahu harus berkata apa lagi dan tak tahu harus berbuat apa menghadapi situasi yang berbahaya. Gatot sudah terbiasa menghadapi berbagai jenis marabahaya tetapi menghadapi bahaya berupa wujud wanita, gatot seringkali kalah. Contohnya ia sudah kalah dan takluk di pelukan murti. Ini ada tanda tanda ia akan kalah di hadapan mbak ayu.

"baiklah mbak. Saya pulang dulu".

"jangan buru buru. Nanti aku bantu kok cari alasan ke pak joko".

"terima kasih mbak. Saya punya banyak kerjaan dirumah pak camat. Selamat sore".

"yah, mau gimana lagi. Habiskan dulu susunya sebelum pulang".

Gatot menenggak habis susu tanpa tersisa setetespun. Setelah itu ia pamit pulang dan menjabat tangan mbak ayu. Sungguh terlalu, sungutnya setelah berada dalam mobil. Gatot masih terbayang bayang segala bentuk tingkah laku mbak ayu. Memang wajar kalau ia menyumpahi mbak ayu yang benar benar terlalu. Gatot tak habis pikir betapa mbak ayu tidak sedikitpun merasa malu mempertontonkan diri, menampakkan berbagai gaya dan aksi yang mengundang birahi. Tiba tiba gatot merasakan kepalanya nyeri. Ia mencoba bertahan tetapi nyeri itu semakin keras menghantam, membuat kepalanya serasa pusing. Konsentrasinya buyar dan ia tak sadar telah mengemudikan mobil ke jalur yang tak semestinya. Sekuat tenaga ia terus mencoba kembali fokus namun pandangannya ikut ikutan kabur. Ketika sampai di sebuah perempatan, gatot sudah tak bisa lagi membedakan yang mana rem yang mana pedal gas. Dalam keadaan tak sepenuhnya sadar, mobil melaju kencang menerobos lampu merah, tepat di saat sebuah tronton melintas. Dalam panik gatot tak bisa lagi berbuat apa apa. Ia masih sempat melihat dan merasakan benturan sebelum semuanya menjadi sangat gelap. Bahkan ia tidak sempat melihat darah mengucur deras, darahnya sendiri. Gatot pingsan di dalam mobil yang ringsek.

"praaaakkkk".

Murti terkaget kaget mendengar suara gaduh dari dapur. Ia melompat dari tempat tidur dan berlari ke asal suara. Ia berdiri tercenung. Tidak ada siapapun di dapur, baik itu manusia atau hewan. Pintu dapur juga tertutup rapat, pun demikian dengan jendela. Aneh. Tidak ada angin tidak ada badai tiba tiba piring sudah pecah, berserakan di lantai. Perasaan murti seketika galau. Ia ingat petuah dari para orang tua bahwa jika ada barang atau apa saja jatuh dan pecah tanpa sebab, berarti akan ada hal hal buruk yang akan terjadi. Semacam firasat. Murti memungut pecahan piring dengan hati kalut. Ia berharap tidak terjadi apapun yang menimpa diri dan keluarganya. Ia masgul. Perasaannya makin tak nyaman, membuatnya gelisah. Ada apa ini?, batinnya.

"murti, cepat pakai baju dan ikut aku".

"mas joko! Bikin kaget saja", murti sama sekali tidak menduga suaminya sudah berdiri di belakangnya. Dalam hati ia bersyukur suaminya pulang dalam keadaan selamat dan sehat wal afiat. Berarti kekhawatirannya tidak terbukti. "ikut kemana mas?".

"ke rumah sakit. Gatot kritis?".

"apaa?!!!", murti berteriak dengan mulut menganga dan wajah penuh tanda tanya. "apa yang terjadi dengan gatot mas?".

"kecelakaan. Waktu kita sedikit. Cepatlah".

Kalau menyangkut gatot maka murti tak mau terlambat. Ia berlari cepat menyambar pakaian dan tanpa make up langsung menyusul suaminya di mobil. Tak lama mereka melesat. Murti gelisah. Ternyata piring pecah itu memang sebuah firasat buruk. Petuah dari para orang orang tua benar. Terjadi hal hal yang sangat tidak diharapkan. Gatot kecelakaan dan sekarang tengah kritis di rumah sakit. Murti ingin segera sampai di rumah sakit. "cepat dikit mas".

"ini sudah cepat murti. Kamu mau kita kecelakaan juga?".

Murti mencubit perut suaminya dengan wajah merengut. Tentu ia tidak ingin mengalami kecelakaan. Masih banyak keinginannya yang belum tercapai dan ia tak ingin mati sekarang. Ia merasa mobil terlalu lambat padahal jarum speedometer menunjuk seratus kilo per jam. Berarti suaminya memang ngebut, sama sama ingin segera sampai di rumah sakit. Akhirnya memang sampai juga.

"yang mana kamarnya mas?".

"sabar. Kita tanya dulu".

Murti paling benci birokrasi tapi kalau mau tahu kamar pasien memang mau tidak mau harus bertanya ke bagian administrasi. Setelah informasi di dapat, ia berkelebat cepat mendahului pak camat menuju ruang rawat. Pak camat cuma tersenyum samar lalu menyusul istrinya. Kini mereka sudah berada di instalasi gawat darurat. Murti ingin masuk tapi perawat yang berjaga melarang. Ia cuma bisa mengintip dari lubang pintu. Ia pucat setelah tahu apa gerangan yang terjadi di dalam ruangan. Ia berbalik dan menyandarkan kepala di bahu suaminya, duduk berdua dengan suaminya di bangku depan IGD. Perawat yang berseliweran keluar masuk tidak bersedia memberi pernyataan.

"kita tunggu dokter saja. Sabar ya".

"bagaimana bisa terjadi mas?".

"entahlah murti. Aku sendiri tidak tahu. Malah polisi yang memberitahuku tadi".

"mas joko bagaimana sih? Memangnya mas nggak pulang bareng gatot?".

"tidak. Tadinya aku memang minta dijemput. Karena gatot lama, ya aku pulang bareng pak hasan. Ternyata malah kecelakaan".

"mas joko rapat dimana?".

"ya dikantor dong sayang".

"bohong. Orang kantor kecamatan bilang mas joko tidak ngantor sama sekali".

"aku memang tidak ngantor tapi rapat di gedung DPRD. Jangan curiga ah".

"gimana nggak curiga kalau tiap hari mas joko lupa istri".

"aku tidak melupakanmu murti. Aku sibuk. Sudahlah, ini rumah sakit bukan tempat berdebat".

Mulut murti langsung rapat, tidak bicara lagi. Tapi dalam hati ia yakin ada yang tidak beres dengan suaminya. Pak camat memang mengalami perubahan besar, itu yang dirasakan murti mengingat suaminya akhir akhir ini jarang di rumah. Liburpun pak camat tidak di rumah. Kepercayaannya pada sosok suami perlahan luntur, digerus oleh kecurigaan yang semakin hari semakin tak terbendung lagi. Satu satunya orang yang tahu betul adalah gatot. Sayang gatot tidak berani membuka rahasia, malahan kini gatot tengah menghadapi maut. Teringat gatot, lagi lagi murti mendesah. Padahal tadi siang ia masih bersama gatot, melewati masa masa bahagia dan suka, menghiasi siang dengan tumpahan kasih dan mesra. Tapi di sore menjelang petang ini gatot tak bisa lagi diajak bercanda dan tertawa. Murti jadi gelisah. "maafkan aku mas".

"tidak apa murti. Aku tidak pernah menganggapmu bersalah. Kita berdoa saja buat keselamatan gatot".

Tanpa diminta murti memang sudah berdoa sejak mendapat firasat tadi. Kini doanya semakin ia perbanyak, tak peduli tuhan masih sudi mendengar doanya atau tidak. Yang pasti sebagai makhluk penuh dosa, ia tak pernah berhenti berdoa. Terlebih ini menyangkut hidup mati seorang pria yang sangat melekat kuat dalam hati. Pria yang sejak kecil telah menjadi idaman yang abadi.

"bagaimana pelantikan tadi pagi?".

"baik baik mas. Tapi aku di mutasi ke SMA 3. Jadi jauh kerjaku sekarang".

"tidak apa. Sementara kamu biar saya antar sampai gatot sembuh".

"tidak usah mas. Aisyah bersedia berangkat bersamaku".

"kasihan dia murti. Sudah jauh dari cemorosewu masih harus jemput kamu".

"aisyah berencana pindah ke komplek kita mas. Dia lagi nyari kontrakan atau kos kosan".

"bagaimana kalau kita tawarkan rumah gatot saja?".

"sudah. Aisyah sendiri yang ngomong langsung ke gatot. Tapi gatot masih pikir pikir".

"itu bisa diatur".

Seorang dokter keluar dari ruangan. Murti dan pak camat serempak berdiri dan memburu dokter itu.

"bagaimana keadaannya dok?".

"masih koma. Tapi tidak usah khawatir. Dia tidak mengalami luka fatal".

"syukurlah. Bagaimana dengan tulang tulangnya?".

"baik. Memang ada beberapa tulang kaki yang retak. Tapi kami usahakan tidak di amputasi".

"bisakah kami masuk ke ruangan itu?".

"silahkan. Tapi jangan terlalu dekat dengan pasien".

"terima kasih dok".

Mereka bergegas masuk dan berdiri agak jauh dari tempat gatot terbaring koma. Tidak ada yang berani bersuara. Hanya mata mereka saja yang berkaca kaca menyaksikan gatot di kelilingi beragam jenis peralatan medis yang serba canggih. Selang infus menempel di sana sini dan perban membalut hampir seluruh bagian wajah dan kaki. Belum ada tanda tanda kehidupan sama sekali. Alat pendeteksi detak jantung masih menampilkan garis lurus.

"maaf, adakah diantara bapak dan ibu yang bergolongan darah AB?", seorang perawat bertanya.

"saya mbak. Silahkan kalau mau ambil darah", sahut murti cepat.

"baik. Silahkan ibu berbaring di kasur itu".

Murti tidak menunggu persetujuan pak camat. Ia mematuhi perintah si perawat untuk berbaring dan menjalani pemeriksaan kesehatan sebelum mendonorkan darah. Ia rela dan ikhlas bahkan biar darahnya tersedot sampai habis ia rela demi kesembuhan gatot. "kami sangat butuh pendonor untuk memenuhi persediaan darah".

"mas joko, cari dong orang kantor yang bergolongan darah AB".

"baiklah. Kamu tunggu sebentar ya".

Pak camat keluar ruangan dan menelepon beberapa pegawai kecamatan. Wajahnya tampak kecewa karena hanya satu yang punya golongan darah AB. "dewi, bisakah kamu datang ke rumah sakit?".

"baik pak. Saya langsung kesana".

Pak camat masih berusaha menelpon siapa saja yang dikenalnya. Sungguh repot mencari dan sampai habis pulsa tidak ada yang cocok dengan permintaan si perawat. Murti juga sibuk menelpon dan sms rekan rekannya sesama guru dan kawan kawannya, siapapun yang ia kenal di telpon. Murti ragu untuk menelpon aisyah karena malam ini adalah acara tujuh hari meninggalnya ayah aisyah. Tapi demi gatot ia menepis keraguan itu dan coba menghubungi aisyah. Beberapa kali belum juga diangkat. Murti paham aisyah pasti sibuk. Sekali lagi ia coba dan langsung tersambung.

"assalamualaikum aisyah".

"waalaikumsalam bu murti. Ada apa?".

"begini aisyah. Kami sangat butuh pendonor. apa golongan darahmu?".

"AB. Buat siapa bu murti? Siapa yang sakit?".

"buat gatot aisyah. Tadi sore dia kecelakaan dan sekarang masih koma".

"astaghfirullah. Ada di rumah sakit kan? Saya segera kesana bu".

"terima kasih aisyah. Assalamualaikum".

Murti lega. Setidaknya ada empat orang termasuk dirinya sendiri yang bersedia menjadi pendonor. Tiga orang yang lain adalah aisyah, ningsih, dan dewi. Tidak sampai setengah jam ningsih dan dewi sudah berada di rumah sakit. Pak camat mengantar keduanya ke ruang gawat darurat. Murti menyambut mereka dengan jabat tangan dan ucapan terima kasih. Pengambilan darah berlangsung cepat. Tapi ningsih dan dewi masih bertahan dirumah sakit bersama murti. Pak camat ijin pulang untuk mengambil beberapa kebutuhan gatot. Sepeninggal pak camat, aisyah datang dengan keringat bercucuran. Murti maklum pasti aisyah naik angkot sampai keringatan. Semua berlangsung sama dengan tadi. Dalam sekejap tiga kantong darah sudah siap. Mereka memang memaksa perawat untuk mengambil darah sebanyak banyaknya.

"terima kasih kalian semua mau membantu kami".

"saya juga senang bisa membantu. Padahal tadi sore aku bertemu gatot. Katanya sih dia mau jemput suamimu", kata ningsih.

"iya mbak murti. Aku juga sempat lihat mobil pak camat di perumahan Residence. Pasti gatot yang bawa mobil", kata dewi

"perumahan Residence?", murti mulai berpikiran curiga.

Murti tidak lagi tertarik pada obrolan ketiga tamunya. Ia lebih tertarik pada penjelasan yang di sampaikan oleh dewi. Mobil suaminya kedapatan memasuki perumahan Residence. Selama bertahun tahun berumah tangga, belum pernah sekalipun pak camat suaminya membawanya ke perumahan mewah itu. Suaminya juga tidak pernah menyinggung kawasan elit itu. Tapi yang di bilang dewi membuatnya berpikir seribu kali. Ada apa gerangan dengan keberadaan mobil suaminya di sana? Apakah itu berhubungan dengan perubahan suaminya? Siapa yang di temui oleh suaminya disana? Kenapa gatot tidak bilang apa apa?. Pertanyaan pertanyaan itu bergentayangan merasuki alam pikiran, membuatnya semakin yakin dengan gosip yang dihembuskan di arisan darma wanita.

"kok bu murti malah diam?".

"tidak apa aisyah. Kamu serius mau tinggal di komplek?".

"benar bu. Ini saya malah bawa seragam kerja. Rencana saya malam ini mau menginap di rumah bu murti".

"nanti bilang sama pak camat dulu ya?".

"baik bu".

"oh ya murti, aku lupa sampaikan kalau keluargaku berencana kembali ke komplek", kata ningsih memberitahu.

"benarkah? Dimana keluargamu mau tinggal ning?".

"ya di rumah yang dulu. Abah sudah membeli kembali rumah itu. Kami juga tidak betah di tengah kota, berisik".

"syukurlah, kita bisa berkumpul lagi ningsih".

"harapanku juga begitu murti. Bukan cuma dengan kamu tapi aku berharap bisa berkumpul dengan teman teman kecil yang dulu".

"sepertinya komplek sangat menarik buat dihuni ya mbak murti?", tanya dewi yang sedari tadi diam mendengarkan.

"kamu juga mau pindah ke komplek?".

"melihat antusias kalian, terus terang membuat saya tertarik mbak".

"sayang sekali komplek sudah penuh dewi. Si aisyah saja masih bingung cari kontrakan".

"sayang sekali. Aku juga nggak kerasan di kos kosan yang sekarang. Selain ramai juga jorok".

"nantilah ku tanyakan ke tetangga".

Ada ada saja. Kenapa semua orang ingin tinggal di komplek yang tersohor sebagai kawasan buram?. Tapi siapa yang bisa menebak isi hati orang. Murti hanya bisa menebak isi hatinya sendiri.

Jam sepuluh malam pak camat kembali ke rumah sakit. Murti dan aisyah membantu membawakan empat tas besar berisi pakaian dan kebutuhan gatot selama dirawat sementara dewi dan ningsih setengah jam yang lalu sudah meninggalkan rumah sakit karena jam besuk sudah berakhir.

"murti, kamu tahu kemana gatot mau pergi?".

"maksud mas joko?".

"begini, tadi aku masuk ke rumah gatot. Aku lihat satu setel pakaian muslim dan kopiah seperti sudah disiapkan oleh gatot. Makanya kutanya kamu tau dia kondangan dimana?".

Murti dan aisyah berpandangan. Aisyah lalu memandang pak camat dengan wajah sedih. "mungkin mas gatot mau tahlilan ke rumah saya pak. Tadi siang saya memang undang dia".

"oh begitu. Saya juga mohon maaf kalau tidak bisa hadir ya aisyah. Saya sibuk".

"tidak apa pak. Saya memahami kesibukan pak camat".

"sudah malam. Ayo kita pulang. Aisyah mau ikut?".

"iya pak. Saya harap bapak tidak keberatan menerima saya semalam saja. Terlalu malam kalau pulang ke cemorosewu".

"saya malah senang. Ayo".

Mereka meninggalkan rumah sakit dengan hati berat, terutama murti. Ia sangat ingin lebih lama di rumah sakit, bahkan kalau perlu menginap untuk memastikan keadaan gatot baik baik saja. Sayangnya semua itu tak mungkin karena ia bersuami. Cukup doa saja yang ia panjatkan bersama mekarnya seribu harapan.

***

Setelah seminggu dirawat di rumah sakit, gatot menunjukkan kemajuan pesat. Ia sudah bisa membuka mata dan bicara meski terbata bata. Yang paling melegakan bagi semua adalah bahwa gatot tidak hilang ingatan. Gatot masih bisa mengenali orang orang yang ada di sekelilingnya.

Yang paling merasa beruntung adalah murti. Sakitnya gatot bersamaan dengan liburan sekolah. Ia mendapat libur selama dua minggu dimulai hari ini. Ia jadi punya banyak waktu luang dan ia tidak ingin waktu luang itu terbuang. Ia sudah mendapat restu dari suaminya untuk mengunjungi gatot kapan saja. Murti jelas bahagia. Pak camat suaminya bilang bahwa ia boleh menunggui gatot mengingat gatot tidak punya sanak saudara dan kerabat dekat. Orang yang paling dekat dengan gatot ya cuma mereka saja.

"kamu tidak mengajar?", tanya gatot dengan suara masih gemetar. Kini gatot sudah dipindahkan ke paviliun kelas satu. Masa masa kritis yang dialaminya telah lewat, tinggal masa penyembuhan dan pemulihan.

"aku libur tot. Dua minggu", kata murti sambil menyuapkan sesendok demi sesendok makanan ke gatot. "kamu juga sudah seminggu lho di sini".

"aku ingin pulang murti. Aku mau dirumah saja".

"jangan buru buru. Tunggu sampai kamu benar benar sehat".

"aku tidak punya uang buat bayar biayanya".

"jangan dipikirkan. Aku dan mas joko yang menanggung biaya sampai kamu sembuh".

"aku selalu merepotkanmu ya murti?".

"sudahlah. Kita ini sudah sehati tot", murti memberi gatot minum lalu duduk persis di samping gatot. "aku mencintaimu".

"akupun begitu murti. Tapi kamu punya suami".

"sekarang jelaskan bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi. Kamu tidak mabuk minuman keras kan?".

"aku sempat minum susu di rumah teman. Entah apa karena susu itu atau ada hal lain tiba tiba aku pusing. Kupaksakan untuk pulang sampai rumah tapi ya begitu, di tengah jalan aku tak tahan lagi dan nabrak tronton".

"darimana dan siapa yang memberikan susu itu?".

"kawanku".

"bohong. Pas kejadian itu ada yang memergoki mobil dinas suamiku di perumahan residence".

"aku memang kesana murti. Rumah kawanku ada disana".

"rumah kawanmu atau rumah kawan mas joko suamiku?".

gatot terdiam tapi murti ingin mendapat penjelasan sejelas jelasnya. Beruntung dokter yang bertugas memeriksa datang. "kapan saya bisa pulang dok?".

"sebenarnya hari ini bisa. Tapi demi kesembuhanmu, mungkin dua hari lagi kamu bisa pulang".

"saya bosan tidur terus".

"cobalah jalan jalan sekitar rumah sakit. Kamu perlu melatih kakimu".

"kaki saya baik baik saja. Memang agak nyeri tapi tidak masalah".

"Kami diskusikan dulu dengan tim dokter. Permisi", dokter meninggalkan ruangan.

Murti membantu gatot berdiri dan memapahnya ke kamar mandi. Ia tidak malu menelanjangi gatot dan memandikan pria itu. "aku ingat masa masa kita sering mandi bareng tot", kata murti dengan wajah bersemu merah. Ia ikut ikutan basah kuyup tersiram air. "tapi kita bukan anak kecil lagi murti".

"yah, setidaknya masa itu masih bisa ku kenang bersamamu tot".

"ada masa yang lebih penting untuk kamu kenang murti. Pernikahanmu dan rumah tanggamu".

"apalah arti pernikahan tanpa ada lagi kesetiaan".

"kamu yang tidak setia pada suamimu. Kamu mencintai lelaki lain selain suamimu. Bahkan kamu telah berzinah".

"mas jokolah yang memulai. Aku hanya mengikuti alur tot. Perselingkuhan harus dibalas dengan perselingkuhan juga".

"darimana kamu tahu kalau suamimu selingkuh?".

"dari caranya memperlakukan aku. Sebenarnya aku berharap kamu jujur. Tapi biarlah kucari sendiri".

"aku pulang sekarang saja murti. Kemasi barang barangku".

Murti sejenak tercenung tapi kemudian tak punya pilihan karena gatot memaksakan diri. Ia segera menelpon suaminya. Ia berharap pak camat ikut menjemput gatot dan mengantar gatot pulang namun suaminya itu lagi lagi bilang sibuk rapat dan sibuk dengan alasan ini itu. Suaminya hanya bilang akan mengirim seseorang untuk menjemput. Ternyata seseorang yang dimaksud suaminya adalah dewi. Murti sama sekali tidak mengharapkan dewi yang datang.

"selamat siang mbak murti. Mau langsung pulang?".

"iya dewi. Gatot tuh nggak sabaran".

"siapa sih yang betah lama lama di rumah sakit mbak? Benar kan tot?".

"benar mbak. Saya tidak tahan bau obat. Makanya saya maksa".

"saya bantu jalan ke mobil ya?".

Murti melengak mendengar kalimat terakhir yang diucapkan dewi. Sangat gamblang dan terang terangan, tanpa tedeng aling aling. Dewi ingin mengambil alih peran yang selama ini ia lakukan. Murti mengumpat dalam hati. Posisinya saat ini memang tidak memungkinkan untuk melakukan yang biasa ia lakukan pada gatot. Ia adalah istri seorang camat yang wajib menjaga imej dan nama baik, wajib berkelakuan baik di hadapan anak buah suaminya. Fitnah bisa saja muncul kalau ia memaksakan diri memapah gatot di hadapan dewi. Jadi mau tidak mau ia kebagian tugas membereskan dan mengangkut tas tas ke garasi. Masih untung dewi mau membantunya setelah mendudukkan gatot ke dalam mobil.

"tidak ada yang tertinggal mbak murti?".

"tidak ada dewi. Langsung saja ke rumah".

"rumah yang mana? Rumah pak camat atau rumah gatot?".

"ke rumahku saja mbak dewi".

"baiklah tot. Biar aku yang nyetir. Mbak murti kan belum bisa bawa mobil".

Murti ingin menampar mulut dewi yang terkesan menyepelekannya. Ia memang belum bisa nyetir tapi tak selayaknya dewi bicara begitu, terlebih dengan nada yang angkuh. Murti kini duduk bersebelahan dengan gatot di dalam mobil tetapi ada dinding yang seakan memisahkan mereka berdua. Dinding itu berupa tatapan mata dewi, yang membuat murti tidak berani melakukan apapun terhadap gatot. Ia tidak berani walau sekedar tersenyum pada gatot. Tatapan mata dewi terlalu berbahaya.

"memangnya tidak ada sopir lelaki di kantor ya dewi?".

"ada sih mbak. Tapi pak camat nyuruh aku, ya kuterima".

"bagaimana dengan rencanamu ke depan? Maksudku kapan kamu mau nikah?".

"waduh, mbak murti ini ada ada saja".

"bukannya mengada ada dewi. Usiamu kan sudah cukup. Masa depanmu juga sudah mapan. Tunggu apa lagi?".

"saya nunggu jodoh mbak. Nikah itu kan nggak bisa dipaksa paksa. Nikah karena terpaksa itu rawan bencana mbak murti".

Murti manggut manggut dan dalam hati merengut kalang kabut. Perkataan dewi telah menohoknya dari belakang. Entah disengaja atau tidak, tetapi dewi telah mengingatkan murti pada kisah hidupnya sendiri. Ia memang menikah karena terpaksa, bukan atas dasar cinta. Mahligai perkawinannya dengan pak camat tak lebih demi untuk menyenangkan hati orangtua. Ia belum puas menikmati masa muda ketika pak camat datang melamar. Belum pernah pacaran sampai pak camat mengajaknya kencan. Sampai akhirnya benar benar menikah, ia sama sekali masih buta arti rumah tangga. Kini ia mengerti betul bahwa berumah tangga sangatlah susah. Ada banyak hal yang membuat hati tersiksa. Seperti yang dikatakan oleh dewi bahwa menikah karena terpaksa rawan bencana. Kini murti sadar bencana itu sudah membayang di pelupuk mata. Pak camat suaminya ada tanda tanda punya daun muda. Tetapi itu masih sebatas prasangka murti, belum benar benar jadi nyata.

"sudah sampai mbak. Saya cuma disuruh nganter saja oleh pak camat. Setelah ini saya harus balik ke kantor".

"ya sudah balik saja sekarang. Biar gatot saya yang mengatasi. Terima kasih ya dewi".

"sama sama mbak. Mungkin nanti malam saya kesini".

Habis berkata begitu, dewi langsung pergi berlalu. Murti bersyukur dewi tidak ikut masuk ke dalam rumah gatot. Justru gatot yang terheran heran karena rumahnya sangat bersih. Semakin heran saja gatot karena bukan hanya bersih namun juga tertata rapi. Sama sekali tidak ada yang berserakan. Ia menoleh pada murti tapi murti cuma mengangkat bahu dan sibuk sendiri. Gatot tak tertahan untuk bertanya.

"kamu yang membersihkan rumahku ya?".

"bukan. Bersihkan rumahku sendiri saja malas, apalagi bersihkan rumahmu".

"lalu siapa yang merawat rumahku ini?".

"aisyah. Dia tiap hari sepulang mengajar mampir kesini, membersihkan rumahmu".

"aisyah? Kok mau dia bersusah payah membersihkan rumah?".

"karena dia ada maunya. Sudahlah tot. Kasihan juga aisyah tiap hari bolak balik ke cemorosewu. Terima saja dia tinggal di rumahmu".

"apa pak camat sudah kamu beritahu soal itu?".

"sudah berkali kali dan mas joko tidak mempermasalahkan. Pak RT juga memberi lampu hijau".

"baiklah murti. Mungkin memang ada baiknya aisyah tinggal disini".

"dia pasti kesini. Aku pulang dulu tot. Kalau ada apa apa panggil saja dari belakang ya".

"baiklah murti. Aku juga mau istirahat. Kangen sama kasurku sendiri".

"dasar kamu", kata murti sambil mengantar gatot ke kamarnya.

Setelah itu murti pulang lewat pintu belakang. Sekarang ia sudah ada di rumahnya sendiri. Murti meringis menahan sesuatu yang sangat mengganggu. Perutnya terasa mual dan ingin muntah. Iapun ke kamar mandi mencoba mengeluarkan isi perut tetapi tidak ada yang keluar. Murti ingat bahwa ia belum makan apapun sejak pagi tadi. Ah, mungkin sakit mag kambuh, pikirnya. Ia menghabiskan siang dengan tidur sepuas puasnya. Baru satu jam terlelap, murti terkesiap karena merasakan seseorang menyelinap dalam rumah. Tapi setelah tahu yang datang pak camat, murti melanjutkan tidurnya. Pak camat menyusul tidur di sampingnya.

"kok sudah pulang mas?".

"iya murti. Aku pusing".

"sudah minum obat?".

"sudah tapi tetap nggak ada efeknya. makanya aku ijin pulang".

"ya istirahat saja mas. Mungkin mas joko juga perlu mengajukan cuti".

"Pembangunan di desa desa semakin meningkat murti. Tidak mungkin saya cuti".

"bagaimana dengan pembangunan rumah tangga kita mas?".

"maksudmu apa murti?".

"tidak ada maksud apa apa mas. Sudah tidur saja".

Murti ingin suaminya langsung tanggap dengan pembangunan rumah tangga yang ia maksudkan. Sayangnya pak camat tidak paham atau pura pura tidak mengerti maksud hati istrinya. Ini adalah siang pertama murti tidur bersama suaminya setelah siang siang sebelumnya lebih sering tidur bersama gatot. Seharusnya ada usaha memperbaiki bangunan rumah tangga yang mulai lapuk di gerus berbagai macam praduga dan rasa curiga. Namun murti tidak mendapati suaminya punya keinginan untuk itu. Murtipun meneruskan tidurnya dan tidak bertanya ataupun meminta pada suaminya. Ia tidur dengan hati kosong.

Ketika bangun jam lima sore, murti sudah tidak mendapati suaminya. Ia mencari cari ke sudut rumah tapi pak camat tidak ada. Yang ada malah selembar undangan yang tergeletak diatas meja. Murti membaca undangan itu. Bukan untuknya tapi untuk pak camat. Kini murti tahu kemana suaminya itu menghilang. Di undangan itu tercantum acara resepsi hari ini jam lima sore. Yang ia tak mengerti kenapa suaminya tidak memberitahu dan bahkan tidak mengajaknya ke acara resepsi itu padahal selama ini mereka selalu berpasangan bila menghadiri acara acara pernikahan. Apakah pak camat sudah punya pasangan lain murti cuma bisa menduga duga.

Gatot juga baru saja terbangun dari tidurnya. Saking nyenyaknya tidur, ia sama sekali tidak merasakan apapun. Seluruh panca indranya ikut tidur. Ia mengucek mata dan menajamkan telinga mencoba mendengar lebih jelas suara suara berisik yang bersumber dari dapur. Gatotpun sudah sangat yakin bahwa yang ada di dapurnya adalah murti karena hanya murti yang bisa keluar masuk rumahnya dengan bebas. Gatot menerawang memikirkan hari harinya bersama murti yang juga makin bebas, semakin tak ada batas. Ia ingin semua berakhir namun sudah terlalu sulit untuk menghindari murti. Ada nuansa hati bila ia bersama murti, nuansa yang tidak pernah ia rasakan bila bersama wanita lain. Gatot teringat saat saat terakhir dirinya sebelum kecelakaan terjadi. Ia curiga jangan jangan susu yang ia minum di rumah mbak ayu telah dicampur sesuatu yang membuatnya pening. Tingkah laku mbak ayu juga bikin kepalanya pusing tujuh keliling. Sepengetahuan gatot, istri simpanan pak camat itu memang bukan wanita baik baik. Sebagai orang yang lama berkecimpung di dunia hitam, ia tahu dan mengenal hampir semua wanita penghuni lembah hitam. Mbak ayu pernah ia lihat di salah satu lokalisasi paling elit. Berarti pak camat juga pernah mengunjungi lokalisasi itu, lalu bertemu mbak ayu, kesengsem berat pada mbak ayu, sampai akhirnya menjadikan mbak ayu istri simpanan. Sungguh malang nasibmu murti, kata gatot dalam batin.

"murti, kamukah itu?", katanya setengah berteriak. Tidak ada jawaban tapi gatot mendengar langkah langkah kaki mendekat. Dan ketika seseorang berdiri diambang pintu kamar, iapun terperanjat. "aisyah?".

"assalamualaikum mas. Maaf kalau mengejutkan".

"berapa lama kamu disini aisyah?".

"dua jam yang lalu. Saya dengar mas gatot sudah pulang, jadi saya kesini".

"terima kasih aisyah. Kamu sudah banyak membantuku".

"semoga bantuan ini ada hikmahnya mas. Mas gatot makan dulu ya. Habis itu minum obat".

"aisyah, tinggallah disini kalau memang kamu mau. Ada satu kamar kosong yang bisa kamu tempati".

"syukurlah mas. Besok saya akan boyongan kesini. Makan saja dulu mas".

Seluruh jiwa gatot bergetar hebat. Aisyah berada begitu dekat, membelenggu jiwanya dengan senyuman tulus yang menghangatkan aliran darah, sehangat bubur yang disuapkan aisyah ke mulutnya. Aisyah telah membuat gatot teringat pada mantan istrinya, zulaikha. Begitu banyak kemiripan antara keduanya. Aisyah sangat lugu dan murni. Memang aisyah tidak cantik tapi punya daya tarik. Dibalik kerudung itu, gatot seakan melihat zulaikha tersenyum. "saya ganti perbannya ya mas". Gatot luluh. Jemari itu teramat halus. Gatot segera menghapus imajinasinya dan ikut membantu aisyah melilitkan perban di kakinya. Setelah semua selesai aisyah membantunya berdiri, menggamit perutnya dan memapahnya keluar kamar. "sampai sini saja aisyah", ia duduk di dapur, memperhatikan kesibukan aisyah. Disinilah gatot mendapati betapa berbedanya aisyah dengan wanita wanita lain termasuk murti. Bila wanita lain suka membuka diri dan memamerkan diri maka tidak demikian halnya dengan aisyah. Gadis itu menutup rapat dirinya, tidak membiarkan mata usil memelototi tubuhnya. Aisyah hampir selalu mengenakan pakaian panjang yang longgar sehingga lekuk lekuk raganya tidak mencolok mata. Gatot sempat melihat punggung itu tersingkap tapi aisyah segera menarik pakaiannya kebawah dan punggung itupun tertutup tanpa menimbulkan pikiran pikiran buruk. "kapan kamu mulai tinggal disini aisyah?".

"mungkin besok mas. Kebetulan saya libur dua minggu. Ada waktu buat membersihkan kamar itu".

"itu kamar almarhum ibuku aisyah. Tapi jangan takut".

"kita ini hanya perlu takut pada tuhan mas. Manusia dan setan memang menakutkan tetapi kekuasaan dan kebesaran tuhanlah yang paling menakutkan".

"tidakkah kamu takut padaku aisyah?".

"sama sekali tidak mas".

"itu karena kamu belum tahu siapa saya".

"saya sedikit banyak tahu tentang mas gatot. Tapi saya harap mas gatot tetap seperti yang saya kenal sekarang".

"kamu baik dan tulus aisyah. Jadi kamu mau kembali ke cemorosewu malam ini?".

"saya takut kalau malam malam pulang mas. Cemorosewu kan jauh dan gelap. Saya mau menginap saja disini. Anggaplah ini hari pertama saya kos disini".

"saya tidak keberatan aisyah. Silahkan kamu tinggal sesuka hati".

"terima kasih mas. Bagaimana pembayaran uang kosnya? Mas gatot mau sekarang atau di bayar bulanan saja".

"tidak perlu ada pembayaran apapun aisyah. Saya ikhlas".

"tapi mas.......

"sudahlah. Simpan saja uangmu ya".

"saya sangat berterima kasih. Saya mau ke kamar mandi dulu".

"silahkan aisyah".

Sejak itulah gatot tinggal serumah bersama aisyah. Kamarnya berdampingan. Gatot merenovasi beberapa bagian kamar yang ditempati aisyah. Aisyah cukup pintar. Karena gatot menolak uang sewa, maka aisyah memanfaatkan uang itu untuk membeli dua buah kasur baru, satu untuk gatot dan satu buat dirinya sendiri. Aisyah juga melengkapi peralatan dapur, membeli televisi. Kini gatot punya listrik sendiri, tidak lagi menumpang di rumah murti. Pun demikian dengan air tidak lagi jadi masalah karena aisyah memasang pompa air baru. Tapi gatot masih tetap mengabdi di rumah pak camat, masih tetap mengantar pak camat dan murti berangkat kerja, juga masih tetap berjaga malam di rumah pak camat. Yang beda adalah sekarang gatot tidak terus terusan ada di rumah murti. Gatot sekarang lebih suka beristirahat di rumah sendiri. Ia sudah pulih seratus persen pasca kecelakaan hebat itu. Gatot juga mulai mengambil jatah libur di hari minggu yang diberikan pak camat. Jadi setiap hari minggu gatot selalu ada di rumahnya dari pagi sampai pagi esoknya lagi.

Dan di suatu malam yang di selingi rinai hujan, gatot duduk berdua bersama aisyah menonton televisi, di temani segelas kopi dan setoples kacang kapri. Aisyah baru saja selesai mandi sehingga rambut basahnya dibiarkan tanpa lindungan kerudung, tergerai sebatas leher dan wangi.

"bagaimana kopinya mas?".

"manis sekali aisyah. Terima kasih ya".

"kalau kurang nanti saya buatkan lagi mas".

"ini sudah cukup aisyah. Oh ya, kamu nggak pulang ke cemorosewu? Ingat, besok kamu mulai kerja".

"tidak mas. Saya malas ke cemorosewu. Ummi juga sudah tidak tinggal di sana".

"sebelumnya saya mohon maaf aisyah. Benarkah ibumu sudah kawin lagi?".

"benar mas. Ummi kawin lagi tapi nikahnya siri, tidak resmi".

"jadi ibumu tinggal dengan suaminya yang baru?".

"iya. Makanya saya sekarang jarang pulang. Malah ummi mau menjual rumah warisan abah".

"kamu sendiri bagaimana?".

"saya ini hanya seorang anak mas. Sebenarnya saya ingin marah tetapi saya sadar berani melawan orangtua terlebih ibu adalah dosa".

"sudah dua minggu kamu tinggal disini aisyah. Sampaikan saja kalau ada yang tidak berkenan di hatimu".

"tidak ada mas. Saya malah senang bisa hidup mandiri seperti ini. Mumpung masih bujang harus banyak belajar kan mas?".

"kapan kamu akhiri masa bujangmu itu? Jangan sampai jadi perawan tua aisyah".

"mas gatot ini ada ada saja", kata aisyah tertawa.

Gatot mendengar tawa nan renyah itu serenyah kacang kapri yang ia kunyah. Gatot sempat melihat wajah aisyah membias merah jambu dan tampak malu malu. Gatot ikut membalas tawa itu lalu menyimak acara televisi. Kadang kadang saling lirik dan saling lempar senyum. "berbaring saja dikamarmu aisyah".

"saya masih ingin nonton sinetron mas".

"pindah ke berita saja ya?".

"boleh".

Gatot memang sengaja menyuruh aisyah berbaring di kamar daripada wanita itu berbaring di hadapannya. Selain merusak pandangan mata, juga merusak konsentrasi. Apalagi aisyah sama seperti murti, tidak pernah pakai baju muslimah kalau lagi berada di rumah. Malam ini aisyah memakai baju terusan panjang tapi berkerah rendah, agak tipis pula sehingga isi tubuhnya membayang di soroti lampu neon. Sampai jam sebelas malam gatot masih nongkrong di depan televisi sedangkan aisyah juga masih berbaring di karpet tapi sudah pasti terlelap dalam mimpi. Dengkur halusnya terdengar seperti lenguhan di telinga gatot. Dadanya bergerak turun naik secara teratur seirama dengan tarikan napas. Gatot menghela napas lalu mematikan televisi dan membopong aisyah ke dalam kamar, meletakkan perlahan wanita itu, merapikan pakaian dan menyelimuti aisyah lalu ia ke kamarnya sendiri untuk sama sama merangkai mimpi yang tak pernah ada henti. Hujan semakin deras, semakin membuat suasana bertambah sepi. Sepi yang membungkus kedamaian hati.

Adzan shubuh membangunkan gatot dari mimpi. Ia keluar kamar dan menuju belakang untuk mengambil wudlu. Tapi ia heran karena tidak biasanya aisyah masih tertidur. Ia tidak berani membangunkan. Selesai sholat shubuh gatot bersiap siap untuk menuju rumah murti. Hari mulai beranjak pagi tapi aisyah masih di landa mimpi. Gatot ingat hari ini merupakan hari pertama aisyah mengajar setelah dua minggu lamanya libur. Jangan jangan aisyah masih merasa libur. Mau tak mau gatot membangunkan aisyah juga karena jarum jam sudah menunjuk angka enam. "aisyah bangun, sudah jam enam pagi".

"huaaahm, aku masih ngantuk", bukannya bangun aisyah malah semakin melipat tubuhnya dan menarik selimut.

"ayo bangun aisyah. Kamu kan harus ngajar".

Aisyah menggeliat dan mengucek ucek mata dan sejurus kemudian mata itu terbelalak kaget. "mas", pekik aisyah tertahan sambil mengamati tubuhnya sendiri. Gatot mengerti apa yang ada di kepala aisyah.

"aku hanya membangunkanmu aisyah. Tidak ada maksud lain".

"jam berapa ini mas?".

"jam enam. Hampir setengah tujuh".

Aisyah langsung melompat dan hampir terjerembab. Untung gatot cukup sigap menahan tubuh aisyah agar tidak terjatuh meski dengan begitu ia harus memeluk aisyah. Gatot segera melepaskan aisyah dan membiarkannya berlarian ke kamar mandi dengan panik. Gatotpun meninggalkan kamar aisyah dan langsung menuju rumah pak camat.

Murti sudah siap tapi gatot belum melihat pak camat. Yang terlihat cuma murti dengan penampilan baru. Tidak ada lagi baju muslimah yang biasanya dikenakan murti. Juga tidak ada kerudung yang membingkai wajah murti. Semua yang dilihat gatot benar benar serba baru, sama seperti ia melihat murti puluhan tahun lalu.

"jangan memandangku seperti itu tot. Ayo berangkat".

"tidak nunggu pak camat?".

"mas joko sudah berangkat jam lima pagi. Tapi dia pesan agar kamu ke kantor kecamatan saja".

"oh begitu. Baiklah".

Gatot mengantar murti ke tempat kerjanya yang baru. Sebenarnya satu tujuan dengan aisyah tapi aisyah lebih suka naik motor. Sebenarnya baik gatot maupun murti selalu menawari aisyah agar berangkat bersama sama tapi aisyah juga selalu menolak dengan halus. Merekapun tidak bisa memaksa. Dengan penampilan baru murti, maka gatot juga dilanda suasana hati baru. Sama seperti yang ia rasakan puluhan tahun lalu. Dan murti tidak berubah tingkahnya dengan masa masa sekolah dulu. Tetap duduk sesuka hati dan bergerak kesana kemari. Perjalanan masih jauh.

"penampilanmu mengingatkanku pada masa sma kamu yang dulu murti".

"mana yang paling kamu ingat? Kenakalanmu itu kan?".

"iya. Aku ingat bila mengantarmu ke sekolah, aku selalu menjahilimu".

"sekarang kamu juga mengantarku tot. Kamu juga bisa menjahiliku seperti yang sering kamu lakukan dulu".

"benarkah?".

"benar. Lakukan saja sesukamu. Aku rela menjadi pelacurmu tot".

"jangan bicara begitu murti. Kamu bukan pelacur. Berhentilah merutuki dirimu sendiri".

Murti menggelengkan kepala dan melabuhkan diri di pangkuan gatot. Ia memejamkan mata dan membiarkan tangis kecilnya tumpah membasahi celana gatot. "takdir hidupku sungguh buruk tot".

"jangan menyalahkan takdirmu murti. Kita sudah sampai. Jam berapa nanti kujemput?".

"jam satu. Hati hati di jalan tot".

Murti merapikan seragam kerjanya yang awut awutan lalu keluar dari mobil dan berjalan memasuki gerbang SMA 3. Ia tidak menoleh lagi ke belakang dan langsung menuju ruang kantor. Ia harus memperkenalkan diri kepada semua orang yang belum mengenalnya. Sebagai guru baru, ia perlu menyesuaikan diri dengan tugas mengajar yang jauh berbeda dan materi pelajaran. Sekolah negeri tentu tidak sama dengan sekolah swasta terlebih dengan madrasah. Semalam saja ia bekerja keras untuk kembali belajar dan membuka buku buku.

"bu murti sudah sampai?".

"baru saja aisyah. Kok aku tidak ketemu kamu di jalan tadi?".

"iya bu. Saya masih ngisi bensin. Bu murti pulangnya nanti juga di jemput?".

"begitulah aisyah. Bagaimana suasana di rumah gatot? Apa kamu kerasan?".

"sangat nyaman bu. Mas gatot juga tidak macam macam".

Murti bersyukur dalam hati. Bahaya kalau sampai gatot berani macam macam pada aisyah. Ia sangat tidak menginginkan ada apa apa antara gatot dan aisyah. Ia berharap tidak ada hubungan spesial antara gatot dan aisyah. Gatot adalah segalanya baginya saat ini, saat kehidupan rumah tangganya semakin tidak harmonis. Sedangkan perselingkuhannya dengan gatot berjalan dengan manis. Ia serahkan semua pada sang waktu.

Gatot juga sedang memburu waktu untuk bisa segera sampai di kantor kecamatan. Jangan sampai ia terlambat gara gara keluyuran di jalan memakai mobil dinas. Bisa bisa pak camat marah. Pak camat sendiri yang mengingatkan agar kalau membawa mobil dinas jangan sampai jauh jauh dari kantor. Untung ia datang tepat waktu, jam setengah delapan sudah sampai di kantor kecamatan. Dan seperti biasa ia langsung duduk santai menunggu perintah. Siapa saja siap ia antar kemana saja.

"gatot, di panggil pak camat tuh".

"saya segera kesana mbak dewi".

"oh ya tot, jam istirahat nanti antar aku ya?".

"mbak dewi mau kemana?".

"pokoknya antar saja. Sudah pergi sana, pak camat sudah nunggu kamu".

Gatot menuju ruang kerja pak camat dan duduk di hadapan majikannya itu. Belum ada yang disampaikan pak camat dan gatot menunggu. Panggilan pak camat pasti ada sebabnya. Dan melihat wajah pak camat yang masam, gatotpun paham ada yang salah dengan dirinya.

"begini tot, saya mau mengurangi beban kerjamu".

"maksud pak camat?", gatot belum mengerti.

"mulai sekarang kamu tidak perlu berjaga malam di rumahku. Tugasmu kembali seperti dulu, mengantar aku dan murti kerja".

"apakah ada kesalahan yang saya perbuat pak?".

"sama sekali tidak ada tot. Ini juga demi kamu. Apalagi sekarang di rumahmu ada aisyah. Dia yang lebih penting untuk kamu jaga".

"saya bisa terima keputusan pak camat".

"satu hal lagi tot. Entah darimana murti bisa tahu perumahan residence".

"demi tuhan saya tidak pernah melanggar kesepakatan kita pak. Mungkin murti tahu dari orang lain. Yang pasti saya sama sekali tidak memberitahu murti apapun".

"aku percaya padamu tot. Cuma lain kali lebih berhati hatilah".

"baik pak".

"kembalilah ke tempatmu".

Gatot kembali ke tempat semula, di paseban kantor kecamatan. Ia duduk termenung menelaah segala yang telah disampaikan pak camat. Mulai hari ini tugasnya kembali seperti dulu, sebatas mengantar jemput pak camat dan murti kerja. Pasti ada pertimbangan lain yang membuat pak camat tidak lagi mempercayainya sebagai petugas jaga malam. Selain itu ia juga agak marah karena pak camat seolah olah telah menuduhnya membocorkan rahasia. Padahal ia sama sekali tidak pernah menyampaikan hal itu pada murti. Ia bertanya tanya dalam hati siapa orang yang telah mempersulit posisinya. Siapa orang yang memberitahu murti tentang keberadaannya di perumahan residance. Pasti ada mata mata yang berniat membuat kacau hubungannya dengan pak camat.

Jam duabelas siang pas, dewi minta di jemput. Gatot memenuhi permintaan itu dengan setengah hati, sedangkan setengah hati yang lain masih memikirkan hasil pembicaraannya dengan pak camat. Kediamannya membuat dewi gigit jari. Padahal dewi berharap bisa bercakap cakap dengan gatot. Daripada menunggu gatot yang pasif, dewi memilih untuk lebih aktif dan berinisiatif memecah kebisuan.

"mikir apaan sih tot?".

"tidak ada apa apa kok mbak. Jadi mbak dewi ini mau kemana?".

"pulang. Aku sudah ijin ke pak camat untuk kerja setengah hari saja".

"enak ya mbak jadi pegawai negeri. Kerja nggak kerja tetap dapat gaji".

"tapi lebih banyak nggak enaknya tot. Apalagi kalau dapat pimpinan kayak pak camat".

"memangnya kenapa dengan pak camat mbak?".

"jangan bilang bilang ya. Pak camat itu genit, suka ngintip".

"masa sih?".

"semua pegawai wanita sudah tahu keburukan pak camat itu. Aku ini pernah jadi korbannya lho".

"kok saya tidak percaya dengan kata kata mbak dewi itu".

"ya terserah kamu mau percaya atau tidak. Yang pasti pak camat itu bukan contoh pemimpin yang baik".

Nah, untuk yang terakhir itu gatot sangat setuju dan seratus persen percaya bahwa pak camat memang bukanlah contoh pemimpin yang baik. Gatot juga sepakat kalau pak camat itu orang yang genit, suka lirik lirik daun muda terlebih pada paha paha mulus. Gatot yakin pasti dewi pernah di intip pak camat. Apalagi dengan kebiasaan dewi yang sembarangan dan semau gue. Pasti pak camat sudah sering melihat lihat paha mulus dewi dan sering mencuri curi ke belahan dada dewi. Jangankan pak camat, ia sendiri juga sering menyaksikan kemulusan dan kehalusan kulit dewi. "makanya mbak dewi harus hati hati".

"saya sudah hati hati tapi kebiasaan sulit diubah tot. Tak apalah, toh pak camat cuma melihat, nggak sampai menjilat".

"kalau itu terjadi gimana?".

"kamu mulai nakal juga ya?", dewi memukul pundak gatot. Mereka telah sampai di tempat kosnya dewi. Setelah memarkir mobil, mereka masuk. Dewi sendiri yang mengajak gatot. "istirahat disini saja tot. Kalau kamu kembali ke kantor sekarang pasti banyak kerjaan disana".

"apa dibolehkan seorang pria masuk ke kamar wanita?".

"tempat kos ini bebas. Siapa saja boleh membawa tamunya sampai kamar, wanita ataupun pria".

Gatot masuk ke kamar kos dewi yang tidak begitu luas, kira kira berukuran tiga kali tiga meter. Hanya ada satu tempat tidur dan satu almari, itupun sudah membuat kamar terasa sesak. "kalau mbak dewi mau ganti baju biar saya keluar dulu", kata gatot merasa tidak nyaman dengan keberadaannya sendiri. Tapi dewi tak ambil peduli. "duduk saja atau kamu bisa berbaring", kata dewi sambil membuka dan melepasi satu persatu seragam kerja lalu berjalan di hadapan gatot hanya dengan cawet dan bh. Bahaya, gatot segera membuang wajah dan menunggu sampai dewi selesai berganti busana. Tapi busana yang dikenakan dewi tetap saja mengundang bahaya. "aku mau pindah ke komplek tot".

"mbak dewi mau kos di komplek? Tinggal di mana mbak?".

"di rumah yang paling ujung. Memang lumayan jauh dari rumahmu tot".

"kalau tidak salah rumah yang diujung itu dulunya milik mbah surti".

"benar. Kebetulan cucunya mbah surti itu teman kuliahku. Aku akan tinggal bersamanya".

"mbak dewi mau tinggal bersama karmila yang janda itu?".

"iya. Aku boleh kan sewaktu waktu main ke rumahmu?".

"boleh mbak. Apalagi aisyah belum punya teman. Mbak dewi bisa berteman dengannya?".

"aisyah yang guru itu? Jadi dia tinggal bersamamu ya?".

"iya. Kok mbak dewi kenal?".

"kebetulan saja kami bertemu dirumah sakit pas kamu koma. Dia juga salah satu pendonor buatmu tot?".

"pendonor? Maksud mbak dewi?".

"memangnya mbak murti belum cerita ke kamu?".

"belum".

"baiklah. Kuberitahu sekarang. Kamu waktu itu butuh banyak darah. Jadi kami berempat yang kebetulan cocok dengan darahmu mendonorkan darah buatmu".

"siapa saja empat orang yang menyelamatkan nyawa saya mbak?".

"aku, mbak murti, si aisyah itu, dan yang satu lagi kalau tidak salah namanya ningsih. Kami adalah penyumbang darah".

"astaga, bagaimana saya harus berterima kasih pada mereka? Pada mbak dewi?".

"tidak usah berterima kasih. Cukuplah kamu mengerti saja".

Gatot sangat mengerti dan khusus tehadap dewi, ia memberi tanda terima kasih sesuai yang di inginkan dewi. Waktu yang singkat tidak di sia siakan untuk menjalankan sebuah niat. Dalam panasnya udara siang, dewi berhasil membuat gatot mabuk kepayang. Itulah kelemahan paling mendasar yang di miliki gatot. Ia belum sanggup meninggalkan dunia hitam sepenuhnya. Ia tidak bisa mengabaikan wujud indah seorang wanita. "saya tidak bisa mempertanggung jawabkan semua ini mbak".

"aku tidak butuh itu. ini kehendakku tot. Aku sendiri yang akan mempertanggungjawabkan".

Gatot melumat habis hidangan yang di suguhkan dewi. Tidak sampai lima menit dan mereka menggelepar penuh keringat. Gatot meraih dewi dalam pelukannya, menciumi leher dewi, meraba sana sini sampai waktu habis. Dewi terkapar dan gatot masih lapar namun jam dinding berdentang satu kali menandakan ia harus segera kembali ke kantor. "terima kasih mbak".

"akulah yang berterima kasih. Jangan bilang siapa siapa ya".

Gatot pergi dan dewi tersenyum sendiri. Ada arti di balik senyuman itu yang gatot tidak mengerti. Yang gatot mengerti ialah ini saatnya ia menjemput murti. Gatot mengarahkan mobil ke SMA 3. Belum sampai di tujuan, di tengah jalan ia melihat aisyah dan motornya melaju sambil membonceng murti. Ia segera memutar dan berbalik arah mengejar aisyah sampai akhirnya bisa menjajari motor. Ia bunyikan klakson dan membuka kaca mobil. Aisyah juga berhenti dan murti turun. Gatot sempat berbagi senyum dengan aisyah sebelum gadis itu melanjutkan perjalanan pulang seorang diri sementara murti sudah berada bersama gatot untuk meneruskan perjalanan juga.

"tumben kamu lambat tot".

"maaf murti. Aku banyak kerjaan. Di suruh ini dan diminta itu oleh suamimu".

"kalau memang sibuk jangan dipaksakan menjemput. Tuh wajahmu seperti nggak ikhlas".

"ikhlas kok. Ini kan sudah kewajibanku".

"mas joko ada di kantor? Ada acara apa lagi dia hari ini".

"pak camat ada. Menurut mbak dewi, bapak mau ada pertemuan dengan anggota dewan. Bisa jadi sampai malam".

"sampai malam tapi kalau masih bisa pulang nggak masalah tot. Yang kutakutkan mas joko kerja sampai malam tapi nyantol di rumah orang".

"curiga terus bawaanmu. Bagaimana dengan tempat barumu?".

"sama saja. Yang namanya mengajar ya begitulah. Ada murid yang pintar ada juga murid yang kurang ajar".

"kurang ajar gimana?".

"ya itu, ada segelintir murid yang suka menggoda guru, suka ngintip guru".

"kalau yang digoda dan diintip adalah guru seksi sepertimu ya wajar dong".

"kamu mulai kurang ajar ya. Nih rasakan".

Cubitan cubitan murti mulai bertubi tubi dan gatot memperlambat mobil. Satu tangannya memegang setir, satu tangan lagi menghadang cubitan murti. Cubitan berhenti tapi kenakalan murti tidak kunjung mati dan terus menggoda gatot sampai rumah. "sudah ah murti, aku mau balik ke kantor". "sebentar saja tot". Di dalam mobil terjadi hubungan kilat. Murti sendiri yang nekad memaksa gatot agar mau melayani. Biar hanya hubungan kilat tapi yang terjadi memang lebih dahsyat.Begitulah kalau kebiasaan kemudian tumbuh subur menjadi perselingkuhan. Tiada hari yang terlewat tanpa maksiat. Entah berapa kali sudah murti dan gatot melakukan seks sebebas bebasnya tanpa halangan apapun. Yang pasti mereka sadar sepenuhnya itu sangatlah beresiko. Tapi murti siap menanggung resiko apapun dan juga siap mempertaruhkan rumah tangganya. "cukup sudah tot", murti mendorong dan menyingkirkan gatot lalu memasang lagi seragam kerja tanpa memasang pakaian dalam karena ia sudah ada di rumah. Sebuah ciuman panjang mengakhiri pertarungan di hari siang.

Gatot kembali pada rutinitas, kembali ke kantor kecamatan dengan hati melas. Hari ini dua wanita dengan sangat mudahnya menggoda iman, menuntunnya kembali ke lembah hitam. Baginya lebih baik berjudi dan mabuk berat daripada meniduri wanita. Ia dulu memang bejat tapi sekarang ia mencoba tobat dari segala jenis maksiat. Apalah daya, setan berwujud wanita mulus seksi sungguh lebih kuat dan membelenggu jiwanya dengan erat. Ia di kelilingi wanita wanita pembelenggu, wanita wanita yang lapar kasih sayang, para wanita yang serba mau dan tak punya malu. Gatot sampai hapal seperti apa dan bagaimana memperlakukan wanita wanita itu. Ada satu wanita lagi tapi gatot sangat berharap wanita yang ia pikirkan bukanlah budak setan. Ia berharap wanita yang satu ini bisa memberi jalan terang.

Jam lima sore gatot pulang tanpa bersama pak camat. Ia pulang bersama seorang pegawai kantor sementara pak camat entah kemana. Ia tidak menuju rumah murti tapi langsung ke rumahnya sendiri. Ia melihat ada keramaian di depan rumahnya, tepatnya di rumah yang sudah seminggu ini kosong tak berpenghuni. Ah, mungkin ada orang baru yang menempati rumah itu. Gatot melihat banyak warga membantu menurunkan perkakas dari empat truk. "ada penduduk baru pak?", ia bertanya pada seorang warga yang kebetulan melintas. "penduduk baru tapi muka lama tot. Keluarganya si ningsih", jelas si tetangga. "ayo ikut bantu tot", ajak tetangga itu lagi. Gatot urung masuk rumah dan bersama para warga beramai ramai membantu. Gatot sempat melihat ningsih tapi sangat sibuk. Begitupula si bejo yang cuma tersenyum padanya. Gatot senang karena bejo dan keluarganya telah kembali ke komplek. Ia jadi punya teman sebaya. menjelang maghrib semua perkakas sudah selesai di turunkan dan empat buah truk itu juga sudah pergi. Barulah gatot bisa menghampiri bejo.

"hei jo, kenapa nggak bilang kalau mau balik ke komplek?".

"kejutan. Ayo ikut aku tot. Kukenalkan ke istriku".

Gatot ikut bejo masuk ke dalam rumah yang masih berantakan. Di dalam ia langsung disambut dengan akrab oleh keluarga bejo. Gatot bersyukur semua masih ingat padanya, masih bersikap baik padanya seperti dulu. Beberapa tahun silam mereka memang bertetangga, jadi wajar kalau kemudian jadi akrab. Memang ada tambahan orang baru yaitu istrinya bejo. Karena sudah maghrib gatot mohon diri. "mainlah ke rumah jo. Aku pulang dulu ya".

"itu pasti tot. Ini dari mbak ningsih buat kamu".

"mana ningsih?".

"masih mandi. Nanti juga pasti ke rumahmu".

"terima kasih ya".

"sama sama tot".

Gatot kembali pulang. Sesampainya di dalam rumah ia mendapati aisyah di dapur. Ia membuka baju yang penuh keringat lalu mendekati aisyah, tidak terlalu dekat karena khawatir aisyah akan terganggu oleh bau badannya. Aisyah menoleh dan tersenyum sebentar lalu kembali sibuk dengan masakannya.

"masak apa aisyah?".

"ini sayur lodeh mas. Kok baru pulang?".

"iya aisyah, tuh masih membantu orang baru pindah. Gantian pakai kompornya ya? Aku mau masak juga".

"tidak usah mas. Ini saya masak juga buat mas gatot. Mending mas mandi saja. Sebentar lagi maghrib lho".

"kamu sudah mandi?".

"belum mas".

"pantas kamu bau".

"mas gatot yang bau", kata aisyah tersipu malu. Gatot paling suka melihat wajah aisyah seperti itu. "mas gatot pergi sana. Nanti merusak rasa masakanku".

"nanti malam jalan jalan yuk aisyah".

"tapi habis makan malam ya?".

"iya, aku kan belum rasain masakanmu enak apa tidak. Aku mandi dulu".

Aisyah memukul gatot dengan gagang sutil. Gatot ingin balas memukul tapi urung setelah ingat bahwa aisyah terlalu murni untuk di sakiti. Aisyah tidak sama dengan wanita wanita lain. Selesai mandi dan sholat maghrib, gatot duduk menunggu aisyah sambil menonton tv. Telinganya menangkap suara suara halus bersenandung dari kamar mandi. Terdengar sangat merdu membuat gatot mengecilkan volume tv dan menajamkan telinga untuk mendengar senandung itu lebih jelas, senandung merdu yang menyejukkan hati. Sayang sekali senandung itu berhenti dan pintu kamar mandi terbuka.

"mas gatot, kesini sebentar".

"ada apa aisyah?", gatot menghampiri.

"gotnya buntu ya mas. Airnya nggak jalan tuh".

"biar saya perbaiki. Kamu pergi saja".

"saya bantu mas gatot biar cepat. Saya juga belum selesai mandi".

Gatot memang melihat aisyah belum menyelesaikan mandinya karena air di lantai kamar mandi penuh akibat saluran pembuangan yang buntu. Ia membungkuk untuk memeriksa, aisyah juga ikut jongkok untuk membantunya. Gatot menahan hasrat hati demi melihat bagian bagian tubuh aisyah tidak cukup terlindungi. Handuk yang membungkus aisyah terlalu pendek. Dan aisyah jongkok tepat dihadapannya, sama sekali tidak sekali tidak berusaha menutupi sebagian buah dadanya. "aisyah!berdiri!", ia memberi perintah demi menjaga kemurnian aisyah. Ia tidak tega melihat dan menyaksikan seluruh bagian bawah tubuh aisyah. "maaf mas", kata aisyah sambil berdiri dan pindah ke belakang gatot, membuat gatot lega. Lebih lega lagi karena got selesai di perbaiki. "beres. Kamu bisa lanjutkan mandimu aisyah. Oh ya, nyanyi yang agak keras ya?".

Aisyah mengancam gatot dengan segayung air, membuat gatot lari terbirit birit sebelum aisyah menjalankan aksinya. Senandung suara aisyah kembali terdengar dan terus terdengar meski aisyah sudah selesai mandi dan kini ada di kamarnya. Gatot menyimak senandung itu dengan hati ragu. Sebelum keraguan hatinya terjawab, aisyah sudah muncul. Mereka makan bersama dengan cepat karena ada acara yang akan mereka adakan. Malam ini gatot dan aisyah akan jalan jalan. Memang masih jalan jalan biasa tapi siapa tahu itu akan jadi awal dari sesuatu yang luar biasa.

"sudah siap aisyah?".

"sudah mas. Ayo berangkat. Mumpung belum terlalu malam".

"kamu cantik sekali aisyah".

"mas gatot bisa saja. Gombal. Ini kontak motornya".

Mereka pergi meninggalkan komplek naik motor. malam yang mendung tidak menyurutkan keinginan dua insan untuk coba mendekatkan hati. Walaupun tidak ada tujuan pasti mana yang harus mereka datangi. Mereka hanya ingin jalan jalan, bukanlah untuk kencan. Gatot merasa sudah terlalu tua untuk kencan layaknya anak anak muda. Ia bukan lagi anak remaja. Pun demikian aisyah yang juga seorang wanita dewasa. Keinginan untuk bersenang senang mungkin sudah tidak ada. Makanya mereka berputar putar saja keliling pusat kota.

"kemana enaknya aisyah?".

"ke stadion saja yuk mas. Sepertinya enak duduk santai disana".

"kamu tidak takut? Disana sangat sepi aisyah".

"kan saya bersama mas gatot. Pasti aman".

Gatot bukannya takut untuk datang dan nongkrong malam malam di stadion. Daerah sepanjang stadion memang sangat sepi dan paling sering terjadi kejahatan. Mulai dari pemalakan, pemerasan, perampokan, sampai pemerkosaan sudah berkali kali terjadi di sana. Dan sampai sekarang tempat itu masih gelap, lampu lampu banyak yang hilang di curi orang yang butuh uang. Dulu gatot juga sering mencuri apa saja dari stadion. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Ia sudah kapok dan tobat. Sampai juga di stadion. Ia membantu aisyah turun dari motor lalu berjalan beriringan menuju sebuah bangku panjang. Disanalah mereka duduk berdua. Angin malam yang dingin langsung menerpa. Gatot membuka jaketnya dan mengenakan ke tubuh aisyah untuk memberi rasa hangat.

"saya belum tahu banyak tentangmu aisyah".

"saya ini hanya wanita desa mas. Tidak ada apa apanya dibanding wanita wanita kota".

" ceritakan tentang keluargamu aisyah".

Gatot menyimak cerita aisyah. Ia sudah tahu kalau aisyah adalah anak pak asnawi. Yang ia baru tahu adalah tentang pak asnawi itu sendiri. Menurut cerita aisyah, pak asnawi dulunya juga pria yang bergelimang dosa. Dari aisyah masih kecil sampai aisyah beranjak remaja, pak asnawi masih seorang penjahat terkenal. Tapi menjelang aisyah masuk SMA, pak asnawi berubah menjadi sosok yang pendiam dan semakin alim setelah menunaikan ibadah haji. Sejak itu orang tidak lagi mengingat pak asnawi sebagai penjahat. Orang orang kemudian lebih mengenang kedermawanan pak asnawi. Sampai akhirnya menjadi kepala desa cemorosewu. Aisyah sama sekali tidak menceritakan atau memang tidak tahu cerita kalau ayahnya juga seorang pembunuh dan pemerkosa. Ironisnya korban pemerkosaan dan pembunuhan pak asnawi adalah ibu kandung gatot. Dan kini pak asnawi mungkin sudah menerima hukuman setimpal di alam kubur setelah anak dari si korban menuntut balas dendam. Hutang nyawa dibayar nyawa dan hutang itu kini terbayar lunas.

"itulah cerita keluargaku mas. Selanjutnya mas gatot tahu sendiri kalau ummiku kawin lagi".

"saya kagum dengan ayahmu aisyah. Dari penjahat kemudian tobat. Sedangkan ayahku entah dia tobat atau belum".

"mas gatot yang sabar saja. Setiap rencana tuhan pasti ada hikmahnya".

"kamu benar aisyah. Dingin ya?".

"iya mas. Tapi tak apa".

Gatot merengkuh bahu aisyah dan gadis itu tidak menolak. Gatot merasakan getar yang tak biasa, bukan nafsu tapi lebih kepada rasa sayang. Ia ingin memberi perlindungan pada aisyah. Dan bersama dengan aisyah gatot seakan sedang bersama zulaikha. Ia mengelus kepala aisyah yang terbalut kerudung. Sangat terasa sekali hempasan napas aisyah membuat gatot merinding. "sudah lama aku tidak merasakan suasana seperti ini aisyah".

"maksud mas gatot?".

"kamu mengingatkanku pada zulaikha, mantan istriku. Dia sama sepertimu aisyah".

"selagi mas gatot masih ingat mantan istri, berarti ada harapan suatu saat mas pasti bertemu lagi dengannya".

"aku selalu berharap seperti itu aisyah. Sepertinya gerimis. Mau pulang sekarang?".

"iya. Ayo pulang mas".

Mereka tidak benar benar pulang, lebih tepatnya mereka hanya meninggalkan stadion. Hujan sudah terlalu deras di sertai angin kencang. "berteduh di loket itu saja mas", kata aisyah sambil menunjuk sebuah bangunan loket di pintu masuk stadion. Karena cukup jauh, praktis mereka harus berlari untuk bisa sampai, otomatis pula mereka basah kuyup. Gatot sudah biasa tapi tidak demikian dengan aisyah yang menggigil dengan wajah pucat. "pasti nanti kamu masuk angin aisyah".

"sekarang saja perutku sudah mual mas".

"jadi bagaimana? Mau memaksa pulang?".

"sudah kepalang basah mandi sekalian mas. Pulang saja".

Gatot tidak punya pilihan selain membonceng aisyah pulang. Jalanan benar benar sepi. Tidak ada satupun kendaraan ataupun manusia yang berani menantang hujan selain mereka berdua. "pegangan yang erat aisyah", gatot memberi perintah dan ketika dirasakan lengan aisyah sudah melingkar erat di pinggangnya dan tubuh gadis itu melekat di punggungnya, gatot menggeber gas kuat kuat dan melesat kencang menembus tajamnya rinai rinai hujan. Gatot merasa menabrak sesuatu namun karena terlalu gelap ia tidak bisa melihat apa itu. Terlalu riskan untuk mengerem disaat laju motor seperti jet. Aisyah semakin merapatkan tubuhnya.

Sampai di rumah gatot membopong aisyah yang semakin lemah tak berdaya. Celakanya lagi kamar aisyah bocor. Gatotpun terpaksa membawa aisyah ke kamarnya sendiri. "kupanggilkan dokter ya aisyah", gatot panik. Setelah membaringkan aisyah ia bermaksud keluar untuk mencari dokter tapi aisyah mencekal lengannya, menahan langkahnya. "tidak usah mas. Saya minta tolong di kerok saja".

"tapi aisyah.......

"saya percaya mas gatot tidak akan menyakiti saya. Tolong ya mas", pinta aisyah pelan dan melas.

"baiklah aisyah. Terima kasih kamu percaya padaku".

Aisyah berbalik tengkurap, memasrahkan punggungnya untuk di kerok gatot. Anehnya gatot sama sekali tidak merasakan birahi. Yang ada hanya rasa iba hati melihat aisyah pasrah sedemikian rupa. Ia bersumpah tidak akan menyakiti aisyah. Aisyah juga sadar sepenuhnya membuka bajunya yang basah dan menutupi tubuh bagian bawahnya dengan selimut sementara bagian atas dari kepala sampai pinggul di biarkan telanjang. Gatot mulai mengerok punggung aisyah sementara aisyah hanya bisa meronta ronta kecil. Gatot berperang melawan setan dan untuk pertama kalinya ia menang. Setan jahanam yang menggoda imannya ia berantas sampai tuntas, sampai tidak ada lagi setan yang berani mengganggu. "jangan meronta terlalu keras aisyah. Nanti selimutmu jatuh". Aisyah menahan selimut dengan kedua tangannya agar tidak jatuh, agar tidak mengundang nafsu. punggung yang awalnya putih mulus semurni susu kini berubah warna menjadi garis garis merah. Belum selesai dikerok, aisyah sudah lebih dulu muntah, mengeluarkan isi perutnya. "kerok sampai bawah mas. Anginnya mulai keluar". Gatot mengikuti alur punggung aisyah sampai bawah, terpaksa menyingkap sedikit selimut agar bisa mengeroki hingga pangkal paha. Hingga selesai sudah. Aisyah berbalik telentang dengan keringat bercucuran. Gatot membetulkan tali kutang aisyah tanpa sedikitpun menyentuh buah dada yang membuncah. Ia perlu meminta ijin untuk memasangkan celana panjang. Aisyah sudah memasang sendiri celana dalamnya dari balik selimut. Aisyah tersenyum mengangguk. "sekarang tidurlah aisyah. Biar panasmu turun".

"mas gatot tidur saja disini. Saya ikhlas mas".

"baiklah aisyah. Selamat tidur ya".

Gatot membaringkan diri di samping aisyah dan membiarkan gadis itu membenamkan kepala ke dadanya. "aisyah ya aisyah, sungguh sempurna dirimu", batin gatot dalam hening. Aisyah mungkin sudah terlarut dalam mimpi karena tidak bergerak sama sekali saat gatot mencium keningnya. Ciuman yang menjadi penghantar tidur malam.

****

Pagi pagi sekali gatot sudah menghadap pak camat. Ia hendak membicarakan keputusan maha penting yang telah di pertimbangkan masak masak sejak semalam. Tapi pak camat sudah berangkat kerja ke kantor shubuh tadi, begitu yang disampaikan murti padanya.

"lho, kupikir mas joko berangkat bareng kamu tot", kata murti heran.

"tidak murti. Ini malah aku ingin ketemu dan bicara dengan pak camat".

"mas joko sudah pergi. Aku saja yang istrinya tidak tahu jam berapa suamiku berangkat".

Semakin bulat sudah keputusan gatot. Pak camat semakin sering berangkat kerja sendiri, semakin tidak membutuhkannya lagi. Terhitung sudah sebulan ini pak camat tidak menggunakan tenaganya lagi. Gatot yakin pak camat memang punya maksud tersembunyi.

"mungkin kamu bisa sampaikan padaku tot. Nanti kuteruskan ke mas joko".

"tidak. Biar aku bicara langsung dengan pak camat".

"ada masalah apa antara kamu dengan mas joko? Ayo ceritakan saja".

"sama sekali tidak ada masalah murti. Kamu bersiap saja. Kutunggu di mobil ya".

"gatot".

Gatot tidak mempedulikan panggilan murti. Tentu saja sikapnya membuat murti kelabakan dan berpikir ada apa gerangan. Murti gelisah dan takut kalau kalau suaminya membuat masalah yang menyebabkan gatot marah. Murti khawatir karena bisa saja suaminya celaka. Ia meneruskan tugas sebagai ibu rumah tangga sebelum mandi. Setengah jam kemudian murti sudah siap dan menyambar tasnya lalu menghampiri gatot.

"ayo jujurlah tot. Jangan membuatku takut", desak murti di dalam mobil.

"murti, sudah kubilang berkali kali masa kamu tidak dengar? Tidak ada apa apa antara aku dan suamimu. Titik!!!".

Murti langsung mengkerut di bentak oleh gatot. Murti sama sekali tidak menduga gatot akan emosi. Tidak seperti hari hari biasanya. Tidak ada tawa dan canda, malah suasana mencekam yang terasa. Murti di cekam berbagai rasa yang membuatnya tidak sanggup lagi berkata kata. Sampai tiba di tempatnya kerja, gatot tak kunjung menunjukkan tanda tanda membaik. Wajah gatot dilihatnya murung dan bingung. Yakinlah murti bahwa memang ada yang tidak beres.

"tunggu sebentar tot. Aku mau ikut kamu ke kantor kecamatan".

Barulah gatot menoleh agak kaget. Tapi murti keburu keluar dari mobil dan berjalan cepat menuju gedung sekolah. Gatot terpaksa menunggu sesuai perintah murti. Belum sempat gatot menenangkan diri, murti telah kembali lagi. "ayo berangkat tot".

"tapi murti....

"berangkat!!!!".

Kini giliran gatot yang kaget di bentak murti. Namun ia harus segera berangkat sebelum murti bertindak nekad. Perjalanan terasa lama dan membosankan. Gatot merutuk dalam hati kenapa ia harus membuat murti sakit hati. Pasti murti marah oleh sikapnya hari ini yang serba kaku.

"maafkan aku murti".

"sudah kumaafkan".

"belum. Kamu masih marah kan?".

"aku memang marah. Tapi bukan padamu tot".

"syukurlah. Senyum dong".

Murti tersenyum sekedar menyenangkan gatot. Lalu pandangannya lurus ke depan dan tidak menoleh kemana mana sampai tiba di kantor kecamatan.

"perlu kuantar sampai dalam?".

"tidak usah. Biar aku sendiri saja".

Murti melangkah memasuki paseban kantor dan terus menyusuri koridor hingga berhenti di depan ruang kerja suaminya. Ia mengetuk pintu tiga kali lalu mendorong perlahan pintu sampai terbuka. Murti masuk dan berdiri terpaku. Tidak ada nampak suaminya. Tentu kedatangannya yang mendadak membuat kalang kabut pegawai yang ada di ruangan itu.

"selamat pagi bu camat", kata beberapa pegawai menyambut kedatangannya. Sementara sebagian pegawai yang lain berbisik bisik.

Murti tidak peduli bisik bisik itu. "selamat pagi juga. Mana pak camat?".

"waduh bu. Pak camat malah belum datang", kata salah seorang pegawai.

"jadi pak camat belum ngantor?", tanya murti mulai was was.

"pas kami datang pak camat tidak ada bu. Tapi coba ibu tanyakan ke dewi".

"baiklah. Terima kasih. Dewi, kumohon ikut aku sebentar saja".

"baik mbak murti".

Murti membawa dewi menuju mobil dan di sanalah ia menginterogasi dewi dengan beragam pertanyaan yang berfokus pada seputar kegiatan pak camat. Gatot hendak keluar tapi murti memintanya tetap di dalam. Jadilah gatot ikut mendengar perbincangan antara murti dan dewi.

"benarkah suamiku belum ke kantor?".

"benar mbak".

"aneh, padahal pak camat sudah berangkat sejak shubuh tadi".

"saya sungguh sungguh tidak tahu mbak".

"kamu pernah bilang memergoki mobil suamiku di perumahan residence. Bisakah kamu jelaskan lebih detil?".

"oh itu. Memang benar. Seingat saya waktu itu mobil pak camat ada di rumah paling ujung blok A".

"kamu kenal pemilik rumah itu?".

"tidak mbak. Mungkin gatot tahu karena pasti dia pernah ngantar pak camat kesana".

"percuma minta informasi ke gatot. Dia sudah kongkalikong dengan suamiku".

"saya mohon mbak murti tidak melibatkan saya. Kamu juga gatot. Jangan bilang apa apa ke pak camat ya?".

"aku jamin aman dewi. Aku malah berterima kasih. Sekarang kembalilah bekerja".

Dewi meninggalkan murti dan gatot. Kini murti sudah menemukan titik terang. Yang justru bimbang adalah gatot. Sekarang gatot tahu dari siapa murti tahu soal perumahan residence. Ternyata dari dewi yang membeberkan semuanya. Mungkin dewi tidak tahu bahwa keterusterangannya pada murti telah menciptakan prahara besar. Malah dewi memberi petunjuk yang bisa mengarahkan murti. Gatot pusing memikirkan apa jadinya kalau murti sampai minta di antar ke perumahan residence. Bahaya kalau murti sampai nekad kesana.

"aduh. Tiba tiba aku pusing murti".

"pusing? Bagaimana ini?", murti ikut panik.

"kuantar dulu kamu ke sekolah ya. Setelah itu aku mau pulang. Tolong bilang ke pak camat".

"kamu sanggup? Jangan memaksakan diri tot. Nanti kecelakaan lagi. Aku bisa naik ojek dari sini".

"biar kuantar kamu dulu".

Sesungguhnya itu hanya alasan gatot saja untuk terbebas dari murti. Ia pura pura pusing dan berhasil dengan sukses. Setelah mengantar murti, iapun kembali ke kantor kecamatan untuk menaruh mobil kemudian pulang menumpang motor dewi yang kebetulan hendak keluar juga.

Sementara itu murti segera meminjam motor aisyah dan minta ijin ke kepala sekolah untuk bebas tugas hari ini. Ia sudah bulat dan memutuskan untuk pergi ke perumahan residence seorang diri karena gatot tidak bisa mengantar. Ia harus mendapat kepastian dan kebenaran tentang gosip dan isu isu yang selama ini berkembang. Ia mulai termakan oleh gosip itu, juga oleh bisik bisik yang di dengarnya dari pegawai kantor kecamatan.

Murti sudah sampai di gerbang perumahan residence. Ia masih harus berhadapan dengan dua orang satpam yang menanyainya macam macam. Ia bahkan sempat tidak di ijinkan masuk. Tapi begitu ia memberi uang tips dan meninggalkan identitas, barulah para satpam itu membuka portal dan memberinya jalan. Sesaat ia dibuat terkagum kagum oleh bangunan rumah yang serba mewah berjajar sepanjang jalan masuk. Tapi ia datang bukan untuk mengagumi rumah rumah itu. Ia terus mencari cari rumah yang di sebutkan oleh dewi. Ia sudah sampai di blok A. Rumah rumah di blok ini tidak sebesar dan semewah yang tadi tapi tetap saja bisa dibilang mewah. Nah, itu dia. Murti ragu sejenak dan sempat berniat mengurungkan niat untuk bertamu. Ia tidak kenal siapa pemilik rumah yang kini ada dihadapannya. Ia takut salah alamat yang bisa berakibat tidak baik. Bisa bisa ia dilaporkan ke kantor polisi karena di curigai sebagai orang yang bermaksud jahat. Ah tidak mungkin. Toh ia memakai seragam kerja khas pegawai negeri. Pucuk dicinta ulampun tiba. Murti melihat pintu pagar yang tinggi itu terbuka.

Tapi murti langsung terkaget kaget karena orang yang muncul dari balik pagar benar benar di luar dugaan. Ia serasa mati berdiri dengan wajah pucat pasi.

"mas joko".

"murti".

Murti merasakan dunia berputar. Tanah yang di pijaknya seperti pusaran yang menariknya ke bawah, semakin ke bawah sampai ia tidak melihat apa apa lagi selain hitam dan kelam. Ia hanya sempat menampar suaminya dan memandang geram seorang wanita yang bersama suaminya sebelum pingsan. Pak camat yang lebih kaget langsung membawa murti pulang.

Gatot kaget bukan kepalang mendengar pintu rumahnya di ketuk berkali kali oleh seseorang. Semakin keras saja ketukan itu membuat gatot berasa marah. Ia melompat dari tempat tidur dan menerjang pintu bermaksud hendak mengumpat tamu yang menurutnya tidak sopan. Tapi setelah tahu siapa yang bertamu di siang bolong begini, ia urung mengumpat. "pak camat. Silahkan masuk pak".

Pak camat masuk dan langsung duduk. Sempat memandangi gatot cukup lama lalu menghela napas dan membuang muka keluar. "kenapa semua bisa terbongkar tot?".

"maksud pak camat?".

"murti sudah tahu. Murti sudah memergoki aku".

"demi tuhan saya tidak membocorkan rahasia itu pak".

"lalu dari siapa lagi murti sampai bisa tahu?".

"jadi pak camat menuduh saya? Dimana murti?".

"masih pingsan. Saya sama sekali tidak menuduhmu tot. Jangan marah".

"terus terang saya kecewa dengan pak camat. Sebenarnya tadi pagi ada yang ingin saya bicarakan dengan bapak. Saya sudah mengambil keputusan untuk berhenti pak".

"jangan tot. Saya masih membutuhkanmu".

"saya sudah di perlukan lagi pak. Dan dengan tuduhan bapak terhadap saya, semakin bulat niat saya".

"sabar tot. Kita bicarakan ini dengan kepala dingin".

"kita tunggu sampai murti siuman biar semua jelas".

gatot ikut ke rumah pak camat dan bersama sama pak camat menunggu murti siuman. Gatot sangat terpukul. Kekhawatirannya terbukti. Murti telah sampai pada puncak penderitaan sehingga nekad menyatroni pak camat di rumah mbak ayu. Murti tidak bisa disalahkan. Gatot juga tidak mau disalahkan. Yang patut disalahkan adalah pak camat dan teringat tuduhan pak camat terhadapnya gatot menahan tinju dengan geram. Ingin sekali ia menghajar wajah lelaki tua itu biar tahu rasa, biar tahu akibatnya kalau mempermainkan hati sahabat kecilnya.

Murti mulai menunjukkan tanda tanda siuman. Tubuhnya bergerak gerak dan matanya setengah terbuka. Murti sempat bengong sesaat dan memperhatikan keadaan sekitar. Sadarlah ia dimana kini berada. Ia segera membuka mata lebar lebar dan spontan berteriak histeris begitu melihat wajah wajah yang ada di sekitarnya.

"kita cerai mas! Ceraaaiiiii!!!", teriaknya kencang sambil melempar apa saja ke arah pak camat. Bantal, guling, selimut, cermin, dan semua isi kamar beterbangan dan berserakan, pecah berkeping keping di lantai kamar. Murti menerjang pak camat dengan pecahan kaca di tangannya. Untung pak camat sigap menghindar dan gatot menghadang murti, memegangi murti yang terus meronta liar. "aku benci kamu mas. Kejam!", teriaknya terus terusan mengumpat pak camat dengan seribu caci maki.

Pak camat menampar wajah murti,membuat murti semakin beringas. Gatot tidak mau ikut campur dengan apa yang terjadi antara suami istri itu. Gatot sempat menatap geram kearah pak camat, membuat pak camat keder dan ciut nyali. Pak camat segera sadar kalau gatot bisa ikut beringas bila melihat murti di sakiti. Gatot segera keluar kamar dan begitu ia keluar, pintu kamar tertutup. Entah apa yang kemudian terjadi di dalam kamar itu ia tidak mau tahu.

murti semakin menderita sepeninggal gatot. Pak camat tiada henti menampar wajahnya berkali kali, memukuli tubuhnya sampai jatuh bangun, menghajarnya hingga tersungkur. Tapi murti menerima semua dengan tegar. Badan memang terasa sakit tetapi hati lebih sakit lagi. "jahanam kamu mas".

"katakan siapa yang memberitahumu", pak camat menjambak rambut murti dan mengancam.

"saya tidak akan katakan".

"siapa dia murti".

"tidak akan mas. Sekalipun mas membunuhku, tidak akan pernah".

"keras kepala".

Murti menjerit jerit ketika pak camat mengguntingi rambutnya. tak cukup sampai situ pak camat juga mencabuti bulu bulu kemaluannya, membuatnya berlinang airmata perih. Sakit. Penderitaan belum berakhir. Pak camat menelanjanginya lalu mengikat kedua tangan dan kakinya. Dalam keadaan murti yang tak berdaya, pak camat membabi buta menggumuli murti bagai binatang. Murti hanya bisa menjerit dalam hati karena mulutnya telah dikunci dengan ciuman liar. Pak camat berubah menjadi binatang liar. Setelah merasakan siksaan lahir batin berkali kali, murti jatuh lagi dalam dunia ilusi. Ia pingsan lagi.

Gatot gelisah di rumahnya. Kedatangan aisyah tidak sanggup mengusir sedihnya. Ia sedih membayangkan kehidupan murti. Sayup sayup ia mendengar teriakan dan ratapan murti yang kini telah berhenti. Hatinya bagai tersayat belati. Ia ikut membenci pak camat. punya keinginan untuk melenyapkan pak camat agar murti bebas dari derita. Tanpa sadar ia menggebrak meja, membuat aisyah kaget.

"ada apa mas gatot?".

"maaf aisyah. Aku hanya kesal".

"kesal pasti ada sebabnya".

Gatot tersenyum menerima secangkir kopi dari aisyah. Kegelisahannya sedikit berkurang meski tidak sepenuhnya hilang. Ia menyeruput sedikit kopi yang masih panas. "aisyah mau tahu sebabnya?".

"kalau mas gatot tidak keberatan cerita pada saya".

"saya keberatan".

"ya nggak usah cerita", tutur aisyah dengan wajah kecut.

"aisyah, bagaimana kalau kamu yang membuatku kesal?".

"saya hanya bisa katakan maaf dan janji tidak akan lagi membuat mas gatot kesal".

"cuma itu?".

"mas gatot maunya apa?".

"kena juga kamu. Aku cuma bercanda kok".

Gatot mendapat hadiah dari aisyah berupa cubitan berbisa. Kebetulan sinema siang di televisi menampilkan adegan cinta. Aisyah menunduk malu. Gatot tersenyum mau. Tapi belum saatnya adegan cinta itu di tiru. Gatot merubah saluran ke berita tanpa mempedulikan raut wajah aisyah yang merengut kecewa. Mereka berebut remote control tapi demi keamanan maka gatot mengalah.

"berita di negeri ini cuma korupsi mas. Bosan".

"saya juga bosan nonton sinetron yang isinya rebutan harta, rebutan wanita, dan perselingkuhan".

"tergantung selera dong".

Gatot menggelitik telapak kaki aisyah, membuat aisyah tertawa geli dan melipat kakinya menjauh dari jari jari usil gatot. Dengan kaki terlipat maka paha aisyah terlihat mengkilat. Gatot silau dan tak tahan untuk tidak menjahili paha itu. Tapi belum sempat niat itu terlaksana, aisyah lebih dulu menutup pahanya dan mencibir kenakalan gatot.

"baru boleh kalau sudah nikah mas".

"kamu mau nikah dengan duda sepertiku?".

"kalau memang cinta apa hendak dikata".

"berarti kamu cinta aku ya?".

Aisyah menghela napas dan memandang gatot. "sejujurnya tujuan utamaku tinggal disini adalah untuk bisa mengenal mas gatot lebih dekat".

"aku suka kejujuranmu aisyah. Aku juga sebenarnya ingin dekat denganmu".

"gombal".

Biar di bibir bilang gombal tapi dalam hati sesungguhnya menganggap semua itu benar karena secara fisik aisyah sadar ia telah dekat dengan gatot. Tinggal meyakinkan batin. Maka aisyah tidak menolak jika kali ini gatot memeluk tubuhnya. Belenggu jiwa telah terpasang. "aisyah", bisik gatot di telinga aisyah. "cukup disitu saja mas", bisik aisyah lemah dan pasrah ketika gatot menjajah wilayah dadanya. Memang hanya sampai di situ gatot diberi jatah oleh aisyah, jadi gatot menghabiskan jatah itu dengan lahap. Itu sudah cukup bagi keduanya sebelum mendesah lemah. Aisyah memejamkan mata dan memeluk gatot dengan setengah telanjang. Sampai lelah hati datang melanda.

"toktoktok".

Gatot dan aisyah terperanjat dan segera mengenakan pakaian. Berpandangan sejenak sebelum aisyah masuk ke kamarnya dan gatot bergegas ke depan untuk membukakan pintu dan melihat siapa yang datang. Ternyata ningsih.

"selamat sore tot".

"ningsih, kukira siapa. Ayo masuk".

"tidak usah. Ngobrol di teras saja lebih enak".

"baiklah. Kupanggil aisyah dulu ya".

"tidak perlu. Aisyah pasti masih istirahat. Kita ngobrol berdua saja".

"ya sudah. Bagaimana kesanmu dengan suasana komplek?".

"memang tidak seperti dulu saat kita masih kecil. Tapi aku sungguh senang bisa kembali kesini tot. Kembali ke tanah kelahiranku".

"jadi nostalgia nih".

"mauku sih begitu. Tapi rupanya anak anak sebaya kita sudah pada kawin semua. Jadi malas mau main ke rumah mereka".

"makanya buruan kawin juga. Kita seusia ningsih. Aku saja sudah jadi duda".

"hahaha, biar duda tapi kamu masih keren tot. Pria idamanku ya yang seperti kamu".

"tidak baik membanding bandingkan orang. Kesibukanmu apa ningsih?".

"macam macam. Tapi aku paling sibuk kalau sudah memikirkan seseorang".

"siapa itu?".

"kamu".

Gatot tertawa mendengar kata kata ningsih yang dianggapnya lelucon belaka. Tawanya sampai terdengar ke dalam rumah, memancing aisyah untuk keluar dari kamarnya dan mengintai apa gerangan yang membuat gatot tertawa. Demi melihat gatot berdua dengan ningsih, aisyah seakan tidak rela. Tapi ia tidak cemburu buta. Ia biarkan saja gatot bersama ningsih sementara ia sendiri mencari kesibukan di dapur. Aisyah merasa aneh melihat rumah pak camat yang sepi. Aisyah juga aneh dengan ketidak munculan murti sejak tadi pagi. Rekan sesama gurunya itu tidak mengajar, malah meminjam motornya dan pergi entah kemana. Sampai sekarang motornya belum kembali. Aisyah coba menghubungi handphone murti tapi tidak aktif. Maka ketika gatot datang menghampirinya, aisyah langsung bertanya.

"sudah selesai ngobrolnya dengan mbak ningsih?".

"sudah. Ningsih sudah pulang".

"apa mas gatot tahu apakah bu murti juga sudah pulang?".

"aisyah, kamu belum tahu apa yang menimpa murti?".

"belum mas. Cuma bu murti tadi pagi tidak mengajar dan meminjam motorku. Eh sampai sekarang motorku belum balik".

"murti sedang susah aisyah. Dia bertengkar hebat dengan pak camat".

"lho, masalahnya apa mas? Bukankah mereka rukun rukun saja?".

"murti memergoki pak camat selingkuh dengan istri mudanya. Makanya mereka bertengkar dan murti minta cerai?".

"benarkah begitu mas?".

"benar. Dan motormu masih ada di perumahan residence. Nanti kuambil ya?".

"sungguh menyesal kalau mereka sampai cerai ya mas".

"oh ya aisyah, aku juga sudah berhenti kerja di rumah pak camat".

"apa ada kerjaan lain mas? Bagaimana dengan hutang mas gatot ke pak camat?".

"akan ku usahakan aisyah. Apalagi hutang itu juga menyangkut rumah ini".

"mas gatot. Saya ada sedikit tabungan yang bisa mas pakai. Saya ikhlas mas".

"kamu sudah terlalu banyak berkorban aisyah. Simpan saja uangmu ya?".

"saya hanya tidak ingin rumah ini jatuh ke tangan orang lain mas. Aku sudah anggap ini rumahku sendiri".

"tidak akan pernah aisyah. Rumah ini akan tetap milikku, dan jika tuhan mengijinkan akan jadi milikmu juga. Milik kita".

"makanya kubantu bayar ya hutang mas gatot ke pak camat".

Gatot mengacak rambut aisyah dengan gemas. Ia memeluk aisyah dari belakang, mencium kepala aisyah. "adakah perasaan itu dihatimu aisyah?".

Aisyah berbalik dan balas memeluk gatot, menyembunyikan wajah ayunya di balik ketiak gatot. "rasa itu sudah tumbuh sejak kali pertama saya melihat mas gatot. Dan kengototan saya pindah kemari semata demi rasa itu mas".

Mereka berpelukan semakin erat seakan tidak memberi ruang bagi makhluk apapun menghalangi hangatnya pelukan itu. Mereka tidak peduli pada bau gosong ikan teri. Mereka hanya peduli pada perasaan hati. "apakah aku masih layak dan pantas aisyah?", kata gatot bertanya. "bagiku lebih dari pantas mas. Menjalani hidup bersama mas gatot adalah impianku", jawab aisyah lugas.

"bagaimana jika mimpimu itu tidak terwujud?".

"saya akan sangat membenci mas gatot. Aku kan sudah memberikan apapun mas".

"aku akan mewujudkan mimpimu aisyah, tapi tidak sekarang. Sabar ya?".

Dua hati telah bicara. Maka lebih mudah untuk meneruskan semua yang tertunda. Gatot mematut bibir aisyah dan lebur dalam ciuman membara. Hanya sekedar berciuman karena gatot sudah bersumpah untuk tidak merusak total kesucian aisyah sampai pada saatnya nanti tiba. Setelah puas, mereka lepas. Aisyah mengangkat ikan teri yang hangus sementara gatot mengisi air bak mandi.

Kekhusyukan sholat maghrib gatot yang berjamaah dengan aisyah buyar ketika di kejutkan oleh teriakan dan raungan sangat keras dari rumah pak camat. Gatot sangat hapal itu adalah suara murti. Ternyata bukan hanya gatot saja yang mendengar, tetapi hampir semua tetangga yang berdekatan dengan rumah pak camat juga mendengar. Gatot mengajak aisyah untuk melihat apa yang terjadi. Ia berkerumun bersama puluhan warga komplek yang memenuhi halaman rumah pak camat. Beberapa orang mencoba membuka pintu rumah yang terkunci sementara raungan murti dari dalam rumah tidak kunjung berhenti. Orang orang semakin panik dan berpikir macam macam, menduga duga apa yang terjadi dalam rumah itu. Gatot mendekat dan orang orang memberinya jalan. "dobrak saja pintunya tot", beberapa warga memberi usul. "sabar pak. Siapa tahu murti dengar suara saya", gatot mengetuk pintu berkali kali sambil berteriak teriak memanggil murti. Tapi sampai suaranya serak, pintu tak kunjung terkuak. Sementara orang orang mulai tidak sabar. Gatot juga hilang kesabaran karena di dalam sana murti makin histeris. Lima orang pemuda coba mendobrak pintu tapi tidak berhasil. Cuma gatot yang tahu seberapa kuat dan tebalnya daun pintu rumah pak camat, juga cuma gatot seorang yang tahu kunci bagian dalam dari pintu rumah pak camat. Ia meminta lima orang pemuda itu menyingkir. Ia mundur jauh ke belakang dan mengumpulkan tenaga lalu berlari cepat menerjang pintu itu. Sukses, daun pintu itu bukan cuma terbuka tapi sampai patah jadi dua bagai di gergaji. Orang orangpun percaya bahwa gatot masih punya kekuatan yang hebat meski sudah tobat. Beberapa orang tua bergegas masuk dan langsung menuju kamar dimana sumber suara murti. Sekali lagi gatot mendobrak pintu dan semuanya berdiri terpaku menyaksikan apa yang terjadi dalam kamar. Murti langsung menghambur memeluk gatot dan gatot langsung membawa murti ke rumahnya ditemani aisyah dan ningsih. "aisyah, ningsih, tolong jaga murti ya. Usahakan agar dia tenang", kata gatot lalu kembali lagi ke rumah pak camat.

"pak camat gantung diri! Pak camat bunuh diri!!!".

Berita itu langsung menyebar luas. Bukan hanya warga sekitar komplek tapi sudah merambah hingga penjuru kota. Siapa yang tidak kenal pak camat, salah satu pejabat yang digadang gadang bakal jadi bupati. Dari abang tukang becak sampai mbah mbah juru pijat semua kenal pak camat. Maka ketika berita hangat itu menyeruak di malam yang baru mulai, berduyun duyunlah orang orang berdatangan. Gatot menyebarluaskan berita tragis itu ke pegawai kantor kecamatan yang dikenalnya. Kini jalan menuju komplek telah macet total dan terpaksa di tutup. Ratusan mobil berjajar di sepanjang jalan mulai dari mobil plat merah milik pemerintah sampai mobil pickup yang mengangkut warga dari pelosok desa. Dan sebagian warga komplek memanfaatkan momen yang tidak bakal datang dua kali itu untuk mencari keuntungan. Banyak warung dadakan di tepian jalan komplek. Banyak areal parkir beragam tarif yang ditawarkan pemuda pemuda desa. Sebagian pemuda bahkan nekad menjadikan halaman rumah gatot sebagai areal parkir. Untung gatot mengijinkan. Suara sirene meraung raung dari jauh dan satu ambulans masuk halaman rumah pak camat. Suara sirene terdengar lagi dan mobil mewah pakbupati melesat dikawal tiga motor petugas polisi. Gatot menemani pak RT menerima setiap tamu di rumah duka.

Murti masih belum bisa diajak bicara. Masih menangis dan meraung lirih. Aisyah melihat beberapa bagian tubuh murti memar dan lebam seperti bekas mengalami siksaan. Yang lebih membuat aisyah miris adalah rambut murti yang sudah tak berbentuk lagi. Ningsih juga dilanda sedih. Bagaimanapun murti adalah sahabat kecilnya. Ningsih merengkuh murti.

"istighfar murti. Ingat pada Allah", bisik aisyah ditelinga murti.

"iya bu murti. Serahkan semua pada kekuasaanNYA", kata aisyah memberi nasehat.

Murti terkulai lesu. Dua orang petugas kepolisian yang ingin meminta keterangan dari murti mengurungkan niat karena murti masih shock, masih terguncang dan pucat pasi. Wajah murti datar tanpa ekspresi dan tatapan matanya kosong, hampa.

"maaf ya bapak bapak. Bu murti masih shock".

"tidak apa mbak. Kami hanya ingin meminta ijin untuk mengotopsi jenasah pak camat".

"tidak perlu. Langsung kubur saja", kata murti pelan tapi tegas.

Maka malam itu juga pemakaman segera di siapkan. Polisi sudah selesai melakukan investigasi dan identifikasi. Hasilnya pak camat memang murni bunuh diri. Tidak ditemukan tanda tanda kekerasan dan tanda tanda keracunan pada diri pak camat. Murti juga sedikit memberi informasi bahwa ia sama sekali tidak tahu yang menimpa suaminya karena sedang pingsan. Murti juga menunjukkan bekas bekas penyiksaan yang ia alami, membuat polisi tidak lagi memaksanya ikut ke kantor polisi. Murti dinyatakan tidak bersalah. Jelas sudah pak camat murni bunuh diri dengan cara gantung diri. Tidak ada unsur unsur kriminal. Begitu penjelasan dari pak kapolres.

Setengah jam kemudian pemakaman di laksanakan. Murti bersikeras tidak mau hadir ke pemakaman suaminya meski aisyah dan ningsih memaksa. Hati murti telah beku. Pintu maafnya telah tertutup. Bahkan murti tidak bersedia menerima karangan bunga dari pak bupati. Cintanya pada pak camat telah lama mati. Pengkhianatan suaminya tak termaafkan lagi. Biar saja pak camat mati, sekalipun nanti suaminya itu menjadi hantu yang membayanginya tiap hari.

Gatot datang bersama dewi. Setelah pemakaman selesai, gatot mengajak dewi bicara empat mata di rumah pak camat. Ia mengajak dewi ke garasi yang menjadi tempat paling aman tanpa gangguan orang orang yang banyak berlalu lalang. "ini semua salah mbak dewi", kata gatot terus terang.

Karuan saja dewi kaget disalahkan. "apa salahku tot? Apa hubunganku dengan kejadian ini?".

"mbak dewi bicara terlalu banyak bicara pada murti. Mbak telah membuat kehidupan dan rahasia pak camat terbongkar".

"aku sama sekali tidak mengerti maksudmu tot. Bicara langsung saja ke intinya".

"mbak dewi kan yang bilang ke murti tentang perumahan residence?".

"itu memang benar".

"mbak dewi tahu itu rumah istri muda pak camat?".

"tidak. Aku malah baru tahu malam ini kalau pak camat punya istri muda".

"itulah mbak. Tadi pagi murti langsung ke perumahan residence dan memergoki suaminya disana. Bisa mbak bayangkan apa yang terjadi".

Dewi menyandarkan diri ke tembok garasi. Wajahnya pias dan serba tak tahu harus berkata apa lagi setelah mendengar cerita gatot. Dewi menyesal setengah mati karena secara tidak sadar dirinyalah yang membuka jalan bagi terbongkarnya perselingkuhan pak camat yang berujung maut. "aku menyesal sekali tot. Aku yang menyebabkan mbak murti kehilangan suaminya".

"sudah tidak ada gunanya mbak. Pak camat sudah mati dan murti terlanjur sakit hati".

Memang sudah tidak ada gunanya menyesali yang telah terlanjur terjadi. Pak camat tidak mungkin hidup lagi. Seandainya pak camat hidup sekalipun, murti sudah pasti tidak akan sudi melanjutkan hidup bersama pak camat.

Gatot mengajak dewi ke rumahnya. Kini gatot berada di tengah tengah para wanita pembelenggu. Tapi gatot sadar hanya ada dua dari keempat wanita itu yang benar benar kuat menanamkan belenggu dalam jiwa. Murti dan aisyah, dua wanita yang sama sama ia cinta. Selebihnya hanya sesaat numpang lewat saja, seperti dewi dan ningsih.

***

Murti menjanda. Sudah genap seratus hari sejak kematian pak camat murti menyandang status barunya. Bahkan orang orang menambahi embel embel di belakang status barunya sehingga lengkap sudah. Murti si janda kembang. Sudah menjanda, kaya pula. Tidak heran kalau banyak lelaki yang antri, baik yang terang terangan ataupun yang sembunyi sembunyi. Tapi murti tetap setia bersama gatot dan orang orang komplek mulai yakin kalau murti dan gatot memang ditakdirkan untuk menjadi pasangan dewa dewi. Sang dewa seorang duda, sang dewi baru saja menjanda. Cocok. Sekarang murti sudah mau belajar nyetir dan gurunya adalah gatot. Tiap hari sepulang dari mengajar, murti langsung memanggil gatot lewat dapur rumahnya. Kadang yang muncul adalah gatot sendiri, tetapi kadang pula aisyah. Seperti sore ini, ketika ia memanggil gatot yang nongol malah aisyah.

"mana gatot aisyah?".

"masih sholat bu murti".

"kalau sudah suruh ke rumah ya".

"baik bu".

Aisyah masuk ke dalam dan menuju kamar gatot, perlahan membuka pintu dan duduk di tepi tempat tidur dimana gatot sedang berbaring. Gatot tidak sedang sholat seperti yang aisyah katakan pada murti. "mas gatot, bangun".

Gatot menggeliat malas dan entah sengaja atau tidak tangannya hinggap di paha aisyah. Gatot menarik tangannya dan bergerak bangun. "ada apa aisyah?".

"mas di panggil bu murti di rumahnya".

"baiklah. Aku kesana ya".

"mas".

"apa lagi aisyah?".

"ah tidak apa papa. Hati hati saja dijalan ya mas".

"hati hati dijalan atau hati hati bersama murti?".

"mas gatot ini. Sudah pergi sana. Kasihan bu murti lama menunggu".

Gatot mencium kening aisyah sebelum pergi. Belum ada ikatan resmi antara gatot dan aisyah tapi hal hal semacam tadi sudah menjadi rutinitas yang mereka lakukan. "hati hati di rumah ya aisyah. Kunci saja pintunya".

"baik mas".

Gatot meninggalkan aisyah dan menuju rumah murti. Tinggallah aisyah seorang diri, duduk termenung di depan cermin sambil memperhatikan dirinya sendiri. Aisyah membandingkan keadaannya sebelum dan sesudah tinggal di rumah gatot. Aisyah merasakan perubahan besar yang terjadi. Dulu sewaktu masih menetap di cemorosewu, ia adalah sosok yang taat beribadah, tidak pernah melakukan hal hal tabu yang melanggar norma agama dan norma susila. Ia dulu adalah sosok wanita yang benar benar bersih dan suci, tanpa pernah tersentuh sedikitpun oleh tangan lelaki. Tapi tidak dengan sekarang. Ia memang masih taat menjalankan sholat lima waktu namun juga rajin melakukan hal hal yang dulunya ia anggap tabu. Norma susila dan agama telah ia langgar. Tubuhnya telah tersentuh oleh tangan seorang lelaki. Kebersihan dan kesucian dirinya telah luntur di gerus sensasi yang sangat menggoda hati. "masih pantaskah aku mengenakan kerudung ini?", pikirnya seorang diri.

Sementara gatot sudah bersama murti. Sejenak gatot teringat aisyah tapi terganggu oleh suara murti yang mendesah. Gatot berpaling dan mendapati seraut wajah murti yang semakin bening. Ia kembali memfokuskan diri ke jalan raya. "apa yang kamu rasakan saat ini murti?".

Aku merasa bebas tot. Benar benar sangat bebas", kata murti sambil merentangkan kedua tangannya.

"kamu memang bebas tapi harus kamu ingat jangan sampai kebebasan itu membuatmu bablas".

"jangan mengajariku tot. Bukankah kebebasanku ini menguntungkanmu juga? Menguntungkan kita?".

"aku tidak berharap keuntungan apapun dari keadaanmu ini murti".

"munafik. Berapa kali kamu tidur denganku selama pak camat masih hidup? Sekarang pak camat sontoloyo itu sudah mati dan kamu bebas meniduriku berapa kali yang kamu ingini. Bukankah begitu?".

"pikiranmu tidak sama dengan pikiranku murti. Aku malah ingin kebobrokan ini berhenti".

"setelah kamu puas mencabik cabik hati dan tubuhku ini? Jangan sampai aku menganggapmu pengkhianat tot".

"aku tidak berkhianat. Ini demi mengakhiri jalan kita yang sesat murti".

Murti mendengus. Ia pindah posisi dan duduk di depan gatot, masih dalam satu jok. Ia mengambil alih kemudi dari kekuasaan gatot sementara pantatnya ia tancapkan di pangkuan gatot. Pantaslah kalau aisyah khawatir bila gatot sudah bersama murti karena setelah menjadi janda murti semakin terang terangan dan semakin berani. Contohnya kali ini. "pegangi pahaku tot".

"kamu nggak bakalan jatuh murti. Ini belajar mobil, bukan belajar motor".

"apa sih susahnya membantu aku?", sungut murti ngambek.

"kamu sudah mulai mahir. Cobalah berani nyetir sendiri".

Murti mendorong gatot kesal. Gatot jadi tidak punya ruang untuk sekedar melonggarkan badan. Mau tidak mau gatot harus memegangi pinggul murti agar tidak merosot ke bawah. Pinggul yang semakin bulat bagai biola. Murti memang telah tampil beda dan bergaya anak muda. Rambutnya dipotong pendek. Bulu matanya di bikin lentik. Bajunya model tank top tanpa lengan. Bawahnya di padu dengan rok mini. Murti yang cantik jadi makin menarik. Tidak ada sama sekali kerut kerut di wajah dan kulitnya. Semua sama seperti puluhan tahun silam. Masih sangat kencang.

"semakin muda saja kamu murti".

"semakin membuatmu tergoda kan?".

Wanita pembelenggu memang punya seribu cara dan seribu pesona untuk membuat pria terjatuh. Itulah murti, wanita pembelenggu paling berani yang membuat gatot tak kuat hati. Kalau sudah begitu, gatot langsung membayangkan wajah aisyah. Ia harus bertahan demi cintanya pada aisyah.

"sudah cukup untuk hari ini murti. Dan kamu sudah bisa kemana mana tanpa sopir lagi. Kamu bisa jadi sopir buat dirimu sendiri".

"bagaimana kalau kamu kuberi gaji tiga kali lipat?".

"aku menghargai jasa dan pengorbananmu padaku murti. Tapi aku harus mulai memikirkan diriku sendiri, hidupku sendiri".

"kita bisa hidup bersama sampai mati tot. Aku mencintaimu".

"akupun pernah mencintaimu murti. Tapi itu sudah lama sekali. Dan sekarang aku mencintai orang lain".

"siapa dia tot? Siapa yang berani merenggut hatimu dariku?".

"kelak kamu akan tahu siapa dia".

"aku tidak sabar untuk tahu siapa dia. Biar aku cari sendiri".

Murti mengantar gatot sampai depan rumahnya. Ia berbasa basi sejenak dengan aisyah lalu pergi lagi entah kemana. Gatot senang karena murti sudah pintar. Tapi melihat wajah aisyah yang mendung, kesedihan langsung menggantung. Gatot merangkul bahu aisyah dan membawa masuk ke dalam rumah. Mendung di wajah aisyah masih belum sirna. Senyum di bibir merah itu tak kunjung merekah. Dan mata bening itu seakan menahan airmata agar tidak tumpah. Tapi itu gagal. Airmata aisyah tumpah di dada gatot.

"menangislah sepuasmu aisyah. Habiskan kesedihanmu".

"mas gatot jahat", lirih suara aisyah tersendat sendat di sela tangis.

"aku memang jahat aisyah. Aku membuatmu cemburu kan?".

"bu murti mas. Kenapa mas gatot tidak bisa lepas darinya?".

"aku ingin seperti itu aisyah. Tapi kebaikan murti belum sempat kubalas".

"tidak adakah cara lain yang bisa mengurangi cemburu ini mas?".

Aisyah semakin masuk kedalam rengkuhan gatot, menumpahkan cemburu yang serasa menghanguskan jiwa. Dihelanya napas lalu mendongak, sesaat diam keningnya dikulum gatot lalu bicara lebih jelas. "bu murti semakin cantik ya mas".

"itu penilaianmu?".

"juga semakin berani berpakaian mas".

"kamu iri?".

"aaaah mas gatot ini. Aku serius mas".

murti memang semakin berani bukan hanya dalam hal penampilan, juga sudah semakin berani pergi sendiri. Masa masa bebas ia nikmati dengan puas. Kini murti sudah berada di dalam ruang karaoke salah satu kafe. Ia menyanyi sampai puas ditemani sebotol minuman kelas atas. Pengunjung bersorak dan sebagian ikut berkaraoke dan berjoget bersama murti. Murti bagai bintang baru yang menyihir pecinta karaoke. Sampai larut malam murti berada di kafe.

****

III

Yang Terbuang

Murti bukan lagi seorang guru dan bukan pegawai negeri. Seisi kota sudah tahu kabar itu. Murti dipecat karena sering mangkir dari tugasnya mengajar. Murti dipecat karena murid muridnya sering memergoki gurunya tiap malam keluyuran di kafe kafe. Murti dipecat karena dianggap merusak citra pegawai negeri sipil. Tapi murti tidak serta merta melarat. Malah kini menjadi salah satu konglomerat. Rumahnya yang dikomplek sudah dijual pada aisyah. Murti kini tinggal di pusat kota, di perumahan residence dan menempati rumah super mewah bertingkat tiga. Hanya untuk dirinya sendiri. Apa pekerjaan murti setelah dipecat tidak ada yang tahu dengan jelas. Yang pasti murti sering didatangi orang dan wartawan. Sampai seisi komplek akhirnya tahu kalau murti jadi bintang film dan penyanyi. Itu setelah warga komplek menonton sinetron yang di bintangi murti.

"itu kan bu murti ya mas", kata aisyah pada gatot saat nonton tv berdua.

"iya. Dia sudah merubah nasibnya aisyah".

"juga sikapnya ya mas. Ikut berubah".

Gatot membenarkan perkataan aisyah. Sikap murti berubah seiring perubahan nasibnya. Setiap kali bertemu di jalan atau di pusat perbelanjaan, murti hanya mau melambaikan tangan tanpa mau bertegur sapa, apalagi berbagi senyuman. Gatot sadar senyum murti kini mahal dan berharga puluhan juta. Murti hanya mau tersenyum di televisi, tersenyum kepada orang orang yang telah membayarnya berjuta juta. Murti seperti kacang lupa akan kulitnya, lupa pada komplek dan tanah kelahirannya, tempat nenek buyut dan orangtua serta suaminya di kubur. Murti tidak sekalipun mengunjungi komplek sejak namanya melejit. Murti lebih suka mengunjungi tempat di mana banyak orang mengagumi dan mengelu elukannya.

Gatot tentu makin senang karena perubahan nasib dan sikap murti berimbas sangat besar pada diri dan kehidupannya. Ia kini bisa lebih mendekatkan diri dan memadukan hati bersama aisyah. Yang terpenting lagi ia kini bisa lebih mendekatkan diri dan memohon ampunan pada sang pencipta. Ia benar benar tobat, setobat tobatnya manusia sebagai umat yang pernah bergelimang dosa. Semua tak lepas dari dorongan seorang wanita bernama aisyah.

"apa kita perlu mengundang bu murti mas?".

"tidak usah aisyah. Kita gelar resepsi sederhana saja. Cukup orang orang komplek dan kerabatmu dari cemorosewu".

"saya sudah pesan dua ratus undangan mas. Semoga memberi restu pada pernikahan kita nanti".

"puji syukur aisyah. Sudah mantapkah hatimu?".

"sudah mas. Saya ikhlas lahir batin menjadi istri mas gatot".

"terima kasih aisyah. Aku akan berjuang menjadi suami yang baik buatmu".

"saya percaya mas pasti bisa. Sudah ashar. Setelah ini mas gatot kan ada undangan di musholla?".

"hampir aku lupa. Terima kasih sudah mengingatkan".

Itulah gatot yang sekarang. Ia telah menjelma kembali seperti saat masih kanak kanak dulu. Ia kembali bahkan semakin rajin ke musholla untuk ikut pengajian dan sholat berjamaah. Suara merdu gatot kembali terdengar lima kali dalam sehari mengumandangkan adzan. Dan di hari minggu seperti ini gatot punya aktivitas membantu pak ustadz mengajar anak anak komplek mengaji dan qiro. Penduduk komplek sangat senang dan menaruh hormat padanya. Orang orang mulai suka membandingkan gatot dan murti. Kata orang orang komplek, lebih baik sesat terlebih dahulu lalu sungguh sungguh tobat daripada sebaliknya. Kata orang orang murti adalah contoh yang tidak baik. Kalau ingin jadi anak baik, tirulah gatot, kata orang orang tua pada anaknya. Tapi gatot selalu meluruskan. Yang paling patut ditiru adalah hal hal yang membawa kebaikan, jangan meniru jalan sesat yang pernah ia jalani. Itu selalu dikatakan gatot. Kebaikan itulah yang kini menulari komplek. Orang orang tua pula yang menganjurkan gatot agar segera menikahi aisyah agar terhindar dari fitnah. Gatot tidak marah dan langsung memenuhi anjuran itu. Secara agama ia telah sah menjadi suami aisyah disaksikan penghulu desa. Tinggal mengesahkan lewat jalur resmi. Dan resepsi pernikahan itu sudah dirancang, tinggal tunggu sebar undangan.

Lain ladang lain pula belalang. Lain gatot tentu lain pula murti. Sekarang murti ada di salah satu pantai terkenal untuk menjalani sesi pemotretan. Ia di jadikan model sebuah majalah dewasa. Murti sudah siap dengan kostumnya berupa bikini merah hati. Gambarnya di ambil beberapa kali dalam berbagai pose dan gaya yang berani nan menantang. Berlatar belakang pantai biru dan pantulan jingga mentari yang hampir tenggelam, lekukan tubuhnya sungguh indah dan mempesona, membuat fotografer tidak sedetikpun memicingkan mata.

"lebih lebar, cut!", teriak sang pengarah gaya.

"kakiku sakit", rintih murti.

"sekali lagi. Setelah ini selesai".

Murti kembali berpose, kali ini berbaring telentang di hamparan pasir putih. Tangan dan kakinya terentang lebar lebar, membuat dadanya menghujam tajam dan menjulang ke langit. Kakinya membentang sangat lebar dan sudut sudut selangkangannya sangat jelas membayang. Sang pengarah gaya tertawa puas, fotografer juga puas.

"mbak murti adalah model paling berani yang kami kontrak", kata pengarah gaya.

"saya hanya berusaha profesional mas. Sesuai perjanjian dalam kontrak", kata murti sambil membersihkan punggungnya dari pasir.

"kami yakin edisi terbaru kami nanti laku keras. Silahkan kalau mbak murti mau mandi".

"terima kasih. Saya pulang sendiri saja".

Selesai pemotretan murti langsung meninggalkan pantai. Entah kenapa ada sebuah kerinduan menyelinap. Ia rindu pada orang orang yang telah terlupakan, terutama sekali ia rindu pada gatot. Ia ingin sekali berkunjung ke komplek tapi takut dan ragu. Ia takut akan dihujat oleh warga komplek yang telah membencinya. Ia ragu apakah gatot masih mau menerimanya seperti dulu atau sudah berubah. Bagaimana pula dengan aisyah, masihkah aisyah menganggapnya seorang ibu dan kakak. Murti terbayang bayang semua itu dan matanya berlinang. Ia memutar mobil dan mengurungkan niat berkunjung ke komplek. Di tolehnya jam yangmelingkar di lengan lalu menggumam pelan. "aku harus syuting film".

Syuting dan syuting terus, itulah kesibukan sehari hari murti. Tak peduli siang malam ia harus menjalani semuanya demi mendapatkan uang. Dengan cepat uang bisa ia dapat namun secepat itu pula uang itu lenyap. Murti selalu merasa serba kurang. Kurang cantik, kurang seksi, dan kurang yang lain yang membuatnya rajin ke salon, rajin ke pusat pusat senam demi menjaga tubuh.

"mbak murti".

Murti terhenyak. Ia membuka kaca mobil dan mendapati wajah yang sangat dikenalnya. Sayang sekali ia berada di lampu merah. "hai dewi".

"mbak, ini undangan buat mbak. Datang ya".

"kamu mau nikah?".

"iya. Maaf saya buru buru. Ayo mbak".

Murti menyimpan undangan dari dewi dan kembali menjalankan mobil karena lampu telah berubah hijau. Masih ada kawan lama yang tidak membencinya. Dewi masih sudi mengundangnya ke pesta pernikahan. Apakah dewi juga mengundang gatot?, pertanyaan itu berseliweran di kepalanya.

Tentu saja dewi juga mengundang gatot karena kini mereka bertetangga. Dewi telah membeli rumah di komplek, rumah milik almarhum mbah Surti. Dewi bahkan kini telah sampai di depan rumah gatot. Dewi memarkir mobilnya dan berjalan ke pintu rumah gatot.

"assalamualaikum", teriaknya memberi salam dan mengetuk pintu.

"waalaikum salam", terdengar suara renyah menjawab salam. Tak lama kemudian pintu terbuka bersama seraut wajah aisyah. "mbak dewi, silahkan masuk mbak".

"mana gatot aisyah?".

"tadi diajak pak RT. Mbak dewi ada perlu apa?".

"nih undangan buat kalian. Jangan sampai nggak datang ya?".

"mbak dewi nikah? Kenapa nggak bilang bilang mbak?".

"sengaja kubuat surprise buat kamu dan gatot".

"selamat ya mbak. Kami pasti hadir".

"oh ya aisyah. Baru saja aku bertemu murti. Jadi sekalian ku undang dia".

"bagaimana kabar bu murti mbak?".

"sepertinya baik baik saja. Murti semakin sering ada di tv ya".

"iya mbak. Karirnya semakin maju. Saya ikut bersyukur".

"tapi murti juga berubah aisyah. Aku sekarang jadi asing dengannya".

"itulah mbak. Bukan cuma mbak dewi saja yang merasakan perubahan itu. Saya dan mas gatot juga".

"sangat disayangkan ya aisyah. Padahal kalian terutama gatot adalah orang orang terdekat murti. Sudah ah. Aku pulang dulu. Sampaikan salam ke gatot. Assalamualaikum".

"waalaikumsalam".

Sepeninggal dewi, tak sampai sepuluh menit gatot pulang. Bahkan aisyah masih belum menyimpan undangan yang tergeletak di atas meja. Aisyah segera membawa undangan itu dan menyusul gatot ke dalam ruang tengah. Ia menggelar karpet dan memberi gatot bantal.

"ada undangan dari mbak dewi mas".

"undangan apa aisyah. Biar jelas bicara dekat sini".

Aisyah menggeser duduknya dan merapat ke telinga gatot, membisikkan sesuatu yang membuat gatot terkejut. Gatot segera menyambar undangan dari tangan aisyah tapi aisyah mempermainkan undangan itu dan gatot gemas. Sekali tubruk aisyah terguling guling di karpet dan gatot memungut undangan yang terlepas dari tangan aisyah.

"akhirnya menikah juga si dewi".

"mas kenal calon suaminya?".

"tidak terlalu kenal tapi aku tahu aldo adalah pegawai kecamatan juga".

"berarti cinta lokasi dong. Enak ya mas. Mereka sama sama pegawai negeri".

"nah, kamu menyesal kan kawin dengan duda tanpa pekerjaan sepertiku?".

"iiiihhh, siapa yang menyesal. Rasakan ini".

Aisyah menghujani gatot dengan cubitan bertubi tubi. Pada cubitan terakhir gatot menahan jemari murti tetap di bawah perutnya. Perlahan cubitan itu melemah dan tidak terasa sama sekali karena aisyah sudah berada di bawah himpitan gatot. Yang mereka lakukan bukan lagi zinah, tetapi adalah sebuah amanah. Kini gatot sudah bisa memiliki aisyah sepenuhnya, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Gatot berhak atas diri aisyah dan aisyah wajib menyerahkan dirinya dengan ikhlas. Lampu telah dipadamkan dan baju baju telah di singkirkan. Dalam keremangan malam gatot dan aisyah merajut berjuta juta impian tentang masa depan.

Hari berganti pagi. Gatot sudah siap untuk mengantar aisyah mengajar. Ia membantu merapikan baju muslimah aisyah. Kini setiap hari tugasnya adalah mengantar aisyah kemana saja. Mengajar ke sekolah, berbelanja di pasar murah, pokoknya kegiatan aisyah tidak pernah lepas dari kontrolnya.Biarpun mengantarnya hanya pakai motor tapi gatot bahagia. Aisyah juga sangat bahagia.

"sudah dipanasi motornya mas?".

"beres. Tinggal nambah bensin. Jam berapa kamu pulang?".

"aku pulang lebih awal mas. Jemput saja jam sepuluh".

aisyah sudah cantik dan rapi. Gatot paling suka memandangi aisyah kalau sudah memakai seragam. Apalagi aisyah pintar mengkreasi seragam kerjanya dengan paduan kerudung yang berganti ganti tiap hari, membuat gatot tak pernah bosan. "nanti antar ke dokter ya mas".

"dokter apa? Spesialis kulit? Ahli penyakit dalam? Atau dokter jiwa?".

"entahlah mas. Aku sudah dua bulan tidak datang bulan".

"benarkah?".

Aisyah mengacungkan dua jarinya. Gatot kembali membuka kancing kancing seragam aisyah dan meraba raba perut aisyah. Memang ada yang berubah dari bentuk perut itu. Tidak rata seperti biasanya. "semoga kamu hamil aisyah".

"kita berdoa saja mas. Ayo berangkat. Nanti aku telat".

Wajah gatot sumringah. Sebagai lelaki bisa menanamkan benih di rahim wanita adalah hal yang paling membanggakan. Gatot berharap aisyah benar benar hamil dan memberinya keturunan. Ia merasa belum menjadi lelaki sempurna bila belum bisa membuat wanita hamil. Dan aisyah sudah dua bulan tidak datang bulan. Sebuah pertanda baik.

"nanti kujemput aisyah. Jangan kemana mana sebelum aku datang".

"ya mas. Hati hati di jalan".

Gatot pulang tapi tidak ke rumahnya melainkan ke rumah lama milik murti. Boleh dibilang rumah itu kini jadi miliknya karena aisyah telah membeli rumah itu seluruhnya. Perlahan gatot membuka pintu dan masuk. Ada kerinduan dan kebencian tiap kali ia memasuki rumah itu, rumah yang memberinya banyak kenangan. Ia rindu kepada senyum dan tawa murti, rindu pada aroma keringat murti, dan rindu pada segala kebaikan murti. Tapi ia juga benci karena di rumah ini pula jadi ajang penumpukan dosa. Setiap sudut rumah pernah ia jadikan tempat pelampiasan nafsu bersama murti. Mengingat hal itu gatot benci dirinya sendiri. Aisyah pernah berkata tidak akan menempati rumah yang dibelinya. Aisyah takut karena rumah itu menjadi tempat kejadian tragis, tempat pak camat bunuh diri setelah menyiksa murti. Aisyah takut kalau tinggal di rumah itu akan terbawa suasana buruk. Gatotpun dilanda takut. Ia tidak berani membuka kamar yang ada. Ia kembali dan keluar, menutup dan mengunci pintu lalu berjalan menuju rumahnya sendiri.

"tot, mampir kemari".

Gatot menoleh ke arah asal suara dan melihat ningsih melambaikan tangan memintanya menghampiri. Dengan dibayangi ragu, gatot memenuhi panggilan ningsih. "ada apa?".

"aku butuh bantuanmu tot. Ayo ikut ke dalam".

"kok sepi? Mana yang lain?".

"tidak ada. Aku sendirian di rumah. Makanya aku minta tolong ke kamu".

"kalau aku bisa pasti kubantu. Ada kesulitan apa?".

"tolong perbaiki pintu kamarku tot. Nggak mau tertutup tuh".

Gatot membuntuti ningsih sampai di depan sebuah kamar. "coba kulihat dulu", gatot memeriksa keadaan pintu yang sepertinya tidak ada masalah. Tapi ningsih tidak bohong. Pintu kamar itu tidak bisa di tutup. "coba kuperiksa dari dalam", gatot masuk kedalam kamar dan sekali lagi coba menutup pintu. Aneh, justru dari dalam pintu kamar bisa tertutup, bahkan tidak bisa dibuka. Gatot jadi terjebak bersama ningsih di dalam kamar.

"bagaimana tot?".

"pintu kamarmu ini aneh. Tadinya nggak bisa di tutup, sekarang malah nggak bisa dibuka".

"jadi bagaimana?".

"biar kupikirkan dulu".

Gatot berpikir keras demi bisa secepatnya keluar dari kamar ningsih. Ia bisa saja menggunakan tenaganya yang luar biasa untuk mendobrak pintu tapi ia perlu mengkaji ulang untuk melakukan itu karena konstruksi rumah yang tidak memungkinkan. Bisa bisa bukan cuma pintu yang jebol tapi dinding juga ikut jebol. Ia mencoba beberapa kunci yang diberikan ningsih tapi tak satupun yang cocok. Gatot mulai kesal, apalagi ningsih sama sekali tidak berusaha memberi saran. Diminumnya segelas air yang di suguhkan ningsih. Matanya seketika berkunang kunang. Sadarlah gatot situasi telah berubah penuh bahaya. Ia sempat melihat ningsih membuka pakaian. Dengan kepala setengah pusing, gatot tidak berpikir apa apa lagi dan menerjang pintu kamar yang seketika roboh. Ia berlari keluar dari rumah ningsih dan masuk ke rumahnya sendiri. Sampai di kamar ia jatuh. Beberapa saat lamanya gatot berada di dunia lain. Tapi gatot adalah lelaki yang tangguh dan kuat. Tidak sampai dua menit ia telah sadar kembali sepenuhnya. "tega teganya ningsih menjebak aku", batin gatot penuh sesal. Hampir saja ia jatuh ke lubang yang sama seperti beberapa bulan silam. "maafkan aku aisyah", bisik hati gatot lagi.

Sementara itu di dalam kamarnya, ningsih sangat sangat kecewa. Usahanya menjebak gatot gagal. Minuman yang ia campuri obat tidur tidak bisa melumpuhkan gatot. Padahal ia sempat tersenyum lebar saat melihat gatot mulai limbung. Ia sudah siap menyuguhkan tubuhnya kepada gatot. Akan tetapi sama sekali tidak ada hasil. Ia juga sengaja mengakali pintu tapi sekarang ia bingung harus bilang apa nanti kalau seisi rumah bertanya kenapa pintu kamar hancur dan dinding rumah retak. Gara gara ingin mencelakai gatot, ia harus mendapat masalah baru. Ningsih kesal dan menumpahkan kekesalannya itu dengan merobek robek pakaiannya dan membuang sisa air yang tadi diminum gatot. "suatu saat kamu pasti jatuh tot", bisiknya geram.

Aisyah mulai membereskan perlengkapan mengajarnya dari atas meja kerja. Ia memasukkan buku dan laptop ke dalam tas, menoleh jam dinding yang hampir menunjuk angka sepuluh. Saatnya untuk pulang dan menunggu gatot di depan pintu gerbang. Tapi sampai jam sepuluh lewat gatot tak kunjung datang menjemput. Nah itu dia, aisyah girang melihat gatot ngebut dari kejauhan. Tak lama kemudian sampai di hadapannya.

"kok lambat mas?".

"maaf aisyah, aku ketiduran. Mau langsung ke dokter?".

"boleh mas. Daripada bolak balik".

"ayo naik. Pelan pelan saja".

Gatot langsung mengantar aisyah ke dokter. Sebenarnya kepalanya masih terasa pusing akibat meminum air pemberian ningsih tadi namun demi aisyah ia memaksakan diri. Ia membawa aisyah ke salah seorang dokter yang merupakan temannya. Ia menuntun aisyah ke ruang praktek dan di sambut hangat seorang dokter wanita.

"ya ampun gatot, lama sekali aku tidak bertemu kamu", seru bu dokter gembira.

"aku nganter istriku nih, sudah dua bulan telat".

"jadi mbak ini istrimu? Kenalkan mbak, saya yuni teman sekolah gatot", kata bu dokter memperkenalkan diri pada aisyah.

"saya aisyah".

"sombong kamu tot. Mentang mentang dapat istri cantik, kamu tidak ngundang aku".

"nanti kuundang. Kebetulan minggu depan kami menggelar resepsi. Sudahlah, buruan periksa istriku".

"kalau mau jadi ayah harus sabar tot. Jangan brangasan".

Aisyah berbaring sesuai perintah yuni. Gatot menunggu dengan harap harap cemas. Tak berapa lama bu dokter tersenyum dan selesai melakukan pemeriksaan. Aisyah juga sudah mengenakan lagi pakaiannya dan sekarang duduk di dekat gatot, menunggu juga dengan harap harap cemas. Tapi senyum bu dokter membangkitkan sebuah harapan.

"bagaimana hasilnya yuni", gatot semakin tak sabar.

"positif. Istrimu hamil dua bulan".

Gatot memeluk aisyah dan menciumi wajah aisyah dengan raut gembira. "kamu positif hamil aisyah".

"alhamdulillah mas. Keinginan itu dikabulkan", kata aisyah tak kalah gembira.

"itu baru satu kabar gembira. Kalian mau tahu kabar yang lainnya?", tanya yuni menebar teka teki.

"apa itu?", kata gatot dan aisyah serempak dan kompak.

"ini masih sebatas diagnosaku tot. Janin di rahim aisyah kembar. Untuk lebih meyakinkan cobalah USG saat usia kandungan aisyah tiga bulan lebih".

Lengkaplah kebahagiaan gatot dan aisyah. Mereka berbincang bincang dengan yuni sebelum pulang. Yuni tidak membebani biaya pemeriksaan. Yuni juga bersedia di panggil kalau gatot atau aisyah butuh bantuan. Gatot sangat berterima kasih. Mereka pulang dengan suasana hati riang. Sengatan mentari tidak menyurutkan semangat mereka. Pusing yang dirasakan gatot seketika hilang, terobati oleh senyum kebahagiaan yang di pancarkan aisyah hingga tiba di komplek.

"mbak yuni itu orang baik ya mas".

"dia sih nggak butuh duit. Orangtuanya pejabat. Yuni buka praktek hanya buat senang senang".

"tapi kok masih ingat ya ke mas gatot? Padahal mas kan cuma sekolah sampai kelas 2 SMP".

"siapa sih yang bisa melupakan masmu yang ganteng ini?".

Aisyah mencibir. Udara siang semakin panas dan terik. Aisyah ingin sekali mandi untuk menghilangkan gerah tapi gatot melarang. Akhirnya aisyah memilih memakai daster dan duduk bersama gatot di meja makan.

"kok aku baru tahu ya?".

"baru tahu apa mas?".

"baru tahu kalau kamu cantik".

"jadi selama ini mas gatot menilai aku jelek?".

"iya?".

"biar jelek tapi aku ini istrimu mas. Calon ibu. Nih bayinya terasa bergerak gerak", bisik aisyah sambil menunjuk perutnya.

"aku ikut merasakannya aisyah. Mulai sekarang kamu hati hati ya".

"mas gatot juga hati hati. Jangan salah bicara. Ingat kata orang orang tua mas. Kalau istri lagi hamil, maka sang suami harus menahan diri dari perkataan buruk, perbuatan buruk karena hal semacam itu bisa berpengaruh pada calon bayi".

"baiklah. Aku akan puasa bicara".

"sanggup?".

gatot menyelesaikan makan dan membopong aisyah ke kamar. Siang nan terik tidak menghalangi hasrat dan keinginan mereka untuk merangkai harapan harapan yang semakin tumbuh bermekaran memenuhi taman taman impian.

Malam datang menjelang. Dari ujung komplek terdengar suara suara lagu berkumandang. Komplek memang ada gawe. Ada resepsi pernikahan. Gatot dan aisyah juga sudah bersiap siap menghadiri resepsi pernikahan dewi yang di gelar malam ini. "bagaimana kalau nanti ketemu bu murti ya mas?", tanya aisyah di sela sela merias diri. "bersikap biasa saja kayak dulu aisyah", balas gatot.

Mereka berangkat bersama sama menuju ujung komplek dimana pesta berlangsung. Yang datang memenuhi undangan ternyata cukup banyak, bahkan yang bukan warga komplek dan bukan tamu undangan juga datang berdesakan di sekitar rumah dewi. Ada selentingan yang mengatakan kalau murti akan datang. Berita itulah yang menyedot antusiasme warga sekitar komplek. Acara resepsi tidaklah terlalu menarik, justru kemunculan murti yang paling ditunggu tunggu.

Sampai saatnya tiba. Orang orang yang berjubel berdesakan serentak mengarahkan mata ke satu tujuan, ke arah dimana seorang wanita melangkah dari kejauhan. Gatot dan aisyah menahan rasa hati yang berdebar debar. Semakin dekat wanita itu maka semakin riuh orang orang menyebut satu nama. Murti!murti!, panggil orang orang.

Tapi murti tak menoleh sama sekali dan tetap berjalan lurus menuju pelaminan, melewati gatot dan aisyah yang berdiri dan tersenyum padanya. Murti seolah olah tidak melihat senyum yang tulus itu. Gatot kecewa dalam hati, begitu pula aisyah. Mereka sama sekali tidak menyangka murti akan sedemikian angkuh.

"ayo nyanyi murti! Goyang! Joget!", teriak orang orang tak sabar ingin segera melihat penampilan murti.

Murti telah di daulat naik ke atas panggung hiburan. Penontonpun mulai bersorak ketika murti bernyanyi dan bergoyang dengan gerak tubuh yang mengundang. Di bawah sorotan lampu yang terang, seisi tubuh murti juga terang membayang dari balik baju merah menyala yang tipis dan transparan. Hingar bingar dan teriakan teriakan semakin liar, bahkan panggung telah di penuhi orang orang yang berjoget bersama murti.

Gatot dan aisyah pulang tanpa menonton tarian murti yang liar. Mereka pulang dengan hati sedih. Bukan sedih karena dilupakan oleh murti, tetapi sedih karena murti telah terseret dalam gemerlap dunia yang penuh petaka. Betapa cepat murti berubah sementara mereka masih tetap menganggap murti sebagai sahabat lama, sahabat yang pernah bersama sama merasakan suka duka, bahagia derita. Murti seakan lupa itu semua.

"semoga bu murti menemukan jalan ya mas".

"kita doakan saja aisyah. Bagaimanapun murti sangat berjasa pada kita, terutama padaku".

"aku yakin bu murti hanya khilaf mas. Tak mungkin beliau lupa begitu saja pada kita".

"yah semoga saja aisyah. Minumlah obatmu. Biar bayi di perutmu sehat".

Telinga mereka telah terkunci dari suara suara yang mengusik hati. Malam mengantar mereka ke mimpi.

Kota dilanda prahara. Dimana mana banyak sekali kerumunan massa. Di depan gedung DPRD, ribuan orang berdemonstrasi menuntut pencabutan izin sebuah majalah remaja. Poster poster yang bertuliskan anti pornoaksi, anti pornografi, dan sejenisnya banyak di usung para demonstran yang mulai anarkis. Gambar murti dalam berbagai pose menantang juga bertebaran dimana mana. Foto topless murti yang dimuat sebuah majalah dewasa memancing kontroversi, menyulut kemarahan penduduk kota.

USIR MURTI. USIR BUDAK SETAN. JANGAN BIARKAN KOTA JADI AJANG MAKSIAT.

Gatot dan aisyah terperangah. Mereka sama sekali tidak menyangka murti akan berani senekad itu, melukai hati penduduk kota dengan ulahnya yang mencari popularitas belaka. Mereka sangat sedih, sangat terpukul mendengar murti di hujat di sana sini, gambar murti di lempari dengan telur busuk dan di coret coret dengan tinta merah. Dan penduduk kota menuntut pengusiran murti sesegera mungkin dan secepat cepatnya dari kota. Penduduk telah sampai pada puncak amarah.

"ya Tuhan, bu murti mas".

"iya aisyah, entah setan apa yang merasuki jiwa murti sampai nekad".

"kita harus bagaimana mas?".

"harus bagaimana lagi? Murti sudah melupakan kita aisyah. Dia sudah asyik dengan dunianya sendiri. Apa daya kita untuk menolongnya?".

"andai kita bisa melakukan sesuatu ya mas. Tapi penduduk kota sudah terlanjur marah".

"tidak ada yang bisa kita lakukan aisyah. Kita hanya bisa berdoa dan berharap semoga murti mau meminta maaf dan kembali seperti dulu".

Tetapi murti sudah gelap mata dan keras kepala. Ia tidak bersedia memenuhi tuntutan warga untuk meminta maaf secara terbuka. Bahkan murti balas menantang warga. Tentu saja warga marah. Tidak sampai setengah hari kota telah dilanda huru hara. Ratusan bahkan ribuan orang berduyun duyun mendatangi perumahan residence. Semakin bertambahlah massa yang ada di depan rumah murti. Tapi murti tidak mau menemui massa. Murti sudah benar benar dibutakan.

Entah darimana asalnya, dalam sekejap api mulai menjalar dan membakar rumah mewah berlantai tiga itu. Di dalam rumah, murti agak panik karena api sangat cepat menyebar. Ia tergopoh gopoh memberesi pakaian dan dokumen dokumen penting lalu dengan kenekatan yang sangat berani dan luar biasa, ia menerobos kerumunan massa itu dengan memacu mobil sekencang kencangnya, membuat orang orang semburat seraya mengumpat dan melempari mobilnya. Murti selamat dari amukan massa tapi tidak dengan rumah mewahnya yang hangus tanpa sisa, meninggalkan puing puing yang membara.

"kriiiingng".

Handphone di saku baju aisyah berdering. Gatot memberi isyarat agar aisyah mengangkat telepon itu. "assalamualaikum".

"waalaikumsalam aisyah".

"bu murti?", seru aisyah antara gembira dan tak percaya. Gatot ikut terperangah tak percaya. "bagaimana kabar ibu?".

"aku hanya mau minta maaf padamu aisyah. Pada gatot".

"ini mas gatot mau bicara sama bu murti".

"jangan aisyah. Selamat tinggal ya".

"bu murti! Bu! Dengar dulu", aisyah berteriak teriak namun tidak ada suara murti lagi telepon terputus begitu saja. Aisyah coba menelpon balik tapi terlambat. Nomor HP murti sudah tidak aktif dan diluar jangkauan. Aisyah bersandar lesu dan sedih di dada gatot. "bu murti telah pergi mas", bisik aisyah terisak sedih.

"apa yang dia bilang?".

"tidak bilang apa apa mas. Bu murti hanya minta maaf pada kita dan mengatakan selamat tinggal".

"mungkin memang sudah saatnya dia pergi aisyah. Dan dia pasti kembali. Yakinlah".

Gatot yakin murti pergi hanya untuk menenangkan hati. Ia yakin murti akan kembali ke kota, kembali ke komplek dengan sikap seperti dulu. Ia mencintai murti dalam hati terdalam. Mengasihi murti yang telah memberi banyak sekali jasa pada kehidupannya. Gatot sadar bahwa tanpa murti, ia bukanlah siapa siapa. Murti telah mengangkatnya dari kebobrokan. Murti pula yang telah mempertemukannya dengan aisyah, istri tercinta.

Di gerbang batas kota, murti berhenti dan menangis seorang diri di dalam mobil. Meratap dalam hati. Dunia berputar terlalu cepat baginya, membolak balik halaman kehidupan yang berganti begitu saja. Betapa cepat kebahagiaan datang bertandang namun secepat itu pula kebahagiaan pergi dan menghilang, berganti dengan kesedihan yang terus terusan menggerogoti perasaan. Murti menyesali dirinya sendiri yang telah melupakan begitu banyak orang hanya demi sebuah pelarian. Kematian pak camat suaminya memang cukup mengguncang jiwa namun yang paling menyakitkan adalah siksaan yang ia terima, yang kini membuatnya trauma. Murti menghela napas dan mencoba tegar, mencoba melupakan apa yang terjadi hari ini dan bersiap menyongsong hari hari yang terus berganti. Dengan berat hati ia tinggalkan kota yang memberinya begitu banyak memori. Ia telah putuskan untuk pergi ke kota lain dimana bisa meneruskan hidupnya yang sesaat lalu berhenti. Hidup harus dimulai kembali. Ia mengusap airmata dan menjalankan mobil, benar benar meninggalkan kota.

Di dalam kota, huru hara perlahan tapi pasti telah berhenti dan situasi yang sempat mencekam mulai pulih kembali. Orang orang mulai pulang ke rumah masing masing setelah memastikan murti telah pergi. Majalah dewasa yang memuat foto foto seksi murti juga telah menutup kantornya. Ijin terbit majalah itu telah di cabut. Penduduk kota lega dan ketenangan kota terkendali. Jalanan kota kembali sepi, menyisakan sampah disana sini. Sampah yang dipenuhi wajah murti. Beberapa orang iseng memungut sampah itu dan menempelkan di sepanjang tembok trotoar. Murti telah dianggap sampah oleh masyarakat kota dan mereka sukses membuang sampah itu dengan cara yang hina.

Mungkin hanya gatot dan aisyah saja yang tidak menganggap murti sampah. Bagi keduanya, murti adalah korban yang lebih pantas di kasihani. Menurut mereka, apa yang dilakukan oleh murti hanyalah tak lebih dari sekedar pelarian hati yang tersakiti. Sakit hati itu yang mendorong murti lari dari kehidupannya yang hakiki, mencari kepuasan demi bisa menyembuhkan luka batin dan murti pasti ingin menghapus trauma. Itulah pemikiran gatot dan aisyah. Mereka berjanji tidak akan pernah membenci murti. Mereka berharap murti segera kembali. Sebuah harapan yang bakal lama terwujud. Murti tak mungkin secepat itu kembali. Murti telah terlalu jauh pergi meninggalkan kota, meninggalkan mereka, dan meninggalkan semua kenangan yang pernah ada.

BERSAMBUNG

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun