Hitamlah ia, jarang punya warna beda
Kadang di depan, di belakang , disamping kita
Atau juga di bawah pun di atas, tergantung arah cahaya menerpa
Bisa merupakan diri, mirip atau jauh berbedaÂ
Itulah bayang-bayang. Dimana banyak yang menyebutnya juga sebagai "sosok" gelap nan mistis, yang menyertai sesuatu di manapun saja asal ada yang berusaha menyorotnya. Demikian pula halnya dengan "kesetaraan". Demikian pula sekalipun itu dikaitkan dengan status semua mahluk di muka bumi (atau kalau mau omong besar, di seantero alam semesta).
Pada masa kekinian, dimungkinkan ada beberapa pihak yang "meletakkan" beberapa pemahaman lain terlebih dahulu sebelum, "meletakkan" pemahaman mengenai kesetaraan tersebut. Meski tak dapat ditampik juga, ada pihak lainnya pula yang "meletakkan" perihal kesetaraan ini pada tingkat dasar. Dan semua itu tentunya dilakukan dengan alasan-alasan tersendiri.
Pihak yang meletakkan perihal kesetaraan ini pada tingkat dasar, disebabkan karena pemahaman mengenainya akan menjadikannya sebagai landasan yang kuat untuk meletakkan pemahaman-pemahaman selanjutnya meski itu berada pada bidang-bidang pengetahuan yang lain. Oleh pihak ini, "kesetaraan" itu mereka sebut juga dengan "ekivalen" atau juga "sama dengan". Dapat ditebak kiranya bahwa ini berkaitan dengan matematika. Dimana di Indonesia dan di beberapa negara lainnya hal itu sudah diajarkan mulai dari sekolah tingkat taman kanak-kanak (TK). Bahkan sekarang ada juga yang memulainya pada tingkat playgroup (tetapi entah seperti apa cara mengajarkannya).Â
Dengan semakin  banyaknya ilmu pengetahuan yang dimilik oleh manusia, telah membuat manusia semakin sadar bahwa banyak yang dibuat ataupun dikerjakan di bumi ini tidak bisa dibuat/dikerjakan "seenaknya saja". Bahwa untuk menjamin hasil yang dikerjakan akan baik dan benar ada beberapa hal yang harus diperhitungkan secara matematis. Baik itu menggunakan hitungan matematis atau menggunakan/meminjam metoda matematis. Tergantung bidangnya. Yang mana "hasil yang dikerjakan akan baik dan benar" itu sendiri diidamkan karena menyangkut masalah penting lainnya, baik itu mengenai mutu/kualitas (berkaitan dengan penghematan sumber daya alam) ataupun berkaitan dengan masalah keselamatan (terkait akan keberadaan hasil ciptaan itu). Tentu lain lagi halnya bila yang dibicarakan adalah masalah senjata (apalagi yang ada pada jaman sekarang). Terkait yang disebutkan terakhir ... Bila saat ini kita dalam keadaan "sadar", dapatlah kita katakan bahwa ... bagi kesetaraan yang model ini (matematis) ... senjata merupakan bayang-bayangnya.  Â
Kemudian ...
Ada pihak lain yang berupaya untuk "meletakkan"/menanamkan pemahaman lain sebelum pemahaman mengenai kesetaraan ini "diletakkan"/ditanamkan, dikarenakan sisi gelap dari kesetaraan ini telah menjadi monster menakutkan bagi umat manusia, menurut pengalaman dari generasi-generasi sebelumnya. Ini berkaitan dengan tingkat kesetaraan antar mahluk yang ada di muka bumi (atau bahkan seantero alam semesta).Â
Kita bicaranya dengan sudut pandang manusia pada jaman dahulu kala. Mungkin saja manusia saat itu berburu hewan untuk mereka makan. Mungkin saja manusia saat itu terpaksa harus mencabut tanaman tertentu hingga menyebabkan tanaman itu mati, untuk diambil umbinya. Namun kita ketahui bersama, itu memang sesuatu yang (terpaksa) harus dilakukan untuk dapat bertahan hidup. Pertanyaan ... Tetapi  tatkala ada seseorang manusia mencabut rumput/tanaman hingga akarnya atau membunuh seekor hewan, tanpa adanya niatan apapun (yang berkaitan dengan bertahan hidup), juga tanpa ada rasa sesal sedikitpun, apa kiranya pandangan yang dimiliki oleh manusia itu terhadap manusia lainnya ?Â