Semenjak mendengar cerita pilu Prasasti beberapa waktu yang lalu, Bahari semakin jatuh hati kepada gadis pelayan tokonya itu. Bila senggang, Bahari selalu berusaha mendekatkan diri dengan Prasasti. Namun Prasasti menganggap perhatian Bahari, sebagai bentuk tanggungjawab seoarang bos terhadap karyawannya semata. Sore ini, setelah toko tutup Bahari mengajak Prasasti menikmati kuliner khas Sumenep di sebuah lesehan. Seperti biasa keduanya terlibat perbincangan serius.
Pada waktu yang bersamaan, di sebuah wilayah pelosok nun jauh di Timur, tepatnya di pesisir sebuah desa bernama Kamboja, senja mulai merebak memenuhi cakrawala. Tampak seorang wanita berusia sekitar 40 tahun berdiri mematung di sebuah dermaga tua. Wanita itu tetap tidak bergeming, kendatipun beberapa orang berlalu-lalang di sekitarnya. Pandangan wanita it uterus berkonsentrasi ke arah lautan lepas. Sesekali bibirnya mengidung. Wanita itu tidak lain dari Atika, ibunya Prasasti.
Gegap ombak yang menghempas tiang dermaga tua itu terus bergempita. Kadang berjeda, namun lebih sering bertalu-talu. Atika berkeluhkesah dalam gumam.
“Ya Tuhan, sudah hampir 21 tahun di setiap senja, aku selalu berada di tempat ini. Sudah tidak terhitungng berapa jumlah kapal yang telah berlabuh di dermaga tua ini. Tetapi tidak satu pun di antaranya yang berpenumpang suamiku!”
Mata Atika masih pada focus semula. Hanya berpusar ke satu sasaran. Tepat di tengah hamparan lautan di hadapannya.
“Ya Tuhan, aku tidak ingin berputusasa dalam penantian ini. Naluriku berkata, kak Jauhari masih hidup dan pasti kembali!”
Kemudian Atika mengidung lagi. Bibirnya menembangkan sebuah syair lagu lawas yang biasa ia dengar di radio, satu-satunya media elektronik yang dimilikinya. Lagu ‘aku pun ingin cinta’ dari Iis Sugianto itu dikidungkan Atika dengan segenap jiwa.
“Lautku yang biru, ceritalah padaku.
Apa kabarnya dia di seberang sana.
Bilang lekas pulang, aku mungkin tak tahan.
Jangan sampai rindu menjadi beku.”