Mohon tunggu...
Bem Simpaka
Bem Simpaka Mohon Tunggu...

baru belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada Langsung; Menabrak Dasar Negara?!

18 September 2014   07:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:21 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1414460785190474165

Silang pendapat mengenaicara memilih kepala daerah telah sampai pada fase perdebatan yang sangat idiologis. Kalangan yang menolak bahkan berargumentasi bahwa pemilihan langsung itu menabrak sila ke 4 dari Pancasila. Menurut mereka cara pengambilan keputusan dalam bernegara di Indonesia, termasuk keputusan menentukan kepala daerah, yang sesuai dengan Pancasila adalah musyawarah mufakat melalui lembaga perwakilan sebagaimana tercantum di Sila ke 4 Pancasila. Cara di luar itu dianggap menabrak Dasar Negara.

Sontak yang terbayangnegara ini bisa bubar! Sebab ada begitu banyak produk keputusan yang (pernah) diambil selama proses bernegara dengan cara pemungutan suaraatau pemilihan langsungbaik sebelum maupun sesudah UUD 1945 diamanedemen. Sebutlahmisalnya pemilihan kepala desa, pengambilan keputusan terkait substansi perundang-undangan, dan bahkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD ketika itu-pun dilakuan tidak melalui musyawarah mufakat sebagaimana diamanatkan dalam Sila ke 4 Pancasila, melainkan denga cara pemungutan suara. Rasanya belum pernah ada Kepala Daerah yang dipilih DPRD dengan cara musyawarah mufakat. Lalu apakah dengan demikian semua produk keputusan tersebut menjadi batal demi hukum?

Sila ke 4 Pancasila berbunyi, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Ada dua esensi utama yang terkandung dalam sila ke 4 ini. Pertama tentang perwakilan, dan kedua tentang musyawarah mufakat. Esensi tentang “perwakilan” itu pada dasarnya berbicara soal “alat pengambilan keputusan” atau siapa yang mengambil keputusan. Sedangkan esensi tentang “musyawarah mufakat” itu pada dasarnya berbicara soal “cara mengambil keputusan”, atau dengan cara apa keputusan diambil?. Maka, terkait polemik tentang bagaimana mengambil keputusan untuk memilih kepala daerah, ini pada dasarnya adalah berbicara soal bagaimana cara memilih kepala daerah, apakah langsung oleh rakyat atau melalui musyawarah mufakat oleh perwakilan rakyat di DPRD.

Dengan demikian, oleh karena sebelumnya DPRD dalam memilih kepala daerah-pun (pernah) melakukannya dengan cara pemungutan suara, bukan musyawarah mufakat, maka pada dasarnyagagasan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD seharusnyajuga tidak sesuai dengan sila ke 4 Pancasila. Maka, jikakita menggunakan alur berfikir yang konsisten bahwa pemilihan melalui pemungutan suara oleh rakyat adalah menabrak Pancasila, maka segala produk keputusan yang diambil oleh DPRD bukan dengan cara musyawarah mufakat itu juga bertentangan dengan Sila ke 4 Pancasila, termasuk dalam hal pemungutan suara untuk memilih kepala daerah.

Boleh saja kita memiliki keyakinan idiologis bahwa sesuai sila ke 4 Pancasila, satu-satunya cara pengambilan keputusan dalam bernegara yang sahadalah melalui musyawarah mufakat. Tetapi dalam masyarakat yang super majemuk ini, jika keyakinan tersebut dijadikan sebagai kebenaran tunggal, bagi saya itu adalah sebuah utopia demokrasi. Esensi musyawarah mufakat yang terkandung dalam sila Ke 4 Pancasila harus dimaknai sebagai pengutamaan, bukan pewajiban. Sehingga pengambilan keputusan dalam praktik bernegara sesuai nilai-nilai Pancasila diutamakan dengan cara musyawarah mufakat. Jika tidak ditemukan mufakat, harus ada cara lain melalui pemungutan suara atau voting.

Musyawarah mufakat dapat dijadikan cara untuk mengambil keputusan manakala para pihak dapat menyatukan gagasan dan pendapatnya dalam bingkai kesepahaman. Pertanyaanya, apakah kondisi seperti itu selalu terjadi? Jawabanya tentu saja tidak selalu. Maka, musyawarah mufakat tidak bisa mengabaikan opsi terjadinya voting/pemungutan suara. Lalu apakah voting/pemungutan suara sebagai cara pengambilan keputusan selain musyawarah mufakat itu bertentangan dengan Pancasila? Hemat saya, tidak bertentangan sepanjang tetap dalam bingkai Sila Ke3 Pancasila, Persatuan Indonesia . Sebab, jika terus menerus harus bermusyawarah sedemikian lama sampai terjadinya mufakat, akan terjadi inefisiensi demokrasi. Dalam hal keputusan yang harus diambil urgen, seperti penentuan kepala daerah, maka itu tidak saja in efisien melainkan berisio terjadinya perpecahan bangsa. Padahal perpecahan itu bertentangan dengan sila ke 3 Pancasila, Persatuan Indonesia.

Kaki Merapi, 15 September 2014

Bem Simpaka

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun