Di balik kebengisan dan kekejaman pemerintahan kolonial Belanda, ternyata terselip investasi sosial yang dilakukan oleh putra seorang ambtenaar. Jejak 114 tahun lalu itu tertinggal di kawasan Salib Putih Kota Salatiga. Sampai sejauh mana kiprah orang ini, berikut penelusurannya.
Keberadaan perkebunan, Panti Wredha, gereja maupun orang-orang miskin di Salib Putih, Argomulyo, Kota Salatiga sebenarnya tak bisa dilepaskan dari seorang pria Belanda bernama Abraham. Berkat campur tangannya, berbagai aktivitas sosial di tahun 1902 mulai dirintis di sini. Kendati awalnya lahan hanya berupa semak belukar, berbekal semangat serta kepeduliannya dengan sesama, akhirnya areal tersebut mampu diubah jadi perkebunan dan pemukiman. Lantas siapa Abraham?
Nama lengkapnya Abraham Theodorus Johanes van Emmerick merupakan putra seorang ambtenaar (pegawai sipil) di pemerintahan kolonial Belanda bernama van Emmerick. Setelah masa tugasnya berakhir, van Emmerick kembali ke negerinya dengan memboyong seluruh keluarganya. Kendati begitu, tahun 1882, Abraham yang menjadi misionaris gereja Kristen mendapatkan tugas pulang ke tanah kelahirannya di Salatiga.
Karena Abraham sudah menikahi wanita bernama Alice Cleverly warga negara Inggris, ia pun mengajak istrinya ke Indonesia. Pasangan muda tersebut (waktu itu Abraham berusia 24 tahun) tinggal di rumah keluarga van Emmerick yang terletak di Jalan Tentara Pelajar, Kota Salatiga. Di rumah besar dan berhalaman luas ini, melaksanakan tugasnya selaku misionaris. Karena merupakan warga kelas satu, otomatis hidupnya relatif sangat mapan.
Sayang, dalam perkembangannya jumlah pengungsi semakin bertambah sehingga rumah yang didiami Abraham tak sanggup lagi untuk menampungnya. Karena merasa membutuhkan tempat yang lebih lapang, akhirnya Abraham mengajukan permohonan pengelolaan lahan kepada pemerintahan Hindia Belanda. Keinginan Abraham langsung direspons, ia diberi tanah yang waktu itu merupakan pelosok desa paling ujung Kota Salatiga.
Lahan yang diberikan pemerintahan kolonial kepada Abraham cukup fantastis luasnya. Kendati berupa semak belukar, total areal yang bisa dikelola mencapai puluhan hektar. Selanjutnya, para pengungsi dipindahkan ke lokasi ini, Abraham membangun barak-barak sederhana. Untuk aktivitas sehari-hari, ratusan pengungsi diarahkan membuka perkebunan dan peternakan.
Keberadaan ratusan pengungsi yang dikoordinir oleh Abraham tersebut, ditandai dengan pendirian semacam monumen kecil dan gereja Kristen Jawa di tahun 1902. Di mana, papan nama gereja sampai sekarang masih menggunakan huruf Jawa. Sedangkan sebutan Salib Putih sendiri, berawal dari penemuan marmer berbentuk salib saat pembukaan lahan. Hingga sekarang, nama itu tetap melekat. Sedangkan di jaman pemerintahan kolonial disebut Witte Kruis Kolonie (WKK)
Areal lahan yang digunakan WKK sendiri di bawah kendali Abraham semaikin bertambah luas. Selain pernah menerima hibah dari seorang Wedana, keluarga van Emmerick juga melakukan pembelian lahan di sekitar lokasi. Sayang, Abraham tidak berusia panjang. Tahun 1924, ia meninggal. Selanjutnya segala tugas pelayanan diteruskan sang istri hingga tahun 1942. Sebab, ketika Jepang menduduki Indonesia, Alice ditangkap. Akibat penderitaannya di penjara, ia akhirnya meninggal.