Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menelusuri Jejak Investasi Sosial Putra Ambtenaar Belanda di Salatiga

7 April 2016   16:59 Diperbarui: 6 Juli 2017   16:28 1736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen sederhana yang dibuat tahun 1902 (foto: dok pribadi)

Di balik kebengisan dan kekejaman pemerintahan kolonial Belanda, ternyata terselip investasi sosial yang dilakukan oleh putra seorang ambtenaar. Jejak 114 tahun lalu itu tertinggal di kawasan Salib Putih Kota Salatiga. Sampai sejauh mana kiprah orang ini, berikut penelusurannya.

Keberadaan perkebunan, Panti Wredha, gereja maupun orang-orang miskin di Salib Putih, Argomulyo, Kota Salatiga sebenarnya tak bisa dilepaskan dari seorang pria Belanda bernama Abraham. Berkat campur tangannya, berbagai aktivitas sosial di tahun 1902 mulai dirintis di sini. Kendati awalnya lahan hanya berupa semak belukar, berbekal semangat serta kepeduliannya dengan sesama, akhirnya areal tersebut mampu diubah jadi perkebunan dan pemukiman. Lantas siapa Abraham?

Nama lengkapnya Abraham Theodorus Johanes van Emmerick merupakan putra seorang ambtenaar (pegawai sipil) di pemerintahan kolonial Belanda bernama van Emmerick. Setelah masa tugasnya berakhir, van Emmerick kembali ke negerinya dengan memboyong seluruh keluarganya. Kendati begitu, tahun 1882, Abraham yang menjadi misionaris gereja Kristen mendapatkan tugas pulang ke tanah kelahirannya di Salatiga.

Karena Abraham sudah menikahi wanita bernama Alice Cleverly warga negara Inggris, ia pun mengajak istrinya ke Indonesia. Pasangan muda tersebut (waktu itu Abraham berusia 24 tahun) tinggal di rumah keluarga van Emmerick yang terletak di Jalan Tentara Pelajar, Kota Salatiga. Di rumah besar dan berhalaman luas ini, melaksanakan tugasnya selaku misionaris. Karena merupakan warga kelas satu, otomatis hidupnya relatif sangat mapan.

Rumah keluarga van Emmerick di Salatiga sekarang jadi SMK (foto: dok pribadi)
Rumah keluarga van Emmerick di Salatiga sekarang jadi SMK (foto: dok pribadi)
Meski hidup nyaman, namun, kepedulian Abraham maupun istrinya terhadap kalangan pribumi yang miskin dan bodoh sangat tinggi. Terbukti, di tahun 1901 saat terjadi pengungsian besar-besaran akibat meletusnya Gunung Kelud, keluarga ini tanpa diminta menjadikan rumahnya sebagai tempat penampungan serta perawatan bagi pengungsi. Kebetulan, rumah yang didiami hanya berjarak sekitar 100 meter dari alun-alun (sekarang lapangan Pancasila) yang jadi titik kumpul ratusan pengungsi.

Sayang, dalam perkembangannya jumlah pengungsi semakin bertambah sehingga rumah yang didiami Abraham tak sanggup lagi untuk menampungnya. Karena merasa membutuhkan tempat yang lebih lapang, akhirnya Abraham mengajukan permohonan pengelolaan lahan kepada pemerintahan Hindia Belanda. Keinginan Abraham langsung direspons, ia diberi tanah yang waktu itu merupakan pelosok desa paling ujung Kota Salatiga.

Poliklinik peninggalan Abraham (foto: dok pribadi)
Poliklinik peninggalan Abraham (foto: dok pribadi)
Disulap Jadi Kawasan Wisata

Lahan yang diberikan pemerintahan kolonial kepada Abraham cukup fantastis luasnya. Kendati berupa semak belukar, total areal yang bisa dikelola mencapai puluhan hektar. Selanjutnya, para pengungsi dipindahkan ke lokasi ini, Abraham membangun barak-barak sederhana. Untuk aktivitas sehari-hari, ratusan pengungsi diarahkan membuka perkebunan dan peternakan.

Keberadaan ratusan pengungsi yang dikoordinir oleh Abraham tersebut, ditandai dengan pendirian semacam monumen kecil dan gereja Kristen Jawa di tahun 1902. Di mana, papan nama gereja sampai sekarang masih menggunakan huruf Jawa. Sedangkan sebutan Salib Putih sendiri, berawal dari penemuan marmer berbentuk salib saat pembukaan lahan. Hingga sekarang, nama itu tetap melekat. Sedangkan di jaman pemerintahan kolonial disebut Witte Kruis Kolonie (WKK)

Salah satu bangunan Panti Wredha yang rusak (foto: dok pribadi)
Salah satu bangunan Panti Wredha yang rusak (foto: dok pribadi)
Investasi sosial yang dilakukan Abraham dan istrinya inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Yayasan Sosial Kristen Salib Putih (YSKSP). Duet Abraham-Alice yang mau bersusah payah merawat orang sakit serta orang telantar, ternyata menjadi magnet tersendiri bagi kelompok-kelompok marjinal. Sehingga, di tahun 1912, jumlah orang-orang tanpa tempat tinggal yang berada di bawah asuhan Abraham mencapai 1.200 orang. Terkait hal tersebut, dibuatlah pelayanan serupa di Tasikmalaya, Jawa Barat serta Palu, Sulawesi Tengah.

Areal lahan yang digunakan WKK sendiri di bawah kendali Abraham semaikin bertambah luas. Selain pernah menerima hibah dari seorang Wedana, keluarga van Emmerick juga melakukan pembelian lahan di sekitar lokasi. Sayang, Abraham tidak berusia panjang. Tahun 1924, ia meninggal. Selanjutnya segala tugas pelayanan diteruskan sang istri hingga tahun 1942. Sebab, ketika Jepang menduduki Indonesia, Alice ditangkap. Akibat penderitaannya di penjara, ia akhirnya meninggal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun