Palembang....kota yang tak akan pernah kulupakan. Di sanalah aku dilahirkan. SD dan SMP pun kehabiskan di sana. Sebagai orang Palembang, jujur saja, saya merasa HAUS akan lokasi-lokasi wisata sebagaimana ya ng ada di Pulau Jawa seperti Candi, Pegunungan nan hijau bahkan Pantai-pantai nan elok. Namun, aku pun bangga dengan tanah kelahiranku ini. Kenapa? Karena Palembang dapat dikategorikan sebagai daerah dengan tingkat toleransi yang sangat tinggi. Ini ditandai dengan tidak adanya gesekan antara warga asli dan pendatang, umat Islan dan Non Islam. Bahkan, mereka saling menghormati. Sementara di daerah lain, antar umat SATU agama saja sampai saling berdarah-darah. Nggak percaya? Ini buktinya
1.
MESJID CHENG HO
Mesjid yang namanya mengambil nama seorang laksamana terkenal, Cheng Ho, di mana filmnya diperankan oleh tokoh terkenal kita Yusril Ihza Mahendra. Sosok Laksamana dan penjelajah Muslim dari Tiongkok nan tangguh. Didirikan tahun 2003, mesjid ini diresmikan 2006 meski sampe sekarang (2011) masih dilakukan pembangunan. Sumber dana mesjid ini berasal dari PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia/Pembina Iman Tauhid Islam)
Melihat arsitektur masjid yang aslinya bernama Masjid Al Islam Muhammad Cheng Ho, anak tertua saya bilang
“Kok mirip Klenteng, ya Pak?”
Ya itulah keunikan mesjid satu ini…
arsitekturnya memang bergaya China dengan perpaduan Melayu dan Nusantara. Setiap sudut ruang, bentuk hingga warna mencolok sangat mendominasi kalau gaya Cina terasa kental sekali. Persis klenteng yang juga banyak ditemui si seputaran Kota Palembang. Masjid Cheng Ho, yang mampu menampung sekitar 600-an jamaah, menjadi bukti bahwa di Indonesia ada ruang bagi para warga untuk mengekspresikan identitas unik mereka – percampuran tradisi dan budaya Tionghoa dan Islam dalam konteks lokal Indonesia.
Meski berupa tempat ibadah, Mesjid Chengho banyak dikunjungi oleh wisatawan. Teruatama saat-saat liburan sekaligus menunaikan ibadah.
2
PULAU KEMARO
Pulau yang terletak di tengah-tengah sungai Musi ini menyimpan sebuah legenda….bernama Legenda Pulau Kemaro.
Disebut KEMARO karena meski air sungai Musi naik Pulau ini tidak akan kebanjiran alias tetap KEMARAU (KERING). Dengan ongkos P.P. Cuma 100 rebu dengan naik Perahu/Ketek sekitar 30 menit.
Ombak saat itu cukup besar. Jadi kami harus berpegangan erat pada perahu. Untunglah, Bapak pemilik perahu sangat cekatan.Sepanjang jalan, kita bisa menikmati pemandangan pesisir sungai Musi, termasuk jembatan kebanggaan Wong Kito, Jembatan Ampera, rumah-rumah rakit atau rumah tradisional Palembang, serta tempat-tempat bersejarah lainnya di sepanjang sungai. Setengah jam perjalanan, Kami sampai di Pulau Kemarau. Asyiknya, ternyata berkunjung ke sana Tanpa tiket masuk. Mirip dengan berkunjung ke Candi-candi kecil di Jogja/Jateng yang sekedar mengisi daftar hadir. Gratis karena pada saat itu wilayah Palembang belum liburan dan tidak ada momen spesial seperti Cap Go Meh. Ahh asyiknya melihat dan mejeng di depan Klenteng dan patung Emas besar