Mohon tunggu...
Ayid Suyitno
Ayid Suyitno Mohon Tunggu... -

Lebih 100 media memuat tulisannya. Lebih 100 lainnya menjadi Donor Darah di PMI Kramat, Jakarta Pusat. Pernah menjadi guru dan dosen.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Media Sosial Mengentalkan Kebersamaan Berkeluarga

30 Juli 2017   13:37 Diperbarui: 30 Juli 2017   13:51 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

NYARIS setiap hari aku buka media sosial. Istri dan kedua anakku pun demikian. Kami punya akun masing-masing di facebook. Meski sebagai wartawan dan penulis aku memiliki akun lebih banyak. Tidak hanya di facebook, juga di kompasiana, wordpress, tentu untuk menulis di beberapa dotcom yang aku kelola dan tergabung di dalamnya.

Medsos yang aku ikuti melalui komputer aku panteng di meja kerjaku dari mulai aku buka usai Subuh sampai malam sekitar pukul 21.00 WIB. Istriku memakai HPnya, dua anakku -- secara bergantian -- lewat lewat notebook dan smartphone, dua alat komunikasi yang juga mereka gunakan untuk mendalami soal-soal atau PR dari sekolahnya.

Karena aku lebih banyak kerja di rumah, maka pertemuan dengan mereka (istri sibuk di dapur; kedua anakku, lelaki kelas 9 dan perempuan kelas 5, bersekolah) terjadi saat kami makan bersama baik pagi, siang, atau sore/malam. Tentu saja, banyak yang kami bicarakan, layaknya sebuah keluarga. Namun, saat malam menjadi waktu yang paling ideal. Di sini kami mengentalkan kebersamaan berkeluarga kami melalui diskusi dalam banyak hal dari apa yang terpampang di media sosial yang kami baca. 

Aku tentang agama, hidup dan kehidupan yang layak diteladani. Istriku tentang agama dan apa-apa yang berguna untuk kehidupan berkeluarga kami. Anak lelakiku tentang kereta api dan mobil-mobil keluarga yang dirasanya menarik. Anak perempuanku tentang lukisan fesyen dan masakan (termasuk kue-kue) yang tersaji di medsos.

Makanan alias berbagai jenis kue menjadi 'pusat' pertemuan kami. Aku biasanya mengusulkan untuk dibuat dan memberikan uang untuk menghadirkan hidangan itu. Istriku setuju dan siap menjadikan kue itu dalam bentuk nyata dan menyajikannya untuk kami. Kedua anakku mendukung dengan membelikan bahan-bahan yang dibutuhkan dan cawe-cawe dalam pengerjaan menjadi kue tersebut. Setelah jadi kami tidak langsung memakannya, melainkan memotret dan mengaplodnya di medsos. Sering aplodan itu mendapat banyak like dan komentar. Bahkan, saat diaplodkan ke grup masakan, misalnya, bisa diklik sampai ribuan. O senangnya. Istriku sering mengatakannya sebagai amal saat ada yang menyatakan bisa membuat seperti yang diaplodkannya dan bahkan berani berdagang dari modal 'petunjuk' istriku itu. Memang, istriku tidak sekadar mengaplod hasil jadi racikannya, sekaligus menuliskan resepnya, sehingga bisa dijajal untuk dibuat mereka yang membaca dan berminat. 

Usai diaplod, tanpa harus mengurusi jumlah klik dari aplodan itu - barulah kami memakannya dengan beragam komentar yang pada umumnya enak dan inginnya bikin lagi jika sudah habis. Bagi kami, tangan istriku -- kami sama memanggilnya Mamah -- adalah tangan ajaib. Apapun makanan dan minuman yang disentuhnya dan disajikannya pada kami pasti kami puji sebagai 'yang terbaik di dunia'. Hemmm... Biasanya ia senyum-senyum saja sembari berkomentar bahwa ia punya kiat dalam membuatnya, yakni tidak sama persis seperti resep yang ada, melainkan berusaha kreatif dengan menambahkan bahan, mengganti bahan, mengurangi atau melebihkan bahan, termasuk banyak hal lainnya seperti takarannya, waktu memasaknya, variasi bumbunya. 

Nah, jika aku senggang, demikian pula dengan kedua anakku jika mereka sedang tertarik, seberapanya bahan, bumbu, dan cara memasak menjadi bagian lain percakapan kami. Aku sesekali suka nyeletuk dengan mengibaratkan membuat makanan dan minuman sebagai proses menjalani hidup. Karena ada usaha, ada keinginan kuat, ada ini dan itu, sehingga jadi. Meski sempat meleset dari yang kami perkirakan. Bukankah hidup tidak selalu sukses? Pasti, ada jatuh dan kegagalan!

Ha ha ha... medsos memang punya daya luar biasa bagi kami. Hal yang tidak jarang juga membuat kami salah paham dalam membahas sesuatu. Seperti misalnya saat aku menulis lomba untuk "Harganas Lampung" ini. Anak lanangku mengemukakan tentang pembatas yang ternyata kereta di Jepang dan pameran tiket yang ternyata ia hanya mau bercerita tentang keramaiannya. Giliran aku yang justru menjadi bingung. Pembatas apa yang ia maksud? Dan, merasa ia mau memesankan tiket melalui online hp smarphone yang tengah dipegangnya! Sempat terjadi 'ketegangan' khas sebuah keluarga tanpa dendam dan sakit hati.

Kami sepakat menjadikan medsos bagian dari hidup kami, namun tidak harus berlebihan karenanya. Di saat musim sekolah seperti sekarang ini aku menerapkan aturan kepada kedua anakku bahwa mereka boleh mencolek notebook dan hp smartphone secara penuh hanya pada Sabtu dan Minggu. Meski aturan ini sesekali tidak dipatuhi dan mereka secara diam-diam mengambil perangkat itu. Namun, pada prinsipnya prosentasenya lebih banyak menurutnya. Tentu saja, ini hal positif yang harus kami syukuri. 

Mereka tanpa menyentuh medsos, selain Sabtu dan Minggu, namun aku dan istriku juga tidak pelit informasi. Jika ada hal-hal baru dan patut kedua anakku ketahui tetap kami membicarakannya. Maklum, di medsos selalu ada yang kiwari dan layak menjadi perbincangan. Ini pula yang membuat medsos demikian memikat banyak orang. Meski jika tidak dibatasi pemakaiannya atau serampangan dalam menggunakannya menjadi tidak baik jadinya. Misalnya dengan mengemukakan perasaan pikiran kita yang tidak pada tempatnya. Berkomentar seenak jidatnya tentang persoalan yang tidak diketahui. Merasa diri paling hebat terhadap sesuatu hal.

Keluarga adalah tempat yang pertama dan utama anak menjalani hidup, demikian disebut para pakar pendidikan dan ahli jiwa seperti yang aku ketahui dan aku pelajari di bangku kuliah jurusan Pendidikan Anak, Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta, dulu, saat aku masih kuliah. Pegangan dasar tentang mendidik anak ini aku coba genggam teguh. Semoga ini juga menjadi pondasi untuk kehidupan kedua anakku, kelak, dengan tidak terpengaruh gempuran 'buruk' -- meski banyak juga baiknya -- medsos yang tidak bisa kita abaikan. Apalagi, kita berada di zaman informasi dan komunikasi yang deras mengalir baik kita mau menerima atau tidak. Namun, kita bisa menyeleksinya dengan berpedoman pada agama dan dasar negara di mana kita hidup. Di Indonesia, Tanah Pancasila.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun