Mohon tunggu...
Asep Sumpena
Asep Sumpena Mohon Tunggu... Auditor - Suka mengamati

Suka hal-hal sederhana yang bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Minasan Kumaha Damang?

15 Juni 2012   14:03 Diperbarui: 8 Juli 2015   15:17 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

[caption id="attachment_188246" align="aligncenter" width="605" caption="Pintu Depan YKC / parenggan.blogspot.com"][/caption] Pohon-pohon sedang menghijau daunnya, bunga-bunga musim semi penghujung milenium kedua sudah berguguran dan angin dingin menerpa kami yang sedang menuruni tangga stasiun Sangyo-Shinko-Center. Kami melangkah gontai, sambil menyeret bawaan kami memasuki halaman gedung Yokohama Kenshu Centre yang megah. Baru terasa lelahnya perjalanan tadi dan untungnya angin dingin ini bertiup membawa segarnya udara kota Yokohama yang cukup membantu memulihkan tubuh kami. Suara koper terseret-seret berakhir ketika kami mulai memasuki pintu kaca dan pengantar kami melaporkan kedatangan kami di uketsuke (resepsionis).

 

[caption id="attachment_188247" align="aligncenter" width="200" caption="Uketsuke / aots.or.jp"]

13397684932084031392
13397684932084031392
[/caption]

Setelah kami didaftarkan dan mendapat kunci kamar serta sebundel dokumen, akhirnya tibalah waktunya bagi kami harus berpisah dengan pengantar kami yang akan segera pulang ke Hiroshima. Dengan ucapan “arigatou gozaimasu” dan “mata ato de” kami melepas sang pengantar yang telah berjasa mengantarkan kami dari Fukuoka di pulau Kyushu ke Yokohama di pulau Honshu, dengan seksama dan dalam tempo secepat-cepatnya dalam kondisi selamat dan tanpa kurang suatu apapun, kecuali rasa lelah yang ada.

 

Setelah mengucapkan terima kasih kepada petugas uketsuke, kami segera naik lift menuju kamar masing-masing di lantai tujuh di bagian sayap kiri gedung. Sebuah kamar agak kecil tapi cukup manis, mirip seperti sebuah kamar hotel. Saya berjalan ke dalam kamar; di sebelah kiri menempel ke dinding ada lemari pakaian, kuletakkan tas dan koper di sebelah lemari, kubuka koper dan mengambil beberapa pakaian. Satu setel pakaian santai kusiapkan, lalu melangkah lagi, sebelah lemari ada seperangkat meja kursi dan di atasnya ada sebuah interkom dan televisi kecil. Berseberangan dengan meja ada tempat tidur yang bersih, kuletakkan pakaian tadi di atas tempat tidur. Di depannya ada sepasang jendela besar, lebih tepatnya sepasang pintu yang bisa digeser, kugeser pintu dan melangkah ke luar – ke balkon, kurasakan udara sejuk walaupun hari sudah siang. Di balkon ada jemuran kecil, ku arahkan pandangan ke arah luar di bagian bawah – di sebelah gedung ada lapangan softball lalu disusul gedung-gedung, dan di ujungnya adalah laut yang membiru dengan ombaknya yang berbuih putih – Yokohama bay. Good view nih.

 

[caption id="attachment_188249" align="aligncenter" width="200" caption="Kamar Tidur / aots.or.jp"]

13397685881491264300
13397685881491264300
[/caption] [caption id="attachment_188250" align="aligncenter" width="200" caption="Kamar Tidur / aots.or.jp"]
1339768647966123172
1339768647966123172
[/caption]

Kamar mandi terletak sejajar dengan tempat tidur, dekat dengan pintu dan berseberangan dengan lemari. Kemudian saya mandi karena sudah hampir sehari semalam belum mandi. Kalau dibandingkan dengan hotel ada sedikit kekuarangan kamar mandinya, yaitu tidak disediakan peralatan mandi. Waktu berganti pakaian dengan pakaian santai tadi ku amati sekitar ternyata di dinding dekat dengan bagian kepala tempat tidur ada jam dan radio. Kubereskan pakaian ke lemari, lalu berdoa mengucap syukur atas segala perlindungan Tuhan sepanjang perjalanan dan sampai tiba di tempat ini dengan tidak kurang suatu apapun, baru ditinggal sehari hati ini rasanya rindu sama yang ditinggal di rumah – ribuan kilometer dari Yokohama dipisahkan Lautan Teduh, Laut Cina Selatan dan Selat Karimata.

 

Bertiga kami turun ke kantin mau makan siang, di uketsuke kami berpapasan dengan lima orang pria yang raut wajahnya tidak asing yaitu potongan wajah dari satu bangsa yang nenek moyangnya pelaut ulung, yang negerinya ijo royo-royo - zamrud khatulistiwa, juga katanya Atlantis yang hilang itu, dan yang ramah tamah serta murah senyum. Mereka sedang tersenyum lebar kepada kami dan seperti mau memeluk kami di dalam penglihatan saya, kemungkinan karena diberitahu oleh staf resepsionis bahwa tiga orang yang baru muncul dari lift adalah saudara sebangsa dan setanah air. Ya mereka adalah Indoneshia-jin, artinya orang Indonesia dalam bahasa Jepang dan bukannya jin dari Indonesia.

 

Kami bersalaman dan berkenalan, ternyata mereka kenshusei AOTS juga dari Jakarta lebih tepatnya Jabodetabek, yang segera menjadi sahabat kami, dan memang kami dengan mereka adalah satu angkatan dan satu grup pula. Kemudian berdelapan kami makan dan alat pembayarannya berupa kartu magnetik yang digesekan pada saat kami membayar makanannya di kasir.

 

Mengenai kartu ini di kalangan para kenshusei, khususnya dari Indonesia berkembang sebuah kisah lebih tepatnya rumor tentang mengapa kartu itu diberlakukan dan bukannya diberi uang tunai. Alkisah pada zaman dulu, uang makan untuk para kenshusei diberikan dalam bentuk uang tunai, lalu katanya ada beberapa kenshusei dari Indonesia (versi lain dari China)  karena mau menghemat, uang makan tadi dibelanjakan sedikit untuk makan, bahkan katanya lagi mereka tidak makan di kantin kenshu centre (tempat pelatihan) dan membeli makanan dari luar, mungkin membeli mie ramen. Akhirnya banyak yang sakit karena kurang gizi dan juga bisa jadi pendapatan kantin tadi jadi berkurang, akhirnya uang tunai tadi diganti menjadi kartu magnetik sebagai alat pembayaran yang sah di kantin kenshu centre.

 

Saya kurang percaya pada kisah di atas, tapi itu masuk akal juga karena pada saat itu jatah makan kenshusei sehari adalah 3.000 yen (jika kurs sekarang itu lebih dari 300.000 rupiah). Itu lebih dari cukup untuk makan tiga kali sehari. Menurut perhitungan saya 2.000 yen sudah cukup untuk sehari makan ditinjau dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Wah berarti setiap hari ada kelebihan 1.000 yen dong, lumayan bisa diuangkan. Sayangnya tidak, setiap akhir bulan dan atau akhir pelatihan akan hangus seandainya masih ada sisa di kartu yang bersangkutan. Dengan aturan seperti itu, maka akhirnya kita makan dengan kualitas bagus dan berlebih, bahkan masih bersisa sehingga kita masih bisa coklat dan camilan lain. Kadang kami saling traktir juga.

 

[caption id="attachment_188252" align="aligncenter" width="200" caption="Kantin / aots.or.jp"]

13397688511886344281
13397688511886344281
[/caption]

Di kantin tersedia makanan dari berbagai bangsa termasuk makanan khas Indonesia seperti opor ayam, sambal dan kerupuk. Anehnya saat pertama makan di sana, saya malah makan opor ayam ala Jepang, rasanya lumayan lah. Lalu berbagai makanan lain dicoba dari mulai makanan Thailand, Korea, China. Western, Jepang dan seterusnya. Di sana kami bisa mencoba makanan berbagai bangsa dan rasanya cukup enak dan menantang. Tapi ada satu pengalaman menarik, ketika mencoba makanan khas Jepang, rasanya tidak sesuai dengan lidah saya, berbagai rasa ada dan rasanya sangat tabrakan di lidah ini walau penampilannya cantik. Contohnya makanan sejenis telur dadar, tapi rasanya manis seperti manisan. Saya jadi agak sedikit tertekan, bagaimana nanti saat magang di perusahaan yang berada di pelosok dimana yang tersedia hanya jenis makanan ini. Wah gawat tuh.

 

Bertemu dengan saudara setanah air adalah hiburan tersendiri, saat kami merasakan jauh dari tanah air dan rindu kampung halaman, apalagi ketikan berhadapan dengan kebudayaan dan tata cara bangsa lain yang berbeda. Dari kelima kawan tadi beberapa adalah baraya Sunda, apalagi kemudian diberitahu bahwa ada rombongan orang Indonesia yang sedang pelatihan di YKC juga, mereka adalah orang-orang perikanan yang apabila nanti selesai pelatihan bahasa dan budaya di sini akan terjun magang di kapal-kapal penangkap ikan besar Jepang yang berlayar seantero Samudera Pasifik. Rata-rata mereka masih muda dan rada baong (nakal) sedikit, tapi baik-baik dan kompak. Kebanyakan berasal dari Jawa Barat dan sebagian dari Jawa Tengah. Akhirnya percakapan pun jadi bercampur antara bahasa Sunda dan Jepang, jadinya ucapan apa khabarnya menjadi, “Minasan, kumaha damang?”

*Minasan (bahasa Jepang) = anda sekalian

**Kumaha Damang (bahasa Sunda) = apa kabar.

 

Salam Silakan baca kisah sebelumnya di sini

Silakan baca kelanjutan kisah ini di sini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun