Saya memang mesti malu sebab dunia perguruan tinggipun diwarnai bisnis esek-esek. Pelakunya disebut Ayam Kampus, pelaku itu adalah mahasiswiku. Dan mengapa istilah ayam kampus diperhalus?. Bukankah ayam kampus itu adalah Pekerja Seks Komersial?. Lebih sarkas lagi disebut Perempuan Eksperimen. Bahkan era 80-an dinamai salome. Maaf jika istilah saya kelewat kasar kali ini.
[caption id="attachment_220609" align="aligncenter" width="300" caption="Bangka Tribun News com"][/caption]
Ini hasil dari sebuah diskusi yang berujung perdebatan sengit. Kenapa berakhir dengan adu mulut dan debat kusir?. Sebab, image ayam kampus -menurutnya- 'lebih baik' dibanding PSK. Saya katakan kepada 'lawan' diskusi bahwa apa bedanya antara PSK dengan Ayam Kampus?. Coba apa bedanya?. Toh sama-sama bertransaksi dan berpeluang menularkan HIV/AIDS.
Menurut 'lawan' diskusi saya, Ayam Kampus lebih elit, lebih punya martabat dan intelek. Saya balik membalasnya, jika intelek pasti ia optimalkan kecerdasannya dan tak akan pernah mau jadi Ayam Kampus. Lawan bicaraku terdiam. Sebuah diskusi yang memiliki cara pandang berbeda. Iya, orang di kampus memang tergambar intelektualitas, tetapi itu hanya 'deskripsi'. Sebab tawuranpun bukan sebuah cerminan intelektualitas...!
Menurut lawan diskusiku lagi bahwa Ayam Kampus lebih dominan disebabkan masa lalu yang buruk, keluarga tidak bahagia dan kehilangan virginitas dan lain-lain.
Maaf, saya takkan pernah setuju dengan anggapan ini. Mau istilah apa kek yang digunakan, yang namanya transaksi seksual -di lokalisasi, yang terselubung, kaum intelek, kaum tak intelek- semua memiliki latar belakang yang identik. Ditambah lagi dengan faktor ekonomi beserta tete bengeknya.
Dimana Intervensi Bisnis Esek-esek di Perguruan Tinggi?
Saya tak cari sensasi dan popularitas lewat tulisan. Sungguh bukan itu maksudku. Bukan pula ingin menjatuhkan sang mahasiswi, bahkan tulisan ini malah menenggelamkanku sebagai pendidik di perguruan tinggi. Semestinya sebuah tamparan bertubi-tubi setiap perguruan tinggi, dimana teori-teori tentang peradaban?. Tentang filsafat tingkah laku? Guidance and counseling?.
Adakah perguruan tinggi yang benar-benar memfokuskan perhatian terhadap gejala sosial 'penyakit masyarakat' di kampus?. Bahkan menurut seorang Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan yang pernah saya wawancarai, beliau berucap: "Itu di luar kewenangan universitas!!!". Sebuah jawaban terasa aneh, bukankah ini ancaman terhadap kesehatan dan ancaman intelektualitas dunia kependidikan di universitas?.
Ayam Kampus Itu Mahasiswiku
Stigma sosial ini telah menjadi pembicaraan umum, biasa dan seolah tak meresahkan. Bukan hanya pada hancurnya generasi muda via mentalitas tetapi ini merobohkan kualitas fisik apatah lagi bersinggungan dengan HIV AIDS yang mematikan.