Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kiat Kemitraan dalam Hadapi Tantangan Global: Pangan Energi Air

13 April 2024   13:15 Diperbarui: 16 April 2024   10:00 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peraga-6: Malthusian Effect - Arnold M

Peraga-3: Share of Energy Mix - Arnold M
Peraga-3: Share of Energy Mix - Arnold M
Dengan menggunakan pendekatan Perencanaan Skenario Proyeksi Sumber Energi Indonesia menuju tahun 2045 dapat dilihat pada grafik di bawah ini (Peraga-4), dan porsi non fosil perlu mencapai 50%.

Peraga-4: Proyeksi Bauran Energi Indonesia Arnold M
Peraga-4: Proyeksi Bauran Energi Indonesia Arnold M
Berdasarkan grafik pada 2045 selayaknya pangsa energi non fosil sudah mencapai 50% sehingga menjadi tantangan besar untuk meningkatkan pangsa dari 10% menjadi 50% dalam waktu 20 tahun. Sementara merujuk data historis sebelumnya bahwa dalam 2 dekade pencapaiannya hanya 10%.

Demi penurunan pangsa energi fosil maka layak lakukan inovasi dengan melihat alternatif yang ada pada Energi Terbarukan (Renewable Energy) seperti pada peraga berikut ini (Peraga-5); sumber atau pilihan Renewable Energy.

Peraga-5: Sumber Energi Terbarukan - https://www.greenesa.com/news/renewable-energy-sources-types
Peraga-5: Sumber Energi Terbarukan - https://www.greenesa.com/news/renewable-energy-sources-types

Memperhatikan pilihan yang ada maka eksploitasi energi laut menjadi pilihan dengan mengingat 70% wilayah Indonesia adalah lautan dan inovasi padaTidal (Pasang-Surut) serta Wave (Gelombang) layak diutamakan serta membuka alternatif Farming atau menggelar Panel Surya serta Turbin Angin di lautan demi mengurangi penggunaan ruang di daratan untuk serapan panas.

Perkotaan dan Kelayakan Hidup

Dikutip dari Bank Dunia terkait Pembangunan Perkotaan bahwa Saat ini, sekitar 56% populasi dunia -- 4,4 miliar jiwa -- tinggal di perkotaan. Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut, dengan jumlah populasi perkotaan yang meningkat dua kali lipat dari jumlah saat ini pada tahun 2050, yang berarti hampir 7 dari 10 orang akan tinggal di perkotaan.

Dengan mengetahui hal tersebut maka jelas perkotaan akan menjadi Pusat Pertumbuhan Ekonomi dan 2 dari 3 orang akan tinggal di perkotaan. Terkait dengan emisi karbon, perkotaan menyumbang lebih dari 70% emisi CO2 global sehingga berinvestasi pada pembangunan perkotaan yang rendah karbon dan berketahanan akan menjadi kunci untuk mengurangi emisi. (Laporan WEF -- 2022).

Jika kita ambil contoh wilayah Jabodetabek (Metropolitan Jakarta dengan kota-kota disekitarnya) yang jumlah penduduknya per tahun 2023 telah mencapai kurang lebih 42 juta jiwa (disebut Aglomerasi terbesar di Dunia) maka tantangannya bisa mengacu pada Efek Malthus seperti terlihat pada Peraga-6 di bawah ini.

Peraga-6: Malthusian Effect - Arnold M
Peraga-6: Malthusian Effect - Arnold M
Mengingat kenyataan di atas maka perkotaan dan perkotaan perlu mendapat perhatian terutama dalam membangun dan menjamin lingkungan yang sehat dan bersih serta penyediaan pelayanan publik. Dalam hal ini INDODEPP dapat menjadi kesempatan untuk mempelajari juga bagaimana Denmark mengelola kota-kotanya sebagaimana fakta menyatakan bahwa kelayakan hidup di Kopenhagen berada di Peringkat #2 Kota Paling Layak Huni di Dunia (lihat Peraga-7 di bawah).

Peraga-7 Most Liveable Cities - EU Intelligence
Peraga-7 Most Liveable Cities - EU Intelligence

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun