[caption id="attachment_172661" align="aligncenter" width="512" caption="dok. pribadi"][/caption]
Tulisan saya ini lagi-lagi terinspirasi dari tulisan sahabat saya di Kompasiana, sebuah tulisan yang menjadi oleh-oleh berharga buat saya. Dalam artikelnya yang berjudul Oleh-oleh buat Mbak Yani, Mas Fidelis Harefa menuliskan pengakuan-pengakuan dari anak-anak putus sekolah yang berjuang untuk mempertahankan hidupnya, tanpa memperdulikan apakah yang mereka lakukan itu benar atau salah, halal atau tidak halal, legal atau ilegal.
Dalam tulisan ini saya akan menuliskan kembali pengakuan mereka agar pembaca bisa mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai pekerjaan yang dilakukan anak-anak putus sekolah ini.
1. Kami mencari salah satu lokasi yang jauh dari pemukiman penduduk. Kami merusak badan Jalan Raya agar kendaraan mengalami kesulitan melewatinya. Setelah itu kami menyediakan papan-papan tebal dan peralatan lainnya. Saat kendaraan melewati jalan itu, kami akan turun untuk membantu. Tentu saja membantu dengan harapan nanti akan ada balas jasanya. Dan itu terjadi sesuai rencana. Akhirnya kami dalam kelompok bisa mendapatkan duit sekitar Rp. 300.000,- per hari setelah kami berbagi. Gampang kan? Biarkan pemerintah kita mengurus hal-hal besar. Kami juga bisa menciptkan lapangan kerja sendiri. Halal atau tidak halal, urusan nanti. Itu pilihan terbaik kami saat ini.
2. Geng kami tidak punya nama. Tapi kami punya anggota sekitar 15 orang. Kerja kami adalah mengerjakan proyek-proyek menarik. Kami selalu menerima proyek dari para pengusaha. Bila mereka ingin keamanan, kami memberikan mereka keamanan. Karenanya, siapa saja yang mengganggu para pengusaha yang ada di bawah perlindungan kami, akan kami ancam bahkan bila perlu, kami bantai deh. Jahat atau baik, itu terserah penilaian orang. Dan itu bukan urusan kami.
3. Istilah Illegal dan Legal Logging yang tidak jelas membuat kami ambigu dalam memahaminya. Kami menebang satu pohon untuk kebutuhan kami, sudah dianggap melanggar undang-undang. Tapi bila penebangan dilakukan oleh perusahaan tertentu, lebih sering dikatakan itu legal saja. Padahal hasilnya untuk dijual dan menjadi bahan ekspor. Kalau demikian, kami juga punya cara sendiri untuk mendapatkan bagian dari hasil penebangan hutan kami. Kalau bagi pemerintah mengatakannya sebagai tindakan kriminal, itu urusan mereka. Urusan kami adalah cari makan.
Dari tiga pengakuan di atas, saya menilai, apa yang anak-anak putus sekolah lakukan ini adalah pilihan terakhir yang terpaksa diambilnya guna mencari makan untuk bertahan hidup ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan. Bagi mereka yang memiliki ijazah sebagai senjata untuk mencari pekerjaaan saja masih banyak yang mengalami kesulitan (lihat tulisan saya, Mau Kerja? Bayar dulu), apalagi bagi mereka yang putus sekolah.
Menurut saya, bila anak-anak putus sekolah diberikan kesempatan, dibimbing untuk mandiri maka tidaklah mustahil mereka dapat melakukan hal-hal positif yang akan bernilai lebih. Salah satu contoh anak putus sekolah yang mampu melakukan pekerjaan positif dan bernilai lebih adalah karyawan yang sehari-harinya bekerja bersama saya.
Namanya Hendra, bila dilihat dari tingkah laku, tata bahasa dan cara berpikirnya kita tidak akan menyangka bahwa karyawan saya ini hanyalah lulusan Sekolah Dasar (SD).
Anak ini juga memiliki kepercayaan diri yang tinggi, bila ada yang bertanya, sekolahnya lulusan apa, tanpa malu Ia akan menjawab " S1 donk.. S nya cuma 1, SD hehehe"
Awal cerita Ia bisa bekerja bersama kami pun sangat menarik. Anak ini sebelumnya bekerja di sebuah toko sparepart motor rekanan kami, karena toko tempatnya bekerja ini sering kekurangan uang untuk membayar hutang, maka sang pemilik toko kadang menjual barang-barang dengan harga murah kepada kami, dan anak inilah yang sering menjadi pengantar barang.