Mohon tunggu...
Ardi Ansyah
Ardi Ansyah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Ketika Ngebut Jadi Sebab 'Selamat' Pengendara

26 Juli 2017   09:41 Diperbarui: 30 Juli 2017   15:52 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Musim lebaran sudah usai dan mahasiswa mulai kembali berangkat ke perantauannya masing-masing, meninggalkan rumah menuju tempat antah berantah. Pikirnya dulu ini akan menyenangkan setelah tinggal beberapa ratus kilometer dari pintu rumah, ternyata lebih dari itu, bukan lagi menyenangkan, tetapi menantang nyali.

Ada pepatah jawa yang  bunyinya : "alon-alon asal kelakon", kurang lebih artinya pelan-pelan saja yang penting selesai. Bukan berarti boleh terlambat, tapi setiap perbuatan perlu dilakukan secara hati-hati. Sayangnya bunyi pepatah ini sudah mulai hilang gemanya di tanahnya sendiri, atau sudah jadi kata-kata yang terlalu mainstream dan membosankan.

Menurut data kepolisian, selama Operasi Patuh Semeru 2016 yang digelar selama dua pekan, ada 41 kecelakaan yang terjadi di Surabaya. Mungkin tidak heran, karena bagi kita Surabaya memang kota besar dan bejubel masyarakat di dalamnya. Meskipun hanya menempati posisi 3 Setelah Tuban dan Bojonegoro, Surabaya tetap menjadi nomor 1 jumlah korban yang jatuh. Dan jika kita sadari, 3 peringkat diatas diisi oleh kota-kota di Jawa Timur.

Data lain mengatakan pada Januari 2017 terjadi 1.859 kecelakaan dan Februari 1.748 kecelakaan di Surabaya, jika kita perkirakan angka ini stagnan atau meningkat setiap bulannya, maka kurang lebih setahun akan terjadi 20.000 kecelakaan, dengan setiap kecelakaan rata-rata melibatkan 2 kendaraan dan katakanlah 3 pengendara, maka kerugian yang terjadi sebanyak 40.000 kendaraan dan 60.000 korban. Angka yang bisa menghabiskan populasi kendaraan dan mengurangi populasi manusia di pulau jawa dengan cara yang tentu tidak diinginkan.

Budaya bisa jadi penyebab terjadinya kecelakaan, seperti budaya tempramental, budaya terlambat, budaya membunyika klakson dan lain sebagainya. Perbedaan mencolok dirasakan ketika mengunjungi kota Yogykarta dan Malang, dua kota yang memiliki tipe hampir sama dengan dikelilingi pegunungan dan wisata alam, budaya berperan penting ketika mereka berkendara, satu dua kali bertemu dengan lampu merah tidak pernah menemui pengendara yang membunyikan klakson ketika lampu lalu lintas baru sepersekian detik berubah dari merah ke hijau. Berbeda dengan pengendara di Surabaya, pengalaman mengantarkan di beberapa jalan primer maupun sekunder, pengendara sering melewati zebra cross dan klakson berbunyi disana-sini ketika lampu lalu lintas masih berwarna merah sekalipun.

Di lain waktu, saat berkunjung ke Kampung Ilmu di Jalan Semarang di Surabaya, pengalaman mengantarkan ketika berkendara dipinggir jalan menikmati perjalanan dan melihat ramainya Kota Surabaya, masih ada pengendara yang merasa terganggu dan membunyikan klakson sambil lewat dan misuh-misuh (marah-marah). Mungkin perlu nyali besar untuk jadi pengendara di kota besar, ketika berkendara dengan lambat justru bisa jadi sebab nyawa melayang, dan kebut-kebutan malah jadi penyelamat nyawa.

Sebagai orang yang sama-sama lahir di tanah jawa, saya lahir di jawa barat dan menuntut ilmu di jawa timur. Ada baiknya kondisi kesadaran berkendara di tanah kita bersama (jawa ; red) ini mulai disadari dengan memahami seberapa besar potensi kecelakaan bisa terjadi, khususnya di kota-kota besar, hal ini tidak lepas dari budaya masyarakatnya sendiri, ketika anak dibawah umur sudah diizinkan berkendara, ketika keamanan berkendara tidak dihiraukan, maka budaya mencintai perlu ditumbuhkan, cinta terhadap kota, keluarga, dan tentunya cinta pada diri sendiri. Dan sebaiknya, jangan berikan dulu kendaraan bermotor kepada anak anda ya, sebelum paham apa arti selamat, nyawa, dan celaka

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun