Mohon tunggu...
Arif Rahman
Arif Rahman Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Menyukai hal-hal sederhana, suka ngopi, membaca dan sesekali meluangkan waktu untuk menulis. Kunjungi juga blog pribadi saya (www.arsitekmenulis.com) dan (http://ngeblog-yuk-di.blogspot.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari IP Man Hingga Cristiano Ronaldo Pun Antar Anaknya di Hari Pertama Sekolah

1 Agustus 2016   00:00 Diperbarui: 1 Agustus 2016   06:22 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Infografis Hari Pertama Masuk Sekolah

"Hadiah terbaik untuk buah hati adalah waktu Anda untuknya, sisihkan sejenak dan kita mulai dengan mengantarkannya di Hari Pertama Sekolah." By KEMENDIKBUD

Kurang lebih seperti itulah pesan masuk ke handphone jadul saya sekitar dua minggu lalu, tepatnya Sabtu 16 Juli 2016 pukul 12 siang waktu Makassar. Awalnya saya mengira itu adalah sms dari doi yang tinggal di Depok. Sayangnya setelah saya buka ternyata dari Kemendikbud, tapi karena rasa penasaran yang tinggi saya tetap membukanya bahkan membacanya hingga tuntas. Kemudian setelah itu, saya kembali melanjutkan aktivitas menonton acara televisi di kost teman yang kebetulan kunci kamarnya di titipkan kepada saya sebelum mudik ke kampung.

Namun entah kenapa, pikiran saya malah sedikit terganggu dengan isi pesan itu. Saya jadi teringat kembali dengan masa kecil, yang mana sempat juga merasakan suasana TK selama setahun dan tahu bagaimana rasanya di antar oleh orang tua ke sekolah. Waktu itu yang paling sering mengantar dan menjemput saya di tempat itu, dengan jalan kaki tentunya adalah ibu. Yah maklum sajalah, waktu saya kecil di pulau Tomia, Wakatobi sana, masih jarang yang punya sepeda motor. Bahkan kendaraan itu bisa di bilang barang langka dan hanya orang-orang tertentu saja yang memilikinya. Sehingga mau tidak mau harus jalan kaki di temani ibu saya, meski jarak dari rumah ke TK kurang lebih 500 meter.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, kok bapak kamu nggak ikut mengantar? Sebenarnya bapak saya bukan nggak mau mengantar, tapi karena jarak tempat mengajar dengan rumah jauh, yakni harus naik ke gunung yang jaraknya 7 kilometer dan harus ditempuh kurang lebih satu jam dengan jalan kaki, maka kesempatan itu sepenuhnya di ambil alih oleh ibu saya selama setahun penuh.

Setelah setahun berlalu dan saya sudah masuk SD, barulah bapak saya punya kesempatan untuk mengantar saya ke sekolah. Ketika itu, kami sudah punya rumah di gunung dan jaraknya sangat dekat sekali dengan sekolah. Jaraknya cuma 20 meter, sehingga saya dan bapak saya bisa berangkat sama-sama ke sekolah.

Kini, setelah 23 tahun berlalu kenangan itu bangkit kembali berkat imbauan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang sebelumnya sempat di pimpin oleh bapak Anies Baswedan. Yang mana menganjurkan orang tua untuk mengantarkan anaknya ke sekolah, bila perlu sampai ruang kelas. Dengan harapan agar terjalin komunikasi antar orang tua murid dengan wali kelas.

Menariknya, terobosan ini membuat sebagian orang kota yang super sibuk menganggapnya sebagai hal baru. Padahal sebenarnya ini adalah budaya lama yang kembali dihidupkan, mengingat di zaman yang sudah modern ini mulai jarang yang melakukannya. Jangankan bagi para bapak-bapak, ibu-ibu pun sudah banyak yang melakukan demikian. Apalagi menyekolahkan anaknya di sekolah yang punya layanan antar jemput.

Semakin menarik lagi, gerakan mengantar anak di Hari Pertama Sekolah ini mendapat respon positif oleh seluruh instansi pemerintah. Hal ini bisa di lihat dari aktifnya seluruh media memberitakan gerakan ini, baik media online, cetak, maupun elektronika seperti televisi. Jangan instansi, para ibu orang tua yang tidak bekerja di pemerintahan pun telrihat antusias menyambut gerakan ini. Itu yang saya lihat ketika sempat menonton liputan khusus mengenai gerakan ini yang tentunya di siarkan di semua channel lokal.

Sebagai anak desa yang kini sedang mencari peruntungan di kota sebagai anak kuliahan, saya senang dan mendukung gerakan ini. Karena yang namanya pendidikan tidak cukup kalau hanya mengandalkan satu pihak saja. Misalnya menyerahkan semuanya ke sekolah karena merasa sudah membayar SPP dan mendidik hanyalah tugasnya para guru. Bagaimana negara kita tidak pincang, kalau minset kita masih seperti itu dan tidak ada keinginan untuk merubahnya. Di mana ego masing-masing begitu kuat dan kokoh.

Andai saja dari dulu kesadaran untuk berkolaborasi sudah dilakukan, maka bukan tidak mungkin pendidikan di negeri kita ini lebih baik dari negara-negara lainnya. Kolaborasi yang saya maksud adalah antara orang tua sebagai pendidik pertama di rumah dan guru sebagai perpanjangan tangan dari para orang tua. Sedangkan kolaborasi itu baru akan berjalan dengan baik jika kedua pihak mampu menjalin komunikasi dengan baik pula. Dan momentum hari pertama masuk sekolah merupakan salah satu cara untuk menjalin komunikasi baik itu.

Berbicara tentang kolaborasi dan gerakan mengantarkan anak di Hari Pertama Sekolah, saya jadi teringat kembali dengan pengalaman saat membantu seorang teman mengerjakan sebuah proyek yang berdekatan dengan sebuah Sekolah Islami (SD sampai SMP). Selama kurang lebih 2,5 bulan di tempat itu, yakni dari minggu terakhir September sampai awal Desember 2015, saya menemukan sebuah pemandangan unik. Pemandangan itu tak lain adalah kebiasaan para orang tua yang mengantarkan dan menjemput anaknya di sekolah. Kebiasaan itu dilakukan setiap hari sekolah, jadi bukan hanya Hari Pertama Masuk Sekolah saja. Kecuali mereka yang memang rumahnya berada di luar Makassar, datangnya hanya di hari pertama dan terakhir sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun