Pengumuman Best In Fiction sudah keluar. Lilik Fatimah Azzahra didapuk sebagai pemenangnya. Seorang ibu yang suka membaca dan menulis dari Malang. Tahun 2015 lalu pemenangnya juga dari sana. Dan satu tahun berikutnya (2016) sama-sama juga didominasi oleh perempuan. Itu bagus. Biar ada istilah baru, "Lelaki harus belajar pada perempuan."
Sudah. Tak perlu mencari-cari alasan untuk tahu alasan kaum mereka lebih tinggi dari pada lelaki. Karena pada dasarnya jika disejajarkan sama saja. Kompetisi bukanlah kompetisi jika tak ada yang menang maupun kalah.
Ah. Sebetulnya kalo boleh jujur, saya tak menyukai diri saya masuk sebagai kandidat. Saya cuma ingin melakukan sesuatu yang ingin saya lakukan. Pertama, saya tak pernah berusaha mencalonkan diri sebagai terdaftar nominasi. Kedua, namun mereka suka rela memilih saya hingga proses ini betul-betul mengganggu bagi saya.
Masih bisa bertahan?
Jadi dengan masuk nominasi saya pikir saya mesti menghadapi orang-orang di luar sana tanpa pernah mereka tahu bahwa saya tak menginginkannya. Meskipun ya, setengah hati saya terharu telah dinominasikan.
Tahun 2015 silam, saya bicara pada diri saya sendiri bahwa semua orang itu adalah kandidat garis miring nominasi, akan tetapi tak semua orang bisa keluar jadi pemenang. Dan nyatanya betul.
Ibu saya tak pernah mengharapkan saya mendapat rangking. Dan ketika saya mendapatkan rangking berapa pun beliau tak pernah peduli.
Ibu saya tak pernah mengharapkan bantuan timbal balik yang pernah beliau berikan pada orang yang dikenalnya atau tidak dikenalnya. Beliau selalu mewanti-wanti, lakukan yang bisa kau lakukan dan segera melupakannya seperti sebelum caramu tahu memulai.
Suatu kali ada seorang tetangga --nenek-nenek-- pagi-pagi buta mendatangi rumah kami. Nenek itu menangis sedih, sambil membawa satu kantong plastik berisi sendok dan garpu, masuk ke dalam rumah saya tanpa salam dan melapor pada ibu saya bahwa uangnya hilang. "Lha terus apa hubungannya dengan saya, Nek?" Tanya ibu saya heran. Saya di sampingnya mendengarkan.
"Sudah dicarinya.... Tapi enggak ketemu," isaknya semakin deras. "Padahal itu sisa-sisa uang ingin kubayar buat kontrakan," menangis lagi.
Saya mengira nenek itu lupa menaruhnya saja. Namun ibu saya lah yang justru memberi uang ganti rugi atas kealpaannya. Dan memintanya pulang dan menata kembali sendok-sendoknya di rak piring dapur miliknya.