Mohon tunggu...
Andi Hasdiansyah
Andi Hasdiansyah Mohon Tunggu... -

saya hobbi menulis, membaca dan kadang menjadi mitos bagi sebahagian orang, itu saja!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Epistemologi Ibnu Khaldu

4 Juli 2013   23:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:59 1432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Menurut Penulis/ Bukan Pemilik Akun

Pendahuluan

Sebelum kita sampai pada pembicaraan tentang Epistemologi (filsafat Islam) menurut Ibnu Khaldun, penulis kemukakan terlebih dahulu berkenaan dengan tokoh Ibnu Khaldun, biografi singkat, aspek pemikiran, latar belakang intelektual, kultural dan sosial serta tanggapan beberapa pemikir (ahli) tentang kebesaran beliau sebagai pakar filsafat, sosiolog, dan sejarahwan.

Beliau lahir di Tunisia tahun 1332 M dengan nama Waliyuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun al-Hudhromi, wafat di Mesir (Kairo) pada 1410 M. Ada juga yang berpendapat pada tahun 1406 M. Ia termasuk manusia dari abad ke XIV. Itu berarti bahwa golongan Islam, pada masa itu, adalah golongan Marinide di Maroko (1269-1420), golongan Hafside di Tunisia (1228-1574), golongan Nasride dari Granada (sampai 1492), golongan Mameluk di Mesir (1250-1517), kekaisaran Mongolia dari Timur Lenk (1331-1403).

Ibnu Khaldun dilahirkan yaitu beberapa tahun sebelum kunjungan Ibnu Batutah di Sumatera Utara. Dan kewafatannya setahun (1406) sebelum wafatnya putera raja Abbaside di Sumatera Utara. Ayahnya seorang keturunan Arab, sedangkan ibunya berdarah campur antara bangsa Barbar dan Spanyol. Keluarga Ibnu Khaldun mempunyai pengaruh yang luas di bidang politik pada abad XI. Pada masa itu Banu Khaldun memerintah atas kota Sevilla. Ketika kota ini jatuh ke tangan orang-orang Kristen abad XIII, Banu Khaldun mengungsi bersama keluarganya ke Afganistan Utara.

Pendidikan dan Karya Ibnu Khaldun.

Seperti umumnya, bangsa Arab waktu itu mengajarkan anak-anak mereka mengaji al-Qur'an, maka demikian juga pendidikan awal Ibnu Khaldun, mengaji al-Qur'an sekaligus dengan ilmu tafsirnya. Disamping mengaji al-Qur'an, Ibnu Khaldun mempelajari juga Ilmu Hadits dan Ilmu Fiqh. Dia juga mahir dalam pembicaraan masalah-masalah ilmu keislaman lainnya, seperti; tentang ilmu Kalam, Falsafah, Ushul Fiqh, Jadal (debat), Qiyas (analogi), Tasawwuf dan Kasyf. Ia juga mengerti tentang hakekat sihir, dan lain-lain.

Guru-gurunya yang dikenal orang pada masa itu, antara lain Muhammad Bahr dan Ahmad Qassar. Tidak diketahui dengan pasti berapa jumlah karya Ibnu Khaldun, tetapi sejak usia mua ia rajin menulis karangan-karangan pendek yang disebut maqalah. Karyanya yang paling besar dan terkenal adalah buku Al-Ibar, judul lengkapnya Al-Ibar wa diwan al-Mubtada wal khabar fi ayyam al-Arabi wal ayyami al-Barbar, wa man Asrahum min zawi al-Sulthan al Akbar. Buku ini diberi Muqaddimah. Kini buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Ibnu Khaldun mempunyai kelebihan dari filsuf Islam lainnya, sebab kaya akan  pengetahuan dari sosiologi sampai kepada filsafat.

Beberapa Aspek Pemikiran Ibnu Khaldun.

Ibnu Khaldun merupakan filosof masa lalu yang pemikirannya berorientasi jauh ke depan, pakar historigrafi, pengamat politik dan pakar peradaban. Bahkan filosof pertama di bidang sejarah kelas dunia, yang menguasai benar tentang karakter bahasa Arab, yang menurut teori Khaldun, merupakan perluasan makna yang terkandung dari teks al-Qur'an. Ibnu Khaldun bersama Ibnu Sina, Farabi, Ghazali dan pemikir Islam lainnya merupakan pembawa obor aspirasi reformatif yang kuat, memiliki orientasi dan pengalaman kesufian mereka sendiri.

Dalam bidang kebudayaan, Ibnu Khaldun, di Inggris adalah sezaman dengan Chauser (1340-1400). Ibnu Khaldun juga termasuk pelopor teori "peredaran Peradaban". Beliau juga termasuk tokoh Islam yang juga punya pandangan kritis tentang eksistensi sebuah Hadits. Sebagaimana tercermin dalam pendapat beliau yang menyatakan bahwa hadits tentang keutamaan Ali itu bersifat dlo'if (lemah) karena mengandung unsur "interest politik". Tentang proses penerimaan wahyu oleh Rasulullah SAW, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa, Nabi ketika menerima wahyu tersebut dengan jalan mengidentifikasikan dirinya dengan malaikat. Pendapat beliau ini berbeda dengan kebanyakan para filosof yang menyatakan bahwa Nabi lebih mengidentifikasikan diri dengan "intelek aktif", sebagaimana Fazlur Rahman yang cenderung berpendapat bahwa Nabi mengidentifikasikan diri dengan "Hukum Moral".

Teori-teori Ibnu Khaldun tentang disiplin ilmu mencakup wilayah yang sangat luas. Diantaranya tentang teori kenegaraan, skema ilmu pengetahuan, yakni hubungan antara informasi, ilmu pengetahuan dan kebijakan. Masing-masing fakta, atau satuan-satuan informasi, tidak dihimpun secara terpisah; semua itu bermakna hanya di dalam kerangka ilmu pengetahuan tentang masyarakat (society); dan manakala keduanya disintesiskan dengan cara yang benar, maka hasilnya adalah kebijakan.

Juga tentang teori 'ashobiyah (sukuisme dan nasionalisme), keruntuhan suatu bangsa akibat kurangnya solidaritas, klasifikasi tentang sains Muslim yang dipandang terbaik diantara pakar Muslim lainnya. Menurut beliau, sains yang dikaji di dunia Islam ada dua, yaitu : sains filosofis-intelektual dan sains yang disampaikan. Sains filosofis dan intelektual terdiri dari; 1. Logika; 2. Sains alam atau fisika; 3. Sains tentang benda di luar alam, atau Metafisika; 4. Sains yang berhubungan dengan kuantitas. Sains filosofis dan intelektual ini mencakup; ilmu medis, pertanian, sihir dan jimat, ilmu sifat-sifat tenung yang terkandung dalam huruf-huruf alfabet; alkemi, geometri (optika bidang datar dan cekung cembung). Aritmetika sifat-sifat bilangan, cara menghitung, aljabar, transaksi dagang, perhitungan warisan, musik, astronomi (pembuatan tabel astronomi, gerak benda-benda langit, astrologi).

Sedangkan Sains yang disampaikan terdiri dari ; 1. Al-Qur'an, penafsiran dan pembacaannya; 2. Hadits, ucapan Rasul dan rantai sambungan penyampaiannya (isnad); 3. Jurisprudensi, fiqih; 4. Theologi; 5. Sufisme (al-tashawwuf); 6. Ilmu bahasa, umpama gramatika. Leksikografi dan sastra. Sayangnya tidak semua ilmu yang diperincikan Ibnu Khaldun di atas diajarkan (secara integratif) di semua lembaga pengajaran, yang merupakan organisasi pendidikan formal dan resmi dalam dunia Islam.

Ibnu Khaldun juga mengingatkan untuk tidak terjebak dengan apa yang dikenal "pengabdian transformasi". Umat Islam harus sadar sejarah, dan tidak boleh terjebak dengan sejarah yang diciptakan kerangkanya oleh non Islam atau pakar yang tidak Islami. Ibnu Khaldun juga mengingatkan betapa aspek-aspek "solidaritas, materialisme dan urbanisasi" merupakan salah satu faktor penentu jatuh-bangunnya peradaban. Teori "umran" yang terkenal dengan teori "peradaban" adalah hasil kreativitas beliau. Beliau juga banyak berbeda dengan pakar Islam klasik lainnya, disaat beliau menyatakan betapa pentingnya "pengalaman keagamaan" (religious-experience) dikaji secara "ilmiah" atau dengan kata lain, betapa perlunya metode ilmiah  yang objektif untuk menyelidiki fenomena mistik, juga kajian tentang kesadaran mistik Nabi.

Berbicara tentang "perubahan", gagasan tentang "hidup dan waktu" menjadi titik perhatian utama Ibnu Khaldun. Dan menarik bahwa, lima abad sebelum Charles Darwin muncul, Ibnu Khaldun telah berbicara tentang "teori evolusi". Dalam kitabnya al-Ibar fi Daiwani al-Mubtada'I wa al-Khabar (dalam Muqaddimah ke-6, pasal 1), Ibnu Khaldun menulis sebagai berikut :"Alam binatang meluas sehingga bermacam-macam golongannya dan berakhir proses kejadiannya pada masa manusia yang mempunyai fikiran dan pandangan. Manusia meningkat dari alam kera yang hanya mempunyai kecakapan dan dapat mengetahui tetapi belum sampai pada tingkat menilik dan berfikir." Yang dimaksud dengan kera oleh beliau ialah sejenis makhluk yang oleh para penganut evolusionisme disebut Anthropoides. Ibnu Khaldun dan cendikiawan-cendikiawan lainnya, ketika mengatakan atau menemukan teori tersebut, bukannya merujuk kepada al-Qur'an, tetapi berdasarkan penyelidikan dan penelitan mereka. Lebih jauh dari itu, Ibnu Khaldun juga berbicara tentang teori evolusi "sejarah" yang teorinya tersebut menjadi rujukan bagi kajian sosiologi modern.

Beberapa Komentar

Ibnu Khaldun digolongkan juga kepada apa yang disebut dengan "ortodoksi Islam". Bila Syafi'I mencari hadits yang "benar", Taimiyah mendapatkan ajaran yang "benar", Ghazali merumuskan sikap hidup beragama yang "benar", maka Ibnu Khaldun mencoba melukiskan, menguraikan dan menerangkan relaitas yang "sebenarnya" dari agama. Yakni tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi. Beliaulah diantara pemikir Islam klasik yang benar-benar mendalami tentang filsafat, hakikat sampai kepada kritisisme sejarah.

Walaupun kajian Ibnu Khaldun tentang "empirisme Islam" bersifat deduktif plus induktif, namun semangat keilmuwan beliau terutama yang tercermin dalam "Muqaddimah"nya menampakkan semangat yang bersumber darl al-Qur'an. Namun sangat disayangkan, karya agung beliau masih kurang diapresiasikan secara maksimal bahkan oleh scholar muslim kontemporer sekaliber Fazlur Rahman.

Untuk studi ilmiah modern mengenai sejarah, sejarahwan Muslim jauh lebih meperhatikan tradisi histografi rasionalis Barat abad ke-18 ketimbang terhadap prestasi Ibnu Khaldun dalam bidang investegasi, kritisisme dan metodologi sejarah. Pemisahan antara histriografi dan teologi yang merupakan warisan dari renaisans bahkan telah menjadi kredo para sejarahwan. Sejarahwan Muslim cenderung meyakini bahwa satu-satunya historigrafi yang ilmiah adalh histriografi yang menggunakan teori dan metodologi Barat.

Bila dewasa ini isu tentang kepemimpinan dan kekuasaan menjadi salah satu trend masyarakat global, maka isu-isu tentang kenegaraan dan yang berkaitan dengannya sudah dibahas sejak dulu bahkan sampai sekarang, misalnya; hubungan antara wahyu dan hukum positif, basis moral dan basis legimitasi suatu negara, ciri-ciri negara utama, hakikat kekuasaan dan kedaulatan, cara mereformasi suatu negara, protes terhadap penguasa yang korup dan zalim, dimensi-dimensi keadilan dan accountability suatu kepemimpinan dan sebagainya seperti yang dikemukakan Ibnu Khaldun dan pakar-pakar Islam klasik lainnya.

Demikianlah beberapa komentar tentang kepakaran Ibnu Khaldun terutama lewat karya master-piecenya; Muqaddimah yang lebih mendalam dan bermakna ketimbang karya beliau; Al-'Ibar yang kering dengan analitis fakta.

Epistemologi Ibnu Khaldun

Kini tiba saatnya kita mengungkapkan pandangan Ibnu Khaldun tentang filsafat ilmu (epistemologi). Namun ada baiknya bila dijelaskan pengertian epistemologi itu terlebih dahulu. Menurut pengertian bahasa (etimologi) epistemologi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dagobert D.Runes, berarti atau bermakna; sebagai cabang dari filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan.

Prof. Dr. Harun Nasution menjelaskan pula bahwa epistemologi ialah ilmu yang membahas : 1. Apa itu pengetahuan; 2. Bagaimana cara memperoleh pengetahuan; 3. Dengan mengutip pendapat-pendapat Miska Muhammad Amin dalam bukunya "Epistemologi Islam" dijelaskan bahwa kata Epistemologi berasal dari kata (bahasa) Yunani; epistem dan logos. Episteme berarti pengetahun, sedangkan logos berarti teori, uraian atau alasan. Dalam hal ini ia lebih cenderung untuk mengartikan logos sebagai teori. Jadi epistemologi diterjemahkannya menjadi teori tentang ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam bahasa Inggris digunakan istilah "Theory of knowledge". Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan, bahwa epistemologi bertujuan mempelajari hal-hal yang bersangkut paut dengan pengetahuan, dipelajari secara mendalam.

Sedangkan pengertian epistemologi menurut istilah, Miska Muhammad Amin mengemukakan beberapa definisi sebagai berikut :

1.Menurut Drs. R.B.S Fudyarto, epistemologi berarti ilmu filsafat tentang pengetahuan, atau dengan pendek, filsafat pengetahuan.

2.Menurut Antun Suhono, Epistemologi ialah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan, ialah bagian filsafat mengenai refleksi manusia atas kenyataan.

3.Menurut A.H.Baker, yang mempersamakan epistemologi dengan metodologi dalam penjelasannya sebagai berikut; Metodologi dapat difahami sebagai filsafat ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pengetahuan yang dimaksud ini menguraikan metode ilmiah sesuai dengan hakekat pengertian manusia. Dapat ditemukan kategori-kategori umum yang hakiki bagi segala pengertian, jadi berlaku pula bagi semua ilmu.

4.The Liang Gie mengutip dari The Encyclopaedia of Philosophy, mengemukakan bahwa : Epistemologi sebagai cabang filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dan ruang lingkup pengetahuan, pra-anggapan-pra-anggapan dan dasar-dasarnya serta realibilitas umum dari tuntutan akan pengetahuan.

Jadi epistemologi itu meliputi : a. Filsafat, yaitu sebagai cabang filsafat yang berusaha mencari hakikat dan kebenaran pengetauuan; b. Metode, yaitu bertujuan mengantar manusia untuk memperoleh pengetahuan; c. Sistem, yaitu bertujuan untuk memperoleh relaitas kebenaran pengetahuan itu sendiri.

Berdasarkan itu kita dapat merumuskan bahwa definisi Filsafat Pengetahuan Islam (Epistermologi Islam) ialah : Filsafat yang didasari atas usaha manusia untuk menelaah masalah-masalah obyektivitas, metodologi, sumber serta validitas pengetahuan secara mendalam dengan menggunakan subyek Islam sebagai titik tolak berfikir.

Filsafat Pengetahuan Islam juga membahas masalah-masalah yang dibahas oleh epistemologi pada umumnya, tetapi di lain pihak Filsafat Pengetahuan Islam mempunyai ciri khas yaitu membicarakan wahyu dan iilham sebagai sumber pengetahuan dalam Islam. Wahyu adalah sumber pertama bagi para Nabi dan Rasul untuk memperoleh pengetahuan, sedangkan bagi manusia, wahyu merupakan sumber kedua (sekunder). Ilham dapat merupakan sumber pokok pengetahuan manusia karena dapat diberikan oleh setiap manusia yang diberi anugerah dari Allah.

Berbicara tentang epistemologi Ibnu Khaldun dapat kita telusuri dari cara beliau mendapatkan pengetahuan itu sendiri. Ibnu Khaldun dikenal sebagai pengembara, dan dia tidak mneyediakan pengembaraannya tersebut. Pengalamannya dituangkan dalam tulisan. Ia mengambil hikmah dari pengalaman (metode empiris). Penulisan lewat pengalaman ini, pengambilan data dilakukan dengan sangat teliti dan cermat, kemudian dianalisa disimpulkan dengan cara komprehensi diantara data yang tersedia, kemudian baru ditarik kesimpulan berupa kebenaran. Penyelidikan kebenaran data amat ketat; diteliti dari kepribadian keturunan hingga ungkapan orang yang akan diwawancarai, apakah dapat dipercayai kebenarannya atau tidak. Data dianggap valid (sah, sahih) apabila kategori di atas dapat diyakini kebenarannya. Metode ini di kalangan pemikir (ulama) Islam disebut metode ta'dil wa tarjih. Metode ini terutama dipergunakan oleh ahli-ahli hadits untuk menyeleksi hadits-hadits Nabi yang sahih, benar-benar bersumber dari Nabi Muhammad, baik berupa ucapan maupun perbuatan Nabi.

Di sisi lain Ibnu Khaldun, pada garis besarnya, membagi ilmu pengetahuan menjadi dua macam, sebagai berikut ; ……. Bahwa ilmu pengetahuan yang dikenal oleh masyarakat dua jenis; ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faedah yang sebenarnya, dari ilmu itu sendiri, seperti ilmu-ilmu agama (ialah tafsir, hadits Nabi, fiqih, dan ilmu kalam), ilmu alam dan sebagian dari filsafat yang berhubungan dengan KeTuhanan (Ilahiyat) dan ilmu yang merupakan alat yang dipergunakan untuk mempelajari golongan ilmu pengetahuan, jenis pertama itu, seperti ilmu tata bahasa Arab, dan Logika untuk mempelajari filsafat.

Dua kategori pengetahuan tersebut, yang pertama memiliki hubungan erat dengan Ketuhana. Golongan kedua adalah pengetahuan yang dapat dijadikan alat untuk mempelajari pengetahuan pertama. Oleh karena pengetahuan termasuk alat untuk mempelajari filsafat, maka logikapun menjadi alat untuk mempelajari filsafat, maka logika pun menjadi alat untuk mempelajari filsafat. Peranan indera dan akal dalam usaha manusia menambah pengetahuan, Ibnu Khaldun tidak mengesampingkan kedua organ manusia ini. Mengenai peranan indera : "Dasar pengetahuan ialah pengalaman perasaan dengan perantara panca indera yang lima". Aktivitasnya : "…….. Rasa umum (al hiss al-musytarak) yang memahami barang-barang yang bisa ditangkap oleh rasa, baik yang bisa didengar, atau dipegang, atau lainnya, dengan cara keseluruhannya". Mengikuti pola ini, jelas Ibnu Khaldun mengikuti faham empirisme yang secara eksplisit mengakui bahwa pengetahuan diperoleh melalui sentuhan indera manusia dengan alam luar. Tetapi di sisi lain, Ibnu Khaldun mengikuti pola berfikir kaum rasionalisme; hanya saja akal itu mempunyai jangkauan yang terbatas.

Disamping itu Ibnu Khaldun juga membicarakan mengenai pengertian. Menurut Ibnu Khaldun, pengertian adalah suatu gambaran yang dibentuk dalam ingatan. Dari pengertian diperoleh penyimpulan memperoleh pengetahuan mengenai esensi. Secara kronologi, aktivitas akal digambarkan sebagai berikut; "maka melalui penyimpanan dari berbagai-bagai perseorangan dapatlah diperoleh pengertian tentang macam, (species= na'w) yang meliputi semua; perbandingan antara manusia dengan binatang dengan penyimpulan lebih jauh, dapat memberi pengetahuan / pengertian tentang jenis (genus = jins) yang meliputi semua, kemudian datanglah perbandingan lebih antara jenis ini dengan  tumbuh-tumbuhan, dan demikian seterusnya, hingga tercapai jenis yang paling tinggi, ialah inti (essence = jauhar) yang tidak ada lagi perserupaan pengertian bisa diperoleh mengenainya, dan demikianlah, pada titik ini akal tidak dapat terus lagi".

* * *

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun